“Indonesia bukan hanya Bali.
Selain Pulau Dewata, Indonesia memiliki lebih banyak tempat menarik,
keanekaragaman hayati, dan kekayaan budaya yang tak kalah elok
dibandingkan Bali.”
Presiden Yudhoyono menyerukan hal itu saat mempromosikan pariwisata
Indonesia pada bursa pariwisata terbesar dunia: Internationale Tourismus Borse. Alangkah benar kata-kata
presiden kita itu. Akan tetapi, pada waktu bersamaan, betapa jauhnya
ucapannya itu dari realitas.
Pemerintah Abai
Indonesia memang punya tujuan wisata yang berlimpah dengan aneka
ragam kekayaan budaya dan keindahan alam tiada tara. Namun, semua itu
tidak dimanfaatkan sebagai aset wisata karena pemerintah hampir tidak
melakukan apa-apa untuk mengembangkan infrastruktur dan memperkenalkan
tujuan-tujuan wisata tersebut.
Itu sebabnya, mutiara wisata Indonesia seperti Borobudur hanya
dikunjungi 158.000 wisatawan mancanegara (wisman) pada 2012. Di tahun
yang sama, Angkor Watt di Kamboja yang relatif baru dikenal sudah
didatangi 1,6 juta tamu asing. Begitu pula Bunaken, dengan keindahan
pantai dan formasi batu karangnya yang hanya ada di segelintir tempat
sejagat, tahun lalu hanya mampu mendatangkan 11.000 wisman. Padahal,
pantai di Pattaya, Thailand, yang tak memiliki kekhasan, sudah bisa
meraup 4 juta pengunjung asing. Ceritanya sama dengan Toraja, pusat
atraksi etnik dengan tradisinya yang luar biasa, hanya didatangi 30.000
wisman.
Sebaliknya, Bali kebanjiran turis. Tahun lalu Pulau Dewata ini
kedatangan 5,75 juta pengunjung, hampir dua kali lipat penduduknya.
Membeludaknya turis melebihi daya tampung setempat memicu terjadinya
berbagai ekses yang mengerosikan budaya dan lingkungan.
Sekitar 42 persen dari seluruh pantai di Bali tererosi berat, HIV
menjalar jadi urutan nomor tiga di Indonesia. Narkoba pun telah menyebar
ke pelosok desa sehingga Bali kini bukan saja daerah transit, melainkan
juga pengonsumsi besar obat terlarang. Selain itu, sebagai akibat makin
banyaknya kendaraan, yang tidak cukup dibarengi penambahan atau pelebaran
jalan, terjadi kemacetan di mana-mana, bahkan hampir separah di Jakarta.
Lebih membahayakan lagi: budaya dan kelangsungan jati diri orang
Bali terancam. Salah satu sumber malapetaka di sini adalah alih fungsi
tanah dari kebutuhan agraria ke infrastruktur pariwisata yang deras
terjadi: rata-rata 1.500 hektar per tahun selama 30 tahun terakhir. Pada
hakikatnya tanah bagi orang Bali adalah sakral karena di sinilah
didirikan tempat ibadah agama dan diadakannya upacara penting serta
kegiatan komunal sehari-hari. Begitu tanah pindah tangan, pada saat itu
pula kekhasan Bali hilang dari tanah tersebut, diganti hotel atau mal,
yang setiap hari mengembuskan budaya asing.
Karena tak melaksanakan diversifikasi tujuan wisata, selain terjadi
fokus dan pembengkakan arus turis ke Bali dan makin hancurnya budaya dan
lingkungan setempat, daerah wisata lainnya yang begitu menjanjikan tak
berkembang. Akibatnya, Indonesia dengan segala potensinya yang mahahebat
tahun lalu hanya mendatangkan 7,6 juta wisman. Padahal, Malaysia dengan
segala keterbatasan berhasil meraup 25 juta pengunjung, Thailand 19,2
juta, bahkan Singapura 13,2 juta.
Paradigma Dasar
Bisa saja Presiden berharap turis melihat Indonesia bukan hanya
Bali. Namun, jika tak ada perubahan drastis terhadap kebijakan yang
sekarang berjalan di bidang pariwisata, kita tak bisa berharap situasi
yang menyedihkan ini akan berubah 45 tahun lagi atau seterusnya.
Oleh karena itu, para pemangku kepentingan di bidang pariwisata
perlu sadar akan pentingnya memperhatikan beberapa paradigma dasar dalam
menjalankan kebijakan di bidang ini. Di antaranya agar terjadi sinergi
optimal, wisman yang datang ke suatu tujuan wisata adalah yang bisa
menghargai kekhasan tujuan tersebut. Jumlah turis yang datang ke suatu
lokasi perlu dipertimbangkan terhadap daya tampung lokasi tersebut.
Pertimbangan ini makin dipraktikkan di berbagai tempat, seperti Machu
Pichu, Angkor Watt, dan Galapagos, sebagai upaya menjaga kelestarian
berkelanjutan atas tempat-tempat tersebut.
Dalam mengembangkan suatu tujuan wisata, perlu dilakukan pengembangan
infrastruktur yang sepadan dan promosi dengan pencitraan yang tepat
sehingga turis yang datang adalah yang selaras. Dalam era globalisasi
dengan kompetisi yang serba pesat dan intens, pengelolaan pariwisata tak
bisa lagi asal-asalan. Jika hal-hal ini tak diindahkan, betapa pun besar
potensi budaya dan alam suatu tujuan wisata niscaya akan terkubur oleh
tujuan wisata lainnya yang lebih pintar dikelola. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar