Hasil temuan awal tim
investigasi TNI AD yang berkoordinasi dengan tim Mabes Polri dalam pengungkapan
kasus penyerangan LP Cebongan merupakan awal yang baik.
Sebanyak 11 anggota Kopassus
dinyatakan terlibat dalam tindakan penyerangan dan pembunuhan serta
penganiayaan terhadap empat tahanan. Pernyataan Komandan Jenderal
Kopassus Mayor Jenderal Agus Sutomo yang menyatakan bertanggung jawab
atas tindakan anak buahnya di hadapan media masa secara langsung sangat
patut dipuji. Jarang sekali ada komandan kesatuan yang mau bertanggung
jawab atas tindakan yang dilakukan anggotanya, padahal peradilan atas 11
anggota Kopassus itu sendiri belum dimulai.
Hal itu berbeda dengan kasus
penculikan aktivis pada 1997/1998: komandannya hingga kini belum pernah
menyatakan langsung di hadapan media masa bertanggung jawab atas tindakan
anak buahnya yang menculik dan hingga kini penyelesaian hukum atas kasus
penculikan belum kunjung tuntas.
Meski demikian, kejanggalan atas
temuan tim investigasi TNI AD terkait pernyataan bahwa penyerangan
dilakukan secara tak terencana tentu jadi tanda tanya besar bagi publik.
Sebagian pengamat hukum menilai, penyerangan itu tentu dilakukan
terencana dan masuk dalam kategori pembunuhan berencana. Ini terlihat
dari komunikasi antarpelaku, ajakan menyerang, penggunaan senjata TNI,
lokasi penyerangan yang ditentukan (LP Cebongan), hingga target yang
terpilih untuk dieksekusi.
Proses hukum dalam penuntasan
kasus ini sepertinya akan melalui jalan panjang berliku. Tak heran,
publik berharap agar penuntasan kasus ini sebaiknya dilakukan melalui
mekanisme peradilan umum. Sayang, pemerintah sepertinya akan menutup ruang
penyelesaian melalui mekanisme peradilan umum dengan menyatakan bahwa
penyelesaian kasus ini akan melalui mekanisme peradilan militer.
Indonesia adalah negara yang
berdasarkan hukum, bukan negara berdasarkan kekuasaan. Hal itu jelas
ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (3) Konstitusi yang menyebutkan, negara
Indonesia adalah negara hukum. Di dalam sistem negara yang berdasarkan
hukum, Konstitusi merupakan fundamental
norm yang harus dipegang seluruh elemen masyarakat dalam hidup
bernegara dan berbangsa. Dengan demikian, penyelesaian seluruh persoalan
hukum dan kebangsaan harus memperhatikan nilai-nilai dan norma-norma yang
terkandung dalam konstitusi.
Salah satu prinsip utama dalam
negara hukum adalah pengakuan atas prinsip sama di hadapan hukum. Prinsip
itu secara tegas diatur dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD yang menyebutkan, ”Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum
dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Lalu dipertegas
lagi dalam Pasal 28 Huruf d Ayat (1) Konstitusi yang menyebutkan, ”Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
sama di hadapan hukum.” Prinsip ini menyiratkan makna bahwa seluruh
warga negara harus diperlakukan sama di muka hukum.
Dalam negara hukum, tentu tidak
boleh dan tidak bisa ada diskriminasi dalam penerapan hukum yang bersifat
publik, baik hukum formal maupun hukum materialnya. Semua warga negara,
baik yang berprofesi sebagai mahasiswa, aktivis LSM, anggota TNI, anggota
Polri, menteri, maupun presiden, memiliki hak dan kewajiban yang sama di
hadapan hukum. Dalam konstruksi negara hukum itu, mekanisme peradilan
mutlak bersifat independen, tak memihak, dan tak dipengaruhi suatu
kekuasaan atau kekuatan apa pun serta harus menjamin due process of law.
Dalam logika konstitusional itu,
penyelesaian kasus penyerangan ke LP Cebongan sebaiknya diselesaikan
melalui mekanisme peradilan umum. Tim investigasi TNI sendiri
menyebutkan, penyerangan itu bukan merupakan bentuk operasi militer dan
tindakan penyerangan itu tidak dilakukan atas nama institusi, tetapi
dilakukan oknum anggota TNI. Tepat bila untuk sementara dikatakan,
penyerangan itu merupakan kejahatan hukum pidana umum dan sebaiknya
diadili melalui peradilan umum dengan menggunakan mekanisme KUHAP dan KUHP.
Perlu Perppu
Salah satu kesulitan dari usaha
membawa kasus ini melalui mekanisme peradilan umum adalah masih
berlakunya UU No 31/1997 tentang Peradilan Militer. Juru bicara Mabes TNI
sendiri sudah menyatakan: karena UU Peradilan Militer masih berlaku,
penyerangan ke LP Cebongan harus dibawa ke dalam peradilan militer.
Pasal 65 Ayat (2) UU TNI
sebenarnya sudah menegaskan bahwa prajurit tunduk pada kekuasaan
peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk
pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum
yang diatur dengan UU. Namun, sayangnya, implementasi Pasal 65 itu harus
terhambat oleh Pasal 74 UU TNI sendiri Ayat (1) dan (2) yang menyebutkan
bahwa, (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 berlaku pada
saat undang-undang tentang Peradilan Militer yang baru diberlakukan; (2)
Selama UU peradilan militer yang baru belum dibentuk tetap tunduk pada
ketentuan UU No 31/1997 tentang Peradilan Militer.
Tak heran jika publik kemudian
mendesak Presiden melakukan terobosan hukum dengan segera membentuk
peraturan pemerintah pengganti UU (Perppu) untuk mengubah mekanisme dan
yurisdiksi peradilan militer yang diatur dalam UU No 31/1997 sehingga
kasus Cebongan dapat dibawa melalui peradilan umum.
Pembentukan perppu adalah
langkah ideal dalam mereformasi peradilan militer dan dalam menuntaskan
kasus Cebongan mengingat pembentukan perppu dapat dilakukan dalam waktu
cepat oleh Presiden. Kalau menunggu revisi UU No 31/1997 melalui
mekanisme normal, pembahasan antara parlemen dan pemerintah akan butuh
waktu panjang. Di sinilah Presiden SBY harus membuktikan janjinya
beberapa tahun lalu: perlu mereformasi peradilan militer.
Terkait dengan persoalan
premanisme, penting bagi aparat kepolisian bertindak tegas dan cepat
dalam memberantas premanisme sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Law enforcement harus benar-benar
bekerja dan berjalan menghadapi aksi premanisme. Aparat penegak hukum tak
boleh kalah menghadapi aksi premanisme, dan paling penting adalah aparat
penegak hukum tak boleh permisif dan tak boleh jadi bagian lingkaran
premanisme.
Langkah kepolisian menangkap
pelaku premanisme setahun terakhir ini sangat baik dan harus diteruskan.
Pada saat bersamaan, semua institusi negara dan seluruh masyarakat
indonesia harus menghormati due
process of law. Tak bisa dibenarkan dengan dalih apa pun tindakan
hukum rimba di dalam negara hukum. Kita patut mengapresiasi niat semua
elemen masyarakat yang ingin berperan serta memberantas premanisme,
tetapi di dalam negara hukum biarlah aparat penegak hukum yang harus
bekerja terdepan melakukan itu. Sudah saatnya aparat penegak hukum
mengambil langkah tersistematis dan terencana menghadapi premanisme
dengan tetap berpegang teguh pada mekanisme hukum yang berlaku.
Lebih jauh dari itu, reformasi
sistem hukum jadi sebuah keharusan yang juga tak bisa ditunda-tunda,
khususnya menghilangkan budaya korupsi dalam semua level penegakan hukum,
sehingga wibawa hukum dapat segera pulih kembali.
Hentikan Kekerasan
Kita semua sebagai bangsa harus
mengakui dan mengapresiasi kiprah Kopassus sebagai kesatuan khusus TNI
yang memiliki peran besar dalam menjaga kedaulatan NKRI. Kita semua juga
harus menyelamatkan institusi TNI dari oknum yang melanggar hukum. Jangan
sampai institusi TNI, khususnya Kopassus, terbebani dengan tindakan
melanggar hukum yang dilakukan oknumnya. Untuk tujuan itu, kita sangat
berharap kepada Presiden SBY, selaku otoritas politik tertinggi dalam
hierarki TNI, berani menegakkan Konstitusi dengan segera membentuk perppu
perubahan peradilan militer sehingga kasus Cebongan dapat dibawa melalui
peradilan umum.
Kalaupun Presiden dan Mabes TNI
tetap memaksakan penyelesaian kasus ini melalui mekanisme peradilan
militer, sudah sepantasnya para pelaku mendapat hukuman setimpal sesuai
dengan kejahatan yang mereka lakukan. Proses peradilan militer terhadap
oknum anggota TNI yang membunuh Direktur PT Asaba adalah contoh yang
baik. Namun, kami menolak penerapan hukuman mati kepada para pelaku
sebagaimana dialami terdakwa kasus PT Asaba karena hukuman mati
jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi.
Langkah ini tentu juga tak boleh
menutup agenda reformasi peradilan militer melalui revisi UU No 31/1997
yang harus segera diselesaikan oleh DPR dan Presiden jika perppu tidak
dibuat Presiden. Kami yakin prajurit TNI adalah prajurit yang taat kepada
hukum dan konstitusi negara sehingga jiwa korsa TNI juga pasti
menghormati dan mematuhi hukum serta konstitusi negara. Tentu kami juga
bangga memiliki TNI yang profesional, yang salah satu cirinya: tunduk pada
konstitusi dan negara hukum.
Cukup sudah kekerasan terjadi di
republik ini. Mari bersama-sama berupaya membangun negara tanpa
kekerasan. ”Kami sudah lelah dengan
kekerasan”, itulah penggalan kata (alm) Munir yang penting untuk kita
renungkan bersama. Selamat Hari Komando (16 April) bagi seluruh prajurit
Kopassus. Semoga langkahmu terus maju dan tetap berlandaskan pada
Pancasila, Konstitusi, dan negara hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar