Saya yakin tidak banyak orang yang pernah
mendengar nama Cantrik Janaloka dalam dunia perwayangan. Namanya kalah
populer dari Gatotkaca (alias Bambang Tutuka yang dijadikan nama pesawat
produksi PT Dirgantara Indonesia),
Srikandi
(wanita kesatria sakti-mandraguna, istri Arjuna) dan Arjuna (suami
Srikandi, merangkap suami 40 wanita lain, playboy Mahabarata yang jauh
lebih perkasa dari Eyang Subur yang beristri 9). Tetapi dalam pakem
wayang purwa, ada lakon tersendiri tentang cantrik satu ini. Cantrik
(dalam kosakata sekarang: santri), dalam wayang, adalah seorang yang
sedang belajar ilmu spiritual pada seorang begawan di sebuah pertapaan.
Dalam lakon
“Cantrik Janaloka” si cantrik yang bernama Janaloka ini sedang berguru kepada
seorang begawan bernama Sidik Wacana di pertapaan Andong Sumawi. Begawan
ini punya putri cantik bernama Endang Manuhara yang pernah dinikahi oleh
Arjuna (tuh, playboy kan?) dan dari hasil pernikahan itu lahir dua dara
kembar, Endang Pergiwa dan Endang Pergiwati (dalam bahasa Jawa, nama
Endang selalu perempuan, dalam bahasa Sunda selalu laki-laki).
Pada suatu
hari, kedua dara cantik ini ingin menemui ayahnya yang playboy itu di
Kerajaan Madukara. Maka, BegawanSidik Wacana memanggil cantriknya yang paling
tepercaya, Janaloka, untuk mengantarkan kedua cucunya mengingat
perjalanan ke Madukara cukup jauh dan berbahaya (waktu itu belum ada
busway).
Namun,
sebelum berangkat, sang Begawan berpesan pada cantrik agar jangan sampai
dia menyentuh, apalagi mengganggu kedua putri jelita itu. Maka, cantrik
Janaloka yang setia itu pun mengangkat sumpah bahwa ia akan mematuhi
semua titah Begawan dan bila melanggar dia akan terkena kutukan kehausan
dan kelaparan sepanjang perjalanan dan akhirnya mati dibantai massa yang
beringas, seperti pencopet yang tertangkap basah dan dihajar massa.
Namun apa
daya, di tengah perjalanan, di hutan yang sepi, Janaloka tak kuat melihat
betis mulus dan dada ranum kedua cucu bosnya itu, berahinya pun muncul
(adegan berikutnya disensor!). Akibatnya, sontak sepanjang perjalanan
Janaloka tidak bisa makan-minum. Semua air kering waktu akan
diminumdansemuabuahhilang dari pepohonan.
Janaloka
sangat menderita dan pada ujung perjalanan ketiga orang ini bertemu
dengan rombongan prajurit Kurawa yang sedang mencari cewek-cewek untuk
dijadikan pagar ayu di sebuah perkawinan di Istana Astinapura. Untung,
Endang Pergiwa dan Endang Pergiwati berhasil diselamatkan oleh Gatotkaca
dan Abimanyu (anaknya Arjuna dari istri yang lain lagi), tetapi Janaloka
tertangkap oleh laskar Kurawa dan tewas dicincang oleh pasukan yang
sedang beringas itu. Akhlak dari cerita ini adalah janganlah melanggar
sumpah yang kita ucapkan sendiri.
“Mogok di Busway, Sopir Nissan March
Hajar Transjakarta.” Headline tersebut saya kutip dari sebuah media
online pada 10 April 2013. Kutipan selanjutnya, “Peristiwa ini berawal saat pengemudi Nissan March bernomor
polisi B 1468 BOT sedang mengganti ban di jalur busway. Hal itu
menyebabkan bus Transjakarta koridor IX jurusan Pluit-Pinang Ranti
bernopol B 7250 IV, yang dikemudikan Marlinda (perempuan) tak dapat
melintas.
Pengemudi
mobil sedan dan pramudi bus Transjakarta itu pun terlibat cekcok mulut.
Tiba-tiba, pengemudi Nissan marah dan memecahkan kaca bus Transjakarta
dengan menggunakan kunci roda. Marlinda mengalami luka di wajah karena
terkena serpihan kaca bus yang pecah. Dia lalu dilarikan ke ruang
poliklinik Mapolres Jakarta Barat untuk mendapatkan perawatan.”
Ada persamaan antara cerita wayang
cantrik Janalodra dengan sopir Nissan March, yaitu keduanya melanggar
akhlak. Janaloka melanggar akhlak karena melanggar sumpahnya dan mencoba menggagahi
cucu gurunya sendiri, sedangkan pengemudi Nissan March melanggar akhlak
yang paling dasar dalam kehidupan bermasyarakat. Dia sudah salah
(melanggar hukum) dengan menyerobot jalur yang bukan haknya, dia juga
marah-marah pada sopir bus Transjakarta (dia yang salah, kok malah dia
yang marah?), dan yang paling utama, dia
melukai pramudi bus yang kebetulan perempuan.
Tetapi apakah bos pengemudi Nissan March
akan menemukan hukum karmanya seperti cantrik Janaloka? Mungkin sekali
tidak! Dalam cerita wayang, dewatalah yang menghukum Janaloka, tetapi di
Provinsi DKI Jakarta, Allah Swt tidak memberikan hukuman bayar kontan
seperti itu. Apalagi polisi. Berita tersebut berhenti hanya sampai si
pengemudi Nissan March digelandang ke kantor polisi. Bagaimana urusan
selanjutnya? No news, yang
berarti good news buat si
pelaku yang tidak berakhlak itu.
Jadi, memang gonjang-ganjingnya di negeri
kita belakangan ini lebih karena banyaknya perbuatan yang melanggar
akhlak, bukan melanggar hukum. KPK, polisi, dan kejaksaan, bahkan polisi
kanun di Aceh hanya mengurus pelanggaran hukum, termasuk hukum syariah,
bukan pelanggaran akhlak.
Jadi siapa
yang mengurus akhlak? Tidak ada! Kementerian Agama dan Kementerian
Pendidikan, dua kementerian yang seharusnya mengurus pembinaan akhlak
melalui agama dan pendidikan, malah dipenuhi dengan oknum tak berakhlak.
Orang tua yang seharusnya menanamkan nilai-nilai akhlak malah membuat
anaknya stres sehingga bunuh diri (takut UAN, misalnya), atau sebaliknya,
anak justru melawan, menyerang, bahkan membunuh orang tua.
Penerbitan
sertifikat tanah ganda atau izin operasi atas sebidang tanah oleh
instansi-instansi yang berbeda-beda, sehingga menyebabkan tawuran di
lapangan, mungkin tidak melanggar hukum, tetapi melanggar akhlak. Agama
mengajarkan akhlak, tetapi umatnya lebih suka berdebat tentang syariah
atau fikih, sehingga muncul perbedaan-perbedaan, sekte-sekte, yang
menyebabkan mereka saling berperang dan saling membunuh untuk membela
keyakinan masing-masing, tetapi akhlak yang menjadi intinya agama malah
dilupakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar