Secara psikologis, kepemimpinan
nasional saat ini bernilai historis-psikologis yang spesifik. Kisah
dimulai sekitar sembilan tahun lalu tatkala kita sebagai rakyat dan
bangsa demikian menikmati fenomena ”psikologi
orang-orang kalah”.
Kala itu, ada dinamika
psikologis ketersingkiran dan keterpentalan SBY dari kabinet Megawati
akibat ”perseteruannya” dengan Megawati (plus Taufiq Kiemas). Bahkan,
Taufiq Kiemas waktu itu sempat menyindirnya (Menko Polkam) sebagai
jenderal yang ”kayak anak kecil”. Dinamika itu membuat posisi psikologis
SBY berada di area marjinal, terpinggirkan, menjadi korban.
Sesuai dengan hukum psikologi
orang-orang kalah, sosok yang dikuyo-kuyo
dan terkalahkan itu justru akan mendapat magnet simpati dan dukungan
moral yang luar biasa dari rakyat. Maka, psikologi orang kalah
menunjukkan tuahnya, rakyat dikuasai kecenderungan bawah sadarnya selalu
memihak, mendukung, dan memberi simpati kepada figur-figur yang
”dianiaya, disakiti, dipinggirkan”.
Substansi psikologisnya
memprihatinkan sebab dinamika itu sesungguhnya merupakan refleksi kondisi
rakyat sendiri yang secara de facto
senantiasa tersakiti, terpinggirkan, teraniaya, menjadi korban. Ini
menjadi sangat manusiawi ketika manusia cenderung bersatu, mengumpul, dan
menggerombol dengan figur yang senasib. Sebuah identifikasi diri (rakyat)
yang menderita terhadap sosok SBY (2004). Inilah bentuk nyata masokisme
intelektual yang nyata terjadi pada rakyat.
Tersakiti, menderita,
terpinggirkan lalu mencari kenikmatan dan kenyamanan (kompensasi) pada
figur atau sosok lain yang dianggap senasib dengan harapan ada sedikit
penyaluran yang melegakan dan meringankan beban penderitaan. Sesungguhnya
Megawati sendiri adalah sosok yang tersakiti di era Soeharto dan ia
mendapat manfaat serta tuah dari hukum psikologi orang kalah dalam bentuk
simpati dan dukungan massa yang luar biasa.
Sebagai catatan kontekstual,
Jokowi juga sosok yang mendapat manfaat dan tuah psikologi orang kalah
ketika ia ”dikeroyok, disakiti” oleh partai-partai politik lawannya, atau
isu-isu SARA, serta kampanye hitam lainnya. Tuah psikologi orang kalah
membuatnya mampu menjungkalkan Foke. Tak luput pula sosok Anas, terlepas
dari status tersangkanya oleh KPK, yang justru saat ini menjadi sosok
orang kalah yang sedang mendapat tuah psikologi orang kalah akibat
perlakuan Partai Demokrat, dan SBY khususnya, terhadap dirinya.
Kembali ke sosok SBY. Ketika
tuah psikologi orang kalah mengantarkannya ke kursi RI-1, sadar atau
tidak, sebagai pemimpin ia tetap menempatkan dirinya sebagai orang kalah.
Maka, gaya kepemimpinannya adalah kepemimpinan orang kalah. Nyaris semua
ekspresi kepemimpinannya adalah kepemimpinan orang kalah (baca: pemimpin
yang dikuasai sindrom orang kalah dengan menempatkan diri sebagai sosok
yang dianiaya, sebagai orang kalah).
Beberapa contoh ekspresi itu:
merasa jadi target, bekerja keras setengah mati, tetapi soal gaji saja
masih disalahpahami, ada yang mau menggulingkan kekuasaannya, reaktif,
dan seterusnya sampai wacana terakhir soal ucapannya (tudingannya) bahwa
ada sekelompok elite dan orang yang ingin membuat onar dan mengganggu
pemerintahannya. Intinya, sebagai pemimpin ia merasa disakiti, dianiaya,
dan menjadi korban. Itulah tipikal kepemimpinan orang kalah.
Tidak Jadi Besar
Gaya kepemimpinan orang kalah
tidak pernah membuat seorang pemimpin menjadi besar. Dia hanya akan jadi
pemimpin rata-rata saja. Ada tiga hukum dasar (ke)pemimpin(an) besar yang
berseberangan dengan kepemimpinan orang kalah ala SBY.
Pertama, kepemimpinan besar
tidak memberi ruang bagi praktik kepemimpinan orang kalah sebab gaya
kepemimpinan orang kalah sangat bertentangan dengan hukum dasar
kepemimpinan besar: melayani. Secara praksis kepemimpinan melayani adalah
menjadi orang yang mengalah, bukan orang yang kalah.
Pemimpin (orang) yang kalah
dikuasai sindrom orang kalah, tetapi sesungguhnya ingin menaklukkan orang
lain. Sementara pemimpin (orang) yang mengalah adalah orang yang justru
telah menaklukkan dirinya sendiri dan tak pernah merasa perlu menaklukkan
orang lain.
Kedua, kepemimpinan besar
bukanlah reaktif, melainkan proaktif. Pemimpin reaktif terlalu dikuasai
perasaan dan stimulus dari luar dalam memimpin. Sementara pemimpin
proaktif lebih merdeka dan bebas serta mendasarkan diri pada nilai-nilai
kebaikan, keadilan, dan kebenaran universal dalam memimpin.
Ketiga, pemimpin besar selalu
mendahulukan orang lain, bukannya minta didahulukan. Kisah ilustratif
dari Umar bin Khattab berikut ini sangat menginspirasi. Konon Utbah bin
Farqad, gubernur Azerbaijan di bawah pemerintahan Umar bin Khattab,
mempersembahkan makanan terlezat kepada Umar bin Khattab, yang disebut
habish, terbuat dari buah kurma dan minyak samin. Habish itu sesungguhnya
adalah makanan yang dibuat oleh rakyat.
Umar mencicipinya dan bertanya
apa nama makanan yang lezat itu. Setelah dijawab bahwa itu makanan
terlezat di Azerbaijan dan namanya habish, Umar bertanya, ”Baiklah,
apakah seluruh rakyat di Azerbaijan sudah bisa menikmati makanan lezat
ini?” Ketika dijawab bahwa tidak semua rakyat bisa menikmatinya, marahlah
Umar.
Ia segera meminta utusan
Gubernur Farqad membawa pulang habish itu ke Azerbaijan dan menitipkan
surat kepada Gubernur Farqad: ”Gubernur
Farqad, makanan terlezat ini tidaklah dibuat dari uang ayah atau ibumu.
Maka, kenyangkan dulu perut rakyatmu dengan habish ini sebelum engkau mengenyangkan
perutmu sendiri.”
Kepanikan SBY belakangan ini
justru melegitimasi muara kepemimpinan selama ini sebagai ”ke(pemimpin)an orang kalah” dan
bukannya ”ke(pemimpin)an orang
mengalah” yang menjadi dasar dari kepemimpinan melayani.
Sesungguhnya boleh saja kita
menjadi pemimpin karena tuah psikologi orang kalah, tetapi ketika sudah
naik menjadi pemimpin, sebaiknya kita menjadi pemimpin yang mengalah,
bukan pemimpin kalah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar