Ayah bunda! Baik secara
sadar maupun tidak, kita seringkali memiliki penilaian sempit tentang
perbedaan karakter anak laki-laki dan perempuan. Misalnya, anak laki-laki
cenderung dipandang pemberani, mendominasi, ceroboh, nakal. Sebaliknya,
anak perempuan cenderung dipandang cengeng, pemalu, sensitif dan kurang
percaya diri. Dampaknya, anak laki-laki sering dianggap tidak pantas
ketika menangis, dan anak perempuan sering dikatakan tidak wajar ketika
melakukan hal-hal seperti memanjat, bermain sepeda dan lain sebagainya.
Padahal sesungguhnya, yang namanya sifat itu tidak
dibatasi oleh jenis kelamin. Artinya, baik laki-laki maupun perempuan
berpotensi untuk memiliki kesamaan sifat. Dalam hal ini, sifat pemberani
bukan hanya milik anak laki-laki dan sifat lembut pun bukan hanya milik
anak perempuan. Sifat-sifat tersebut sejatinya dimiliki oleh
masing-masing jenis. Karena baik laki-laki maupun perempuan berkebutuhan
terhadap sifat lembut maupun pemberani. Bisa dibayangkan, apabila anak
laki-laki terlanjur dibentuk untuk menjadi seseorang yang benar-benar
berjiwa pemberani tanpa mengindahkan sifat lembut yang seharusnya melekat
dan mengarakter dalam jiwanya. Bagaimanakah kelak ketika ia telah dewasa
dimana ia harus menghadapi sebuah fragmen kehidupan seperti istri
melahirkan. Bagaimana bisa ia mampu berempati atau membantu istrinya yang
sedang bertaruh nyawa, atau dalam kehidupan sehari-hari misalnya. Ketika
sang anak menghadapi sebuah kenyataan dimana salah seorang temannya
kecelakaan atau dicemooh oleh hampir seluruh temannya, akankah empatinya
itu hadir, akankah ia mampu melakukan pembelaan.
Demikian pula dengan anak perempuan. Jika orang tua
atau lingkungan sekitar terlanjur membentuk dan men-judge bahwa dirinya harus lembut dan harus mengalah,
sementara nilai-nilai ketangguhan, ketegasan dan keberaniannya tidak
diperhatikan, maka hal ini tentu saja menuai bahaya. Mengapa dikatakan
bahaya? Karena jika suatu saat anak perempuan tersebut beranjak remaja
atau dewasa, lalu ada laki-laki yang menggangunya atau sampai hampir mau
memperkosanya, adakah kemampuan si anak perempuan tersebut untuk
melakukan perlawanan. Padahal ini adalah hal yang niscaya.
Nah, jika ketegasan dan keberanian itu tidak dibentuk
dan tidak dibangun, semakin banyaklah korban-korban pelecehan dari
laki-laki yang tidak berhak atas tubuhnya. Bahkan, potret mengenaskan
semacam yang terjadi pada anak perempuan berumur 11 tahun yang akhirnya
hamil akibat perbuatan biadab ayah kandungnya sendiri, ini adalah bagian
dari ketidakberdayaan seorang perempuan untuk menolak atau melakukan perlawanan.
Adapun konstruksi nilai yang masih dianut oleh
beberapa masyarakat kita adalah penyikapan terhadap anak yang tidak
sesuai dengan fitrahnya. Contohnya adalah ketika sepasang suami istri
secara berturut-turut memiliki anak yang berjenis kelamin sama, perempuan
semua atau laki-laki semua. Karena sangat berharap anak laki-laki,
sementara tiga anak yang telah lahir itu semuanya perempuan, maka
pasangan suami istri tersebut bersepakat untuk menyikapi anak yang
keempat sebagai anak perempuan. Padahal sebetulnya laki-laki. Hal ini
tentu saja melanggar fitrah. Mengapa melanggar fitrah? Karena jenis
kelamin tidak bisa dipertukarkan. Sehingga anak laki-laki tidak bisa
didandani dengan cara mendandani anak perempuan. Anak laki-laki tidak
bisa diperlakukan sebagai anak perempuan. Gaya berjalan anak laki-laki
tidak bisa dipaksakan untuk kemudian diganti seperti gaya berjalan anak
perempuan. Aksesoris anak laki-laki tidak bisa digantikan begitu saja
dengan aksesoris anak perempuan seperti anting, kalung, gelang, dan atau
sejenisnya.
Konstruksi nilai tersebut lagi-lagi sangat berbahaya.
Karena pemberian simbol, aksesoris, dan cara penyikapan yang salah akan
menjadi sebuah mental kepribadian yang tidak proporsional. Selain itu,
anak akhirnya tidak memiliki citra diri yang jelas. Karena keterpaksaan
dari lingkungan, membuat dirinya harus menjadi seorang laki-laki,
sementara hakikatnya adalah perempuan, atau sebaliknya. Maka, semakin
berbahayalah bila kemudian anak tersebut mencintai sesama jenis.
Naudzubillaahimindzalik.
Selain penyikapan yang salah dari orang tua atau
lingkungan sekitar, media juga cukup memberi andil negatif terhadap
pemahaman anak akan perbedaan gender. Jika sekian banyak tayangan
menyuguhkan profil seorang waria, ini adalah bagian dari fakta yang membingungkan
bagi anak. Anak dengan segudang rasa penasarannya (kuriositas), dimana
tahap perkembangannya berada pada tahap operasional konkrit (harus serba
tervisualisasi dan tersimbolkan), akan memendam pertanyaan besar tentang
apakah waria itu laki-laki atau perempuan.
Demikian juga dengan iklan-iklan yang mayoritas
menggunakan tampilan perempuan cantik dan menarik. Bahkan yang
korelasinya tidak ada sama sekali seperti iklan mesin traktor atau iklan
pompa air. Ketika tayangan iklan tersebut terekam oleh memori otak anak,
maka sang anak akan membuat berbagai simpulan yang salah satu diantaranya
adalah, perempuan itu adalah alat. Atau, simpulan lain misalnya, jika
sebuah produk itu ingin laku, maka harus dijajakan oleh perempuan cantik
dan menarik. Nah, sesempit itukah penafsiran tentang gender yang kemudian
muncul pada benak anak-anak kita? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar