Dalam kurun waktu tiga bulan
terakhir, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus teruji tajinya.
Sejumlah kasus yang berkelindan di pusaran pemangku kekuasaan telah
ditingkatkan status hukumnya. Tidak kepalang tanggung, mereka yang
terseret adalah tokoh elite di sejumlah partai politik.
Dari rangkaian kasus yang
diungkap oleh KPK, indikasi adanya korupsi pembangunan kompleks olahraga
terpadu di bukit Hambalang dapat dikatakan paling jelas dan konkret
kemajuannya. Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan dua politisi Partai
Demokrat, Andi Alifian Mallarangeng dan Anas Urbaningrum menjadi
tersangka.
Tidak hanya dua tokoh elite
Partai Demokrat. Berkat 'penciuman' yang tajam, KPK mampu menguak skandal
korupsi impor daging sapi. Anggota DPR RI sekaligus Presiden Partai
Keadilan Sejahtera (PKS), Luthfi Hasan Ishaaq ditetapkan sebagai
tersangka oleh KPK dalam kasus ini. Kian hari lembaga superbody ini kian
menunjukkan tajinya.
Walaupun demikian, prestasi
gemilang KPK dalam menguak mega skandal korupsi bukan berarti tanpa
hambatan. Beredarnya surat perintah penyidikan (sprindik) Anas
Urbaningrum di masyarakat menjadi batu penghalang KPK dalam mengungkap
kasus korupsi. Pasalnya, dengan beredarnya sprindik, banyak kalangan
menuduh bahwa lembaga ini sudah tidak lagi independen. Yang jelas, kasus
sprindik sendiri tampaknya akan berlalu setelah Komite Etik KPK
mengumumkan si pembocor sprindik, yang tidak lain adalah 'pembantu dekat'
Ketua KPK, Abraham Samad.
Akankah penilaian tidak
independen tersebut bisa menjadi batu penghalang KPK dalam mengungkap
berbagai kasus korupsi di negeri ini? Pasalnya, sedikit saja gangguan
baik dari internal maupun eksternal niscaya akan menguras tenaga dan
pikiran. Tentu, imbas selanjutnya adalah terbengkalainya agenda
pemberantasan korupsi.
Memasuki usianya yang lebih
dari satu dasawarsa, KPK ibarat anak yang hendak 'dibunuh' orangtuanya.
Bagaimana tidak, anak yang dahulu dilahirkan kini menggerogoti orangtua.
Anak yang masih 'bau kencur' ini bisa menjamah semua episentrum korupsi
yang selama ini sulit untuk dijamah, baik di lingkungan eksekutif,
yudikatif maupun legislatif. Diakui atau tidak, selama bangsa ini
mengikrarkan kemerdekaan belum pernah ada lembaga penegak hukum yang
berani 'mengusik' lembaga eksekutif tinggi, baik di pusat maupun daerah,
partai politik, institusi penegak hukum, dan politisi.
Oleh karenanya, mereka yang
terusik oleh sepak terjang KPK, berusaha untuk mengebiri lembaga ini.
Berbagai upaya dilakukan, salah satunya melalui jalur hukum. Misalnya,
pengujian UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK, yang telah diuji 17 kali di
Mahkamah Konstitusi (MK). Intensitas ini menunjukkan betapa gencarnya
langkah yangdilakukan untuk mengebiri KPK lewat jalur hukum. Tak tanggung
memang, kadang jalur hukum kerap bersinggungan dengan politik.
Selain itu, serangan
terhadap lembaga KPK juga gencar dilakukan oleh sesama lembaga penegak
hukum. Masih terngiang dalam benak kita, hingga akhir 2012, setidaknya
ada 31 penyidik KPK yang ditarik oleh Mabes Polri dan 13 lainnya terancam
ditarik pula. KPK seakan berada di tengah samudera dan dihantam oleh
gelombang maha dahsyat. Catatan tersebut bisa ditambah dengan ketahanan
institusi kepolisian terkait kasus korupsi simulator SIM. Kepolisian
memberi sinyal bahwa mereka tidak rela salah satu anggotanya diseret oleh
KPK.
Di balik serangan yang
bertubi-tubi dari pihak eksternal, ada persoalan pelik di lingkungan
internal lembaga ini. Salah satunya adalah tudingan adanya hubungan yang
tidak harmonis di antara pimpinan KPK. Bahkan, disinyalir ada pembelahan
pandangan di antara mereka dalam menghadapi suatu kasus.
Persoalan pelik di
lingkungan internal KPK tergambar dari beredarnya sprindik Anas
Urbaningrum, yang seharusnya tidak boleh terjadi. Selama KPK menjalankan
tugasnya sebagai satgas pemberantasan korupsi, baru kali ini sprindik
dapat dikonsumsi oleh publik. Munculnya sprindik Anas yang tersebar luas
di masyarakat adalah indikasi bahwa KPK tidak lagi independen. Namun,
benarkah sinyalemen ini?
Sebagai warga negara yang
menginginkan bangsa ini terbebas dari jerat korupsi, tentu saya tidak
mempercayai hal itu. Saya masih percaya bahwa KPK adalah lembaga
independen. Saya juga tidak percaya bahwa penetapan Anas menjadi
tersangka atas kasus Hambalang adalah bagian instruksi dari Presiden.
Saya beranggapan itu hanya faktor kebetulan semata.
Meskipun demikian,
mengungkap bocornya sprindik yang berbarengan dengan kemelut yang terjadi
di tubuh Partai Demokrat bukanlah perkara mudah. Ditambah lagi adanya
indikasi bahwa bocornya dokumen tersebut ada kaitannya dengan pihak
internal lembaga KPK.
Dilema, barangkali itu yang
sekarang dirasakan oleh KPK. Sebab, kemungkinan pemberian sanksi kepada
pembocor sprindik di satu sisi dapat mengembalikan citra positif KPK,
tetapi di sisi lain, hal ini bisa pula menjadi senjata yang dapat menghancurkan
tubuh KPK.
Satu hal yang saat ini bisa
dilakukan KPK untuk meyakinkan kembali kepada publik terkait independensi
mereka. Mau tidak mau, KPK harus berusaha sekuat tenaga untuk mengusut
tuntas kasus Anas Urbaningrum.
Dugaan Anas sebagai pemegang
kunci dari berbagai kasus besar negeri ini harus benar-benar dimanfaatkan
oleh KPK. Dengan begitu, jalan terjal yang sedang dilalui oleh KPK akan
cepat berakhir. Selamat berjuang
wahai panglima pemberantas korupsi. Doa kami menyertaimu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar