Sabtu, 13 April 2013

Tegakkan Konstitusi


Tegakkan Konstitusi
Al Araf  ;  Direktur Program Imparsial
KOMPAS, 13 April 2013

  
Hasil temuan awal tim investigasi TNI AD yang berkoordinasi dengan tim Mabes Polri dalam pengungkapan kasus penyerangan LP Cebongan merupakan awal yang baik.
Sebanyak 11 anggota Kopassus dinyatakan terlibat dalam tindakan penyerangan dan pembunuhan serta penganiayaan terhadap empat tahanan. Pernyataan Komandan Jenderal Kopassus Mayor Jenderal Agus Sutomo yang menyatakan bertanggung jawab atas tindakan anak buahnya di hadapan media masa secara langsung sangat patut dipuji. Jarang sekali ada komandan kesatuan yang mau bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan anggotanya, padahal peradilan atas 11 anggota Kopassus itu sendiri belum dimulai.
Hal itu berbeda dengan kasus penculikan aktivis pada 1997/1998: komandannya hingga kini belum pernah menyatakan langsung di hadapan media masa bertanggung jawab atas tindakan anak buahnya yang menculik dan hingga kini penyelesaian hukum atas kasus penculikan belum kunjung tuntas.
Meski demikian, kejanggalan atas temuan tim investigasi TNI AD terkait pernyataan bahwa penyerangan dilakukan secara tak terencana tentu jadi tanda tanya besar bagi publik. Sebagian pengamat hukum menilai, penyerangan itu tentu dilakukan terencana dan masuk dalam kategori pembunuhan berencana. Ini terlihat dari komunikasi antarpelaku, ajakan menyerang, penggunaan senjata TNI, lokasi penyerangan yang ditentukan (LP Cebongan), hingga target yang terpilih untuk dieksekusi.
Proses hukum dalam penuntasan kasus ini sepertinya akan melalui jalan panjang berliku. Tak heran, publik berharap agar penuntasan kasus ini sebaiknya dilakukan melalui mekanisme peradilan umum. Sayang, pemerintah sepertinya akan menutup ruang penyelesaian melalui mekanisme peradilan umum dengan menyatakan bahwa penyelesaian kasus ini akan melalui mekanisme peradilan militer.
Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum, bukan negara berdasarkan kekuasaan. Hal itu jelas ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (3) Konstitusi yang menyebutkan, negara Indonesia adalah negara hukum. Di dalam sistem negara yang berdasarkan hukum, Konstitusi merupakan fundamental norm yang harus dipegang seluruh elemen masyarakat dalam hidup bernegara dan berbangsa. Dengan demikian, penyelesaian seluruh persoalan hukum dan kebangsaan harus memperhatikan nilai-nilai dan norma-norma yang terkandung dalam konstitusi.
Salah satu prinsip utama dalam negara hukum adalah pengakuan atas prinsip sama di hadapan hukum. Prinsip itu secara tegas diatur dalam Pasal 27 Ayat (1) UUD yang menyebutkan, ”Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Lalu dipertegas lagi dalam Pasal 28 Huruf d Ayat (1) Konstitusi yang menyebutkan, ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Prinsip ini menyiratkan makna bahwa seluruh warga negara harus diperlakukan sama di muka hukum.
Dalam negara hukum, tentu tidak boleh dan tidak bisa ada diskriminasi dalam penerapan hukum yang bersifat publik, baik hukum formal maupun hukum materialnya. Semua warga negara, baik yang berprofesi sebagai mahasiswa, aktivis LSM, anggota TNI, anggota Polri, menteri, maupun presiden, memiliki hak dan kewajiban yang sama di hadapan hukum. Dalam konstruksi negara hukum itu, mekanisme peradilan mutlak bersifat independen, tak memihak, dan tak dipengaruhi suatu kekuasaan atau kekuatan apa pun serta harus menjamin due process of law.
Dalam logika konstitusional itu, penyelesaian kasus penyerangan ke LP Cebongan sebaiknya diselesaikan melalui mekanisme peradilan umum. Tim investigasi TNI sendiri menyebutkan, penyerangan itu bukan merupakan bentuk operasi militer dan tindakan penyerangan itu tidak dilakukan atas nama institusi, tetapi dilakukan oknum anggota TNI. Tepat bila untuk sementara dikatakan, penyerangan itu merupakan kejahatan hukum pidana umum dan sebaiknya diadili melalui peradilan umum dengan menggunakan mekanisme KUHAP dan KUHP.
Perlu Perppu
Salah satu kesulitan dari usaha membawa kasus ini melalui mekanisme peradilan umum adalah masih berlakunya UU No 31/1997 tentang Peradilan Militer. Juru bicara Mabes TNI sendiri sudah menyatakan: karena UU Peradilan Militer masih berlaku, penyerangan ke LP Cebongan harus dibawa ke dalam peradilan militer.
Pasal 65 Ayat (2) UU TNI sebenarnya sudah menegaskan bahwa prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan UU. Namun, sayangnya, implementasi Pasal 65 itu harus terhambat oleh Pasal 74 UU TNI sendiri Ayat (1) dan (2) yang menyebutkan bahwa, (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 berlaku pada saat undang-undang tentang Peradilan Militer yang baru diberlakukan; (2) Selama UU peradilan militer yang baru belum dibentuk tetap tunduk pada ketentuan UU No 31/1997 tentang Peradilan Militer.
Tak heran jika publik kemudian mendesak Presiden melakukan terobosan hukum dengan segera membentuk peraturan pemerintah pengganti UU (Perppu) untuk mengubah mekanisme dan yurisdiksi peradilan militer yang diatur dalam UU No 31/1997 sehingga kasus Cebongan dapat dibawa melalui peradilan umum.
Pembentukan perppu adalah langkah ideal dalam mereformasi peradilan militer dan dalam menuntaskan kasus Cebongan mengingat pembentukan perppu dapat dilakukan dalam waktu cepat oleh Presiden. Kalau menunggu revisi UU No 31/1997 melalui mekanisme normal, pembahasan antara parlemen dan pemerintah akan butuh waktu panjang. Di sinilah Presiden SBY harus membuktikan janjinya beberapa tahun lalu: perlu mereformasi peradilan militer.
Terkait dengan persoalan premanisme, penting bagi aparat kepolisian bertindak tegas dan cepat dalam memberantas premanisme sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Law enforcement harus benar-benar bekerja dan berjalan menghadapi aksi premanisme. Aparat penegak hukum tak boleh kalah menghadapi aksi premanisme, dan paling penting adalah aparat penegak hukum tak boleh permisif dan tak boleh jadi bagian lingkaran premanisme.
Langkah kepolisian menangkap pelaku premanisme setahun terakhir ini sangat baik dan harus diteruskan. Pada saat bersamaan, semua institusi negara dan seluruh masyarakat indonesia harus menghormati due process of law. Tak bisa dibenarkan dengan dalih apa pun tindakan hukum rimba di dalam negara hukum. Kita patut mengapresiasi niat semua elemen masyarakat yang ingin berperan serta memberantas premanisme, tetapi di dalam negara hukum biarlah aparat penegak hukum yang harus bekerja terdepan melakukan itu. Sudah saatnya aparat penegak hukum mengambil langkah tersistematis dan terencana menghadapi premanisme dengan tetap berpegang teguh pada mekanisme hukum yang berlaku.
Lebih jauh dari itu, reformasi sistem hukum jadi sebuah keharusan yang juga tak bisa ditunda-tunda, khususnya menghilangkan budaya korupsi dalam semua level penegakan hukum, sehingga wibawa hukum dapat segera pulih kembali.
Hentikan Kekerasan
Kita semua sebagai bangsa harus mengakui dan mengapresiasi kiprah Kopassus sebagai kesatuan khusus TNI yang memiliki peran besar dalam menjaga kedaulatan NKRI. Kita semua juga harus menyelamatkan institusi TNI dari oknum yang melanggar hukum. Jangan sampai institusi TNI, khususnya Kopassus, terbebani dengan tindakan melanggar hukum yang dilakukan oknumnya. Untuk tujuan itu, kita sangat berharap kepada Presiden SBY, selaku otoritas politik tertinggi dalam hierarki TNI, berani menegakkan Konstitusi dengan segera membentuk perppu perubahan peradilan militer sehingga kasus Cebongan dapat dibawa melalui peradilan umum.
Kalaupun Presiden dan Mabes TNI tetap memaksakan penyelesaian kasus ini melalui mekanisme peradilan militer, sudah sepantasnya para pelaku mendapat hukuman setimpal sesuai dengan kejahatan yang mereka lakukan. Proses peradilan militer terhadap oknum anggota TNI yang membunuh Direktur PT Asaba adalah contoh yang baik. Namun, kami menolak penerapan hukuman mati kepada para pelaku sebagaimana dialami terdakwa kasus PT Asaba karena hukuman mati jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi.
Langkah ini tentu juga tak boleh menutup agenda reformasi peradilan militer melalui revisi UU No 31/1997 yang harus segera diselesaikan oleh DPR dan Presiden jika perppu tidak dibuat Presiden. Kami yakin prajurit TNI adalah prajurit yang taat kepada hukum dan konstitusi negara sehingga jiwa korsa TNI juga pasti menghormati dan mematuhi hukum serta konstitusi negara. Tentu kami juga bangga memiliki TNI yang profesional, yang salah satu cirinya: tunduk pada konstitusi dan negara hukum.
Cukup sudah kekerasan terjadi di republik ini. Mari bersama-sama berupaya membangun negara tanpa kekerasan. ”Kami sudah lelah dengan kekerasan”, itulah penggalan kata (alm) Munir yang penting untuk kita renungkan bersama. Selamat Hari Komando (16 April) bagi seluruh prajurit Kopassus. Semoga langkahmu terus maju dan tetap berlandaskan pada Pancasila, Konstitusi, dan negara hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar