Jumat, 12 April 2013

Kegalauan Parpol Maskulin


Kegalauan Parpol Maskulin
Ya’qud Ananda Gudban ;  Ketua DPC Partai Hanura, Anggota DPRD,
Ketua Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI), Semuanya di Kota Malang
JAWA POS, 12 April 2013
  

Menjelang pencalegan, soal keterwakilan perempuan di parlemen menyeruak. Banyak partai yang mengeluh sulit untuk memenuhi kuota 30 persen caleg perempuan. Aneh karena itu sudah digulirkan cukup lama. Dalam UU No. 2/2008 tentang Partai Politik dan UU No 10/2008 tentang Pemilihan Umum yang dijabarkan Peraturan KPU Nomor 7/2013 ditegaskan kewajiban itu. Bahkan, keputusan MK (Mahkamah Konstitusi) sudah final menyatakan tiap partai harus memenuhi kuota 30 persen perempuan dalam daftar calon legislatifnya.

Jika merujuk UU tersebut, sudah lima tahun secara hukum ikhtiar kesetaraan gender dalam berpolitik ditetapkan. Nyatanya, sampai saat ini, saya membaca kegalauan partai-partai politik. Bahkan, beberapa parpol melalui Komisi II DPR meminta KPU agar merevisi Peraturan KPU Nomor 7/2013 itu karena banyak partai yang sulit untuk memenuhinya. 

Sikap negatif itu merupakan langkah mundur. Kalau para pemimpin parpol itu mau sungguh-sungguh, memenuhi kuota tersebut bukan masalah yang sulit. Beberapa di antara wakil parpol yang minta aturan tersebut direvisi sudah berkiprah panjang dalam dunia politik. Jelas mereka memiliki banyak waktu untuk merekrut kader-kader perempuan. Meski gaung kuota 30 persen keterwakilan perempuan itu baru panas sepuluh tahun terakhir, harusnya kini sudah siap dengan sebarisan panjang politikus perempuan.

Kalau malah minta Peraturan KPU Nomor 7/2013 direvisi, itu mencerminkan tidak seriusnya parpol dalam melibatkan perempuan. Ini menegaskan anggapan bahwa perempuan hanya konco wingking, mengurusi rumah tangga alias domestik. Kesan bahwa parpol sangat maskulin akan sulit terbantahkan karena tidak signifikan melibatkan perempuan di dalamnya.

Jelas terlihat kecenderungan parpol yang maskulin itu akhirnya menempuh jalan pintas untuk mematuhi formalitas aturan dan tetap boleh ikut pemilu. Ramailah model rekrutmen dadakan, last minute, yang penting jumlahnya cukup. Sesuai dengan aturan tersebut, partai harus punya 30 persen caleg perempuan di setiap dapil (daerah pemilihan), mulai DPRD kabupaten/kota, DPRD provinsi, dan DPR. 

Kalau parpol galau, saya risau. Jangan-jangan parpol menggaet perempuan hanya untuk lolos Pemilu 2014, mengabaikan kualitas. Padahal, legislator perempuan dalam jumlah signifikan diperlukan untuk mengoreksi arah kebijakan pemerintah yang sering tidak sensitif gender dan tidak pro perempuan. Sewajarnya partai melakukan kaderisasi perempuan sejak dini agar yang menjadi legislator punya kemampuan mumpuni. Pengalaman saya, yang mengetuai DPC Hanura Kota Malang, tidak sulit merekrut kaum perempuan. Sebanyak 46 persen pengurus kami perempuan. 

Selain itu, rekrutmen caleg secara terbuka juga dilakukan enam bulan belakang ini. Yaitu dengan mengajak masyarakat nonpartai untuk terlibat langsung dalam politik praktis. Jadi, mereka yang tidak sempat berpartai tetapi ingin melakukan perubahan terhadap dunia politik, terutama parlemen (perempuan atau laki-laki), bisa berperan langsung. 

Itu bukan berarti kader internal partai tidak berkualitas, tapi karena ada yang berkomitmen untuk membesarkan partai tidak lewat parlemen, melainkan fokus menyiapkan kebijakan-kebijakan partai yang prorakyat. Kebijakan itu kemudian diperjuangkan oleh fraksi yang merupakan kepanjangan tangan partai di parlemen. Mereka yang ada di parlemen harus sejalan dengan kebijakan partai (mengantisipasi kasus pemecatan legislator karena dianggap membangkang).

Ketika partai-partai meminta penghapusan Peraturan KPU Nomor 7/2013, upaya pemberdayaan perempuan yang sudah sekian lama dilakukan berbagai pihak menjadi sia-sia.

Sebaliknya, parpol harus optimistis karena ini sebuah kesempatan bagi parpol untuk berjuang lebih keras memberdayakan perempuan. Bukan malah minta peraturan dihapus karena tidak mampu memenuhinya. Padahal, aturan itu diturunkan dari undang-undang yang dibuat wakil parpol di parlemen.

Tidak perlu ketua partainya seorang perempuan untuk merekrut kader-kader politisi perempuan. Sebab, jaringanlah yang bisa membentuk itu. Bagi politisi laki-laki, mulailah dari lingkungkan terdekat. Yakni melibatkan istri, saudara perempuan, tetangga, atau siapa pun, komunitas perempuan, seperti PKK, kelompok arisan, akademisi, termasuk kelompok ibu-ibu dalam berbagai elemen. 

Karena pendekatan dengan "bahasa perempuan" bisa lebih meyakinkan bahwa perempuan berpolitik bukan hal tabu, tetapi asyik. Politik yang menjadi wadah kaum perempuan turut membangun dan memajukan bangsa secara riil. Para perempuan tidak lagi menjadi penonton, melainkan ikut merancang, memberikan masukan, dan memutuskan sebuah kebijakan.

Seperti yang pernah ditegaskan Masruchah, wakil ketua Komnas Perempuan, ada kaitan perempuan legislator dengan kebijakan beperspektif gender. Buktinya, berbagai produk perundangan seperti UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Perlindungan Saksi dan Korban adalah sejumlah kebijakan yang lahir dari inisiatif dan dorongan perempuan.

Karena itu, tidak perlu seribu alasan lagi untuk tidak melibatkan perempuan dalam berpolitik. Sebab, makin banyak perempuan yang berperan dalam mengambil kebijakan, negeri ini akan lebih berperasaan. Ya, bangsa berperasaan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar