Jumat, 12 April 2013

Kegeraman atas Premanisme


Kegeraman atas Premanisme
Andy Suryadi  ;  Dosen Sejarah, Pegiat pada Pusat Kajian Kepolisian
Fakultas Ilmu Sosial  Universitas Negeri Semarang (Unnes)
SUARA MERDEKA, 12 April 2013

  
Teka-Teki seputar tragedi pembantaian di LP Cebongan Sleman DIY mulai terkuak. Tim investigasi bentukan TNI AD di bawah pimpinan Wakil Komandan Puspom Brigjen Unggul K Yudhoyono menyebut keterlibatan 11 anggota Grup II Kopassus Kandang Menjangan Kartasura Sukoharjo. Gelora jiwa korsa dan dan semangat membela nama korps yang tidak pada tempatnya, diakui sebagai pemicu utama. 

Mereka tak bisa menerima perbuatan empat korban penembakan itu, yang sebelumnya menganiaya hingga tewas Serka Heru Santoso, mantan komandan mereka. Terlebih Santoso pernah menyelamatkan pelaku saat tugas operasi (SM, 5/4/13). Menurut Danjen Kopassus Mayjen Agus Sutomo, pelaku  diadili pada peradilan militer dalam setting terbuka dan bisa dipantau oleh umum (SM, 6/4/13).  

Fenomena tak lazim justru muncul dari masyarakat, menyusul pengakuan jujur pelaku di depan tim investigasi TNI AD. Biasanya pelaku pembunuhan, apalagi dengan cara sadistis, menuai kecaman dan tuntutan dihukum seberat-beratnya. Namun 11 prajurit itu banyak mendapat simpati dan dukungan. 

Wujud dukungan diwujudkan antara lain lewat spanduk di berbagai sudut kota (terutama Solo dan Yogyakarta). Spanduk berwarna dasar merah, warna brand Kopassus, bertuliskan hitam, ''Kami Bangga dan Salut pada Jiwa Kesatria Prajurit Kopassus''. Adapun spanduk yang diklaim dibuat ormas Mega Bintang bertuliskan ''Dukung TNI/Polri Berantas Premanisme''.

Dunia maya juga menjadi ajang konkret mewujudkan dukungan. Berdasarkan penelusuran di Facebook, paling tidak bisa ditemukan 19 grup lewat kata kunci ''dukung Kopassus''. Anggota jejaring sosial itu sudah mencapai angka ribuan. Pada jejaring sosial lain, seperti  Twitter, juga bermunculan ribuan kicauan.

Di Yogyakarta, ratusan pemuda menggelar aksi, mengapresiasi dan mendukung sikap kesatria 11 anggota Kopassus, yang mengakui menyerbu LP Cebongan pada  23 Maret lalu. Mereka menggalang Gerakan Semiliar Koin untuk diserahkan kepada istri almarhum Serka Heru Santoso yang tewas dianiaya di Hugo's Cafe, pada 19 Maret lalu (vivanews.com, 7/4/13) 

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun, yang berlatar belakang militer, melalui pernyataan pada berbagai media secara tersirat menunjukkan simpati terhadap pelaku penembakan dengan memuji mereka sebagai kesatria dan prajurit sejati karena jujur mengakui perbuatan. Namun ia juga mengatakan secara hukum tindakan mereka tidak dapat dibenarkan dan tetap harus diproses secara hukum.

Apa yang mendorong masyarakat bersimpati kepada pelaku penyerbuan LP Cebongan? Benar, apa pun alasannya tindakan main hakim sendiri tak dapat dibenarkan dalam koridor sebuah negara hukum. Itu artinya ke-11 prajurit Kopassus harus dihukum melalui proses peradilan yang fair. 

Namun realitas simpati dan dukungan kepada mereka juga harus menjadi bahan instropeksi, terutama bagi pihak terkait. Jika meresapi secara mendalam, dukungan terhadap anggota Kopassus itu sesungguhnya tamparan keras terhadap aparat penegak hukum dalam menjamin keamanan dan kenyamanan warga dari aksi premanisme yang kian menjamur.

Praktik Beking

Fenomena itu wujud perlawanan simbolik untuk terkait frustrasi dan kegeraman mereka atas ketidakbecusan aparat memberantas premanisme. Padahal dari sisi sumber daya dan kemampuan, aparat mudah memberantas preman karena modus dan kegiatan mereka mudah dibaca.  

Persoalannya hanyalah pada good will, apakah aparat mau bersungguh-sungguh melakukannya atau tidak. Ironisnya, masyarakat justru harus menerima kenyataan frustrasi lebih dalam, karena preman acap berlindung bahkan bersimbiosis mutualisme dengan oknum aparat, baik Polri maupun TNI. Beking-membeking terkait praktik premanisme bukanlah cerita baru.

Meski belum terbukti sah secara hukum bahwa empat korban penembakan di LP Cebongan adalah preman, opini sudah terbentuk. Mereka dituding sebagai preman yang membunuh Serka Heru Santoso. Salah satu dari penganiaya anggota Kopassus itu, yakni Bripka Yohanis Juan Manbait (Juan) bahkan masih tercatat sebagai anggota Polsekta Sleman Polres Yogyakarta.

Akibatnya, rasa frustrasi dan kegeraman masyarakat kian memuncak dan mereka menyepakati tindakan main hakim sendiri itu, sekaligus mendukung prajurit Ko-passus. Masyarakat beranggapan aparat yang seharusnya paling bertanggung jawab, terutama kepolisian, adalah bagian dari masalah premanisme.

Selaku presiden, SBY dapat menangkap sinyal kegeraman terhadap tindak premanisme. Ini dibuktikan dengan perintahnya kepada Kapolri untuk segera menuntaskan persoalan premanisme apa pun bentuknya. Kita tunggu hasil dari mandat tersebut, apakah serius dan tuntas ataukah hanya hangat-hangat tahi ayam seperti biasanya, diberantas saat ramai sebuah kasus dan dibiarkan hingga ada kasus besar berikutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar