Menjelang Pemilu Legeslatif 2014, beberapa partai
politik kini tengah disibukkan menggelar konvensi untuk menjaring calon
presiden. Dengan konvensi yang diselenggarakan diharapkan muncul seorang
sosok yang dianggap sebagai representatif pilihan rakyat.
Menjaring calon Presiden melalui konvensi, Partai Golkar adalah partai
politik yang pernah menyelenggarakan cara itu. Konvensi yang
diselenggarakan oleh partai berlambang pohon beringin menjelang Pemilu
2004 itu banyak dipuji orang. Selain diselenggarakan secara demokratis
juga karena peserta konvensi adalah orang-orang yang memiliki kapasitas yang
bisa diandalkan seperti Wiranto, Akbar Tanjung, Aburizal Bakrie, Prabowo
Subianto, dan beberapa calon lainnya.
Apa yang dilakukan oleh Partai Golkar itu sebelumnya dicibirkan oleh
banyak orang dengan dugaan hanya akal-akalan untuk melegitimasi Ketua Umum
Partai Golkar, saat itu, Akbar Tanjung agar diusung oleh partai secara
bulat dan syah namun ternyata di lapangan realitanya berbicara lain di
mana utusan dari pengurus daerah memilih Wiranto dalam konvensi itu.
Dalam konvensi yang hendak digelar oleh beberapa partai politik akankah
isu akal-akalan masih menyelimuti? Kalau kita selusuri konvensi yang
hendak dilakukan beberapa partai politik, yang santer disebut adalah
Partai Demokrat dan Partai Persatuan Pembangunan, penulis menganalisa ada
beberapa fakta yang menarik. Fakta itu adalah, pertama, bahwa di partai
politik yang akan menyelenggarakan konvensi terjadi krisis kepemimpinan
sehingga untuk memilih calon presiden yang hendak diusung mereka harus
mengundang orang lain atau memilih kader yang ada dengan hanya
berdasarkan pilihan mayoritas suara saat konvensi digelar. Misalnya saja
Partai Persatuan Pembangunan yang tidak memiliki figur yang kuat sehingga
untuk menarik masa, partai berlambang Kabah itu mengundang orang lain
yang memiliki elektabilitas dan popularitas yang tinggi. Dengan masuknya
orang yang memiliki elektabilitas dan popularitas itu diharapkan
perolehan suara pada partai yang berdiri pada tahun 1973 itu mampu
meningkat.
Kedua, konvensi ini bisa jadi untuk akal-akalan dan sebagai alat legitimasi.
Partai Demokrat yang hendak menggelar konvensi bisa jadi menggunakan
media itu untuk melegitimasi bila salah satu Keluarga Cikeas hendak
mengikuti konvensi. Dengan konvensi maka hasilnya diakui sebagai hasil
yang syah dan halal. Tidak halal dan feodalisme bila dalam menentukan
calon Presiden-nya, SBY yang memiliki banyak jabatan di partai berlambang
mercy itu menunjuk langsung. Meski SBY sebagai ketua umum, ketua dewan
pembina, dan ketua majelis tinggi, mempunyai hak untuk menunjuk siapa
calon Presiden yang hendak diusung namun pastinya dia tidak akan
menggunakan cara-cara ini sebab sangat kentara sebagai seorang yang
feodal. Untuk mengelabui massa maka cara konvensi dianggap sebagai jalan
untuk memuluskan Keluarga Cikeas maju dalam Pemilihan Presiden.
Ketiga, konvensi adalah kegiatan seperti pemilihan ketua umum, apakah itu
namanya kongres, muktamar, atau musyawarah. Dengan demikian konvensi juga
tidak lepas dari money politic. Dengan demikian bisa jadi dari konvensi
ini akan muncul seorang pemenang yang memiliki modal yang besar sehingga
konvensi yang diharapkan akan melahirkan sosok pilihan rakyat, yakni
orang yang bersih dan jujur dan pastinya memiliki kapasitas, bisa
terbalik yakni orang yang hanya mempunyai banyak uang.
Keempat, meski partai politik yang menyelenggarakan konvensi mengundang
orang luar untuk ikut seleksi calon Presiden namun masyarakat yang
memiliki popularitas dan elektabilitas yang tinggi belum tentu mau ikut
dalam konvensi itu. Mereka yang tidak mau ikut dalam konvensi bisa jadi
dikarenakan menganggap partai itu kecil sehingga besar kemungkinan tidak
bisa lolos parlement threshold atau presiden threshold sehingga mereka
tak mau capek-capek ikut dalam konvensi. Mereka berpikir, ngapain ikut
toh kalau menang juga belum tentu diusung menjadi calon Presiden.
Alasan lain orang (yang idealis) tidak mau ikut konvensi karena partai
penyelenggara adalah partai yang sedang dibelit dengan berbagai kasus
korupsi. Orang itu mempunyai pandangan dengan ikut konvensi, dan bila
menang, maka dirinya termasuk orang yang menikmati hasil korupsi dan hal
ini sesuatu yang menjijikkan. Tak hanya itu, orang itu juga akan berpikir
bahwa partai yang korup tidak akan dipilih oleh rakyat sehingga tipis
kemungkinan calon Presiden dari partai korup akan menang dalam Pemilihan
Presiden.
Konvensi yang diselenggarakan partai politik di Indonesia selama ini
adalah sebuah sikap sporadis. Konvensi dilakukan tidak secara rutin dan
melembaga namun hanya bila ada maunya. Ada dan tidaknya konvensi
disebabkan (a) ada dan tidaknya kemauan politik dari pengurusnya. Semasa
Partai Golkar di masa kepemimpinan Akbar Tanjung, partai itu
menyelenggarakan konvensi, namun di masa Jusuf Kalla dan sepertinya juga
di masa Aburizal Bakrie, partai itu tidak mengadakan konvensi. Jadi di
sini ketua umum partailah yang menentukan ada dan tidaknya konvensi. (b).
Krisis kepemimpinan. Konvensi diselenggarakan bisa juga karena disebabkan
masalah ini. Partai Golkar di masa Jusuf Kalla dan Aburizal Bakrie tidak
menyelenggarakan konvensi bisa jadi karena kedua orang itu pede bahwa di
partainya tidak ada krisis kepemimpinan sehingga secara otomatis ketua
umum menjadi calon Presiden. Sementara Partai Demokrat dan Partai
Persatuan Pembangunan menyelenggarakan konvensi karena adanya krisis
kepemimpinan sehingga harus mencari orang lain untuk dijadikan calon
Presiden.
Selain bersifat sporadis, hasil konvensi tidak mengikat bulat menjadi
sebuah keputusan partai. Berdasarkan pengalaman konvensi yang
diselenggarakan Partai Golkar di tahun 2004, Wiranto yang memenangi
konvensi tidak didukung secara penuh sehingga mesin pemenangan Pemilihan
Presiden tidak berjalan maksimal. Hal demikian menjadi salah satu faktor
Wiranto kalah dalam Pemilihan Presiden. Tak maksimalnya mesin partai
karena adanya ketidak sportifan pengurus. Dengan belajar pada pengalaman
itu, bila ada orang luar yang memenangi konvensi, misalnya yang
diselenggarakan di Partai Demokrat dan Partai Persatuan Pembangunan, maka
jangan berharap secara penuh kedua partai itu akan mendukung secara full. Bisa jadi setelah terpilih,
orang itu akan dilepas sendiri, baik kampanyenya maupun pendanaannya.
Kemungkinan ini bisa terjadi ya karena adanya faktornya ketidaksportifan
pengurus partai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar