Kamis, 11 April 2013

Jalan Terjal KPK


Jalan Terjal KPK
Yusuf A Rahman  ;  Peneliti di lembaga anti korupsi Garawiksa Institut Yogyakarta
SUARA KARYA, 11 April 2013

  
Dalam kurun waktu tiga bulan terakhir, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus teruji tajinya. Sejumlah kasus yang berkelindan di pusaran pemangku kekuasaan telah ditingkatkan status hukumnya. Tidak kepalang tanggung, mereka yang terseret adalah tokoh elite di sejumlah partai politik.

Dari rangkaian kasus yang diungkap oleh KPK, indikasi adanya korupsi pembangunan kompleks olahraga terpadu di bukit Hambalang dapat dikatakan paling jelas dan konkret kemajuannya. Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan dua politisi Partai Demokrat, Andi Alifian Mallarangeng dan Anas Urbaningrum menjadi tersangka.

Tidak hanya dua tokoh elite Partai Demokrat. Berkat 'penciuman' yang tajam, KPK mampu menguak skandal korupsi impor daging sapi. Anggota DPR RI sekaligus Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Luthfi Hasan Ishaaq ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus ini. Kian hari lembaga superbody ini kian menunjukkan tajinya.

Walaupun demikian, prestasi gemilang KPK dalam menguak mega skandal korupsi bukan berarti tanpa hambatan. Beredarnya surat perintah penyidikan (sprindik) Anas Urbaningrum di masyarakat menjadi batu penghalang KPK dalam mengungkap kasus korupsi. Pasalnya, dengan beredarnya sprindik, banyak kalangan menuduh bahwa lembaga ini sudah tidak lagi independen. Yang jelas, kasus sprindik sendiri tampaknya akan berlalu setelah Komite Etik KPK mengumumkan si pembocor sprindik, yang tidak lain adalah 'pembantu dekat' Ketua KPK, Abraham Samad.

Akankah penilaian tidak independen tersebut bisa menjadi batu penghalang KPK dalam mengungkap berbagai kasus korupsi di negeri ini? Pasalnya, sedikit saja gangguan baik dari internal maupun eksternal niscaya akan menguras tenaga dan pikiran. Tentu, imbas selanjutnya adalah terbengkalainya agenda pemberantasan korupsi.

Memasuki usianya yang lebih dari satu dasawarsa, KPK ibarat anak yang hendak 'dibunuh' orangtuanya. Bagaimana tidak, anak yang dahulu dilahirkan kini menggerogoti orangtua. Anak yang masih 'bau kencur' ini bisa menjamah semua episentrum korupsi yang selama ini sulit untuk dijamah, baik di lingkungan eksekutif, yudikatif maupun legislatif. Diakui atau tidak, selama bangsa ini mengikrarkan kemerdekaan belum pernah ada lembaga penegak hukum yang berani 'mengusik' lembaga eksekutif tinggi, baik di pusat maupun daerah, partai politik, institusi penegak hukum, dan politisi.

Oleh karenanya, mereka yang terusik oleh sepak terjang KPK, berusaha untuk mengebiri lembaga ini. Berbagai upaya dilakukan, salah satunya melalui jalur hukum. Misalnya, pengujian UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK, yang telah diuji 17 kali di Mahkamah Konstitusi (MK). Intensitas ini menunjukkan betapa gencarnya langkah yangdilakukan untuk mengebiri KPK lewat jalur hukum. Tak tanggung memang, kadang jalur hukum kerap bersinggungan dengan politik.

Selain itu, serangan terhadap lembaga KPK juga gencar dilakukan oleh sesama lembaga penegak hukum. Masih terngiang dalam benak kita, hingga akhir 2012, setidaknya ada 31 penyidik KPK yang ditarik oleh Mabes Polri dan 13 lainnya terancam ditarik pula. KPK seakan berada di tengah samudera dan dihantam oleh gelombang maha dahsyat. Catatan tersebut bisa ditambah dengan ketahanan institusi kepolisian terkait kasus korupsi simulator SIM. Kepolisian memberi sinyal bahwa mereka tidak rela salah satu anggotanya diseret oleh KPK.

Di balik serangan yang bertubi-tubi dari pihak eksternal, ada persoalan pelik di lingkungan internal lembaga ini. Salah satunya adalah tudingan adanya hubungan yang tidak harmonis di antara pimpinan KPK. Bahkan, disinyalir ada pembelahan pandangan di antara mereka dalam menghadapi suatu kasus.

Persoalan pelik di lingkungan internal KPK tergambar dari beredarnya sprindik Anas Urbaningrum, yang seharusnya tidak boleh terjadi. Selama KPK menjalankan tugasnya sebagai satgas pemberantasan korupsi, baru kali ini sprindik dapat dikonsumsi oleh publik. Munculnya sprindik Anas yang tersebar luas di masyarakat adalah indikasi bahwa KPK tidak lagi independen. Namun, benarkah sinyalemen ini?

Sebagai warga negara yang menginginkan bangsa ini terbebas dari jerat korupsi, tentu saya tidak mempercayai hal itu. Saya masih percaya bahwa KPK adalah lembaga independen. Saya juga tidak percaya bahwa penetapan Anas menjadi tersangka atas kasus Hambalang adalah bagian instruksi dari Presiden. Saya beranggapan itu hanya faktor kebetulan semata.

Meskipun demikian, mengungkap bocornya sprindik yang berbarengan dengan kemelut yang terjadi di tubuh Partai Demokrat bukanlah perkara mudah. Ditambah lagi adanya indikasi bahwa bocornya dokumen tersebut ada kaitannya dengan pihak internal lembaga KPK.

Dilema, barangkali itu yang sekarang dirasakan oleh KPK. Sebab, kemungkinan pemberian sanksi kepada pembocor sprindik di satu sisi dapat mengembalikan citra positif KPK, tetapi di sisi lain, hal ini bisa pula menjadi senjata yang dapat menghancurkan tubuh KPK.

Satu hal yang saat ini bisa dilakukan KPK untuk meyakinkan kembali kepada publik terkait independensi mereka. Mau tidak mau, KPK harus berusaha sekuat tenaga untuk mengusut tuntas kasus Anas Urbaningrum.

Dugaan Anas sebagai pemegang kunci dari berbagai kasus besar negeri ini harus benar-benar dimanfaatkan oleh KPK. Dengan begitu, jalan terjal yang sedang dilalui oleh KPK akan cepat berakhir. Selamat berjuang wahai panglima pemberantas korupsi. Doa kami menyertaimu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar