Teka-Teki
seputar tragedi pembantaian di LP Cebongan Sleman DIY mulai terkuak. Tim
investigasi bentukan TNI AD di bawah pimpinan Wakil Komandan Puspom
Brigjen Unggul K Yudhoyono menyebut keterlibatan 11 anggota Grup II
Kopassus Kandang Menjangan Kartasura Sukoharjo. Gelora jiwa korsa dan dan
semangat membela nama korps yang tidak pada tempatnya, diakui sebagai
pemicu utama.
Mereka tak
bisa menerima perbuatan empat korban penembakan itu, yang sebelumnya
menganiaya hingga tewas Serka Heru Santoso, mantan komandan mereka.
Terlebih Santoso pernah menyelamatkan pelaku saat tugas operasi (SM,
5/4/13). Menurut Danjen Kopassus Mayjen Agus Sutomo, pelaku diadili
pada peradilan militer dalam setting terbuka dan bisa dipantau oleh umum
(SM, 6/4/13).
Fenomena tak
lazim justru muncul dari masyarakat, menyusul pengakuan jujur pelaku di
depan tim investigasi TNI AD. Biasanya pelaku pembunuhan, apalagi dengan
cara sadistis, menuai kecaman dan tuntutan dihukum seberat-beratnya.
Namun 11 prajurit itu banyak mendapat simpati dan dukungan.
Wujud dukungan
diwujudkan antara lain lewat spanduk di berbagai sudut kota (terutama
Solo dan Yogyakarta). Spanduk berwarna dasar merah, warna brand Kopassus,
bertuliskan hitam, ''Kami Bangga
dan Salut pada Jiwa Kesatria Prajurit Kopassus''. Adapun spanduk yang
diklaim dibuat ormas Mega Bintang bertuliskan ''Dukung TNI/Polri Berantas Premanisme''.
Dunia maya
juga menjadi ajang konkret mewujudkan dukungan. Berdasarkan penelusuran
di Facebook, paling tidak bisa ditemukan 19 grup lewat kata kunci ''dukung Kopassus''. Anggota
jejaring sosial itu sudah mencapai angka ribuan. Pada jejaring sosial
lain, seperti Twitter, juga bermunculan ribuan kicauan.
Di
Yogyakarta, ratusan pemuda menggelar aksi, mengapresiasi dan mendukung
sikap kesatria 11 anggota Kopassus, yang mengakui menyerbu LP Cebongan
pada 23 Maret lalu. Mereka menggalang Gerakan Semiliar Koin untuk
diserahkan kepada istri almarhum Serka Heru Santoso yang tewas dianiaya
di Hugo's Cafe, pada 19 Maret lalu (vivanews.com,
7/4/13)
Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono pun, yang berlatar belakang militer, melalui
pernyataan pada berbagai media secara tersirat menunjukkan simpati
terhadap pelaku penembakan dengan memuji mereka sebagai kesatria dan
prajurit sejati karena jujur mengakui perbuatan. Namun ia juga mengatakan
secara hukum tindakan mereka tidak dapat dibenarkan dan tetap harus
diproses secara hukum.
Apa yang
mendorong masyarakat bersimpati kepada pelaku penyerbuan LP Cebongan?
Benar, apa pun alasannya tindakan main hakim sendiri tak dapat dibenarkan
dalam koridor sebuah negara hukum. Itu artinya ke-11 prajurit Kopassus
harus dihukum melalui proses peradilan yang fair.
Namun
realitas simpati dan dukungan kepada mereka juga harus menjadi bahan
instropeksi, terutama bagi pihak terkait. Jika meresapi secara mendalam,
dukungan terhadap anggota Kopassus itu sesungguhnya tamparan keras
terhadap aparat penegak hukum dalam menjamin keamanan dan kenyamanan
warga dari aksi premanisme yang kian menjamur.
Praktik Beking
Fenomena itu
wujud perlawanan simbolik untuk terkait frustrasi dan kegeraman mereka
atas ketidakbecusan aparat memberantas premanisme. Padahal dari sisi
sumber daya dan kemampuan, aparat mudah memberantas preman karena modus
dan kegiatan mereka mudah dibaca.
Persoalannya
hanyalah pada good will, apakah aparat mau bersungguh-sungguh
melakukannya atau tidak. Ironisnya, masyarakat justru harus menerima
kenyataan frustrasi lebih dalam, karena preman acap berlindung bahkan
bersimbiosis mutualisme dengan oknum aparat, baik Polri maupun TNI.
Beking-membeking terkait praktik premanisme bukanlah cerita baru.
Meski belum
terbukti sah secara hukum bahwa empat korban penembakan di LP Cebongan
adalah preman, opini sudah terbentuk. Mereka dituding sebagai preman yang
membunuh Serka Heru Santoso. Salah satu dari penganiaya anggota Kopassus
itu, yakni Bripka Yohanis Juan Manbait (Juan) bahkan masih tercatat
sebagai anggota Polsekta Sleman Polres Yogyakarta.
Akibatnya,
rasa frustrasi dan kegeraman masyarakat kian memuncak dan mereka
menyepakati tindakan main hakim sendiri itu, sekaligus mendukung prajurit
Ko-passus. Masyarakat beranggapan aparat yang seharusnya paling
bertanggung jawab, terutama kepolisian, adalah bagian dari masalah
premanisme.
Selaku
presiden, SBY dapat menangkap sinyal kegeraman terhadap tindak premanisme.
Ini dibuktikan dengan perintahnya kepada Kapolri untuk segera menuntaskan
persoalan premanisme apa pun bentuknya. Kita tunggu hasil dari mandat
tersebut, apakah serius dan tuntas ataukah hanya hangat-hangat tahi ayam
seperti biasanya, diberantas saat ramai sebuah kasus dan dibiarkan hingga
ada kasus besar berikutnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar