Menjelang pencalegan, soal keterwakilan perempuan di
parlemen menyeruak. Banyak partai yang mengeluh sulit untuk memenuhi
kuota 30 persen caleg perempuan. Aneh karena itu sudah digulirkan cukup
lama. Dalam UU No. 2/2008 tentang Partai Politik dan UU No 10/2008 tentang
Pemilihan Umum yang dijabarkan Peraturan KPU Nomor 7/2013 ditegaskan
kewajiban itu. Bahkan, keputusan MK (Mahkamah Konstitusi) sudah final
menyatakan tiap partai harus memenuhi kuota 30 persen perempuan dalam
daftar calon legislatifnya.
Jika merujuk UU tersebut, sudah lima tahun secara hukum
ikhtiar kesetaraan gender dalam berpolitik ditetapkan. Nyatanya, sampai
saat ini, saya membaca kegalauan partai-partai politik. Bahkan, beberapa
parpol melalui Komisi II DPR meminta KPU agar merevisi Peraturan KPU Nomor
7/2013 itu karena banyak partai yang sulit untuk memenuhinya.
Sikap negatif itu merupakan langkah mundur. Kalau para
pemimpin parpol itu mau sungguh-sungguh, memenuhi kuota tersebut bukan
masalah yang sulit. Beberapa di antara wakil parpol yang minta aturan
tersebut direvisi sudah berkiprah panjang dalam dunia politik. Jelas
mereka memiliki banyak waktu untuk merekrut kader-kader perempuan. Meski
gaung kuota 30 persen keterwakilan perempuan itu baru panas sepuluh tahun
terakhir, harusnya kini sudah siap dengan sebarisan panjang politikus
perempuan.
Kalau malah minta Peraturan KPU Nomor 7/2013 direvisi,
itu mencerminkan tidak seriusnya parpol dalam melibatkan perempuan. Ini
menegaskan anggapan bahwa perempuan hanya konco wingking, mengurusi
rumah tangga alias domestik. Kesan bahwa parpol sangat maskulin akan
sulit terbantahkan karena tidak signifikan melibatkan perempuan di
dalamnya.
Jelas terlihat kecenderungan parpol yang maskulin itu
akhirnya menempuh jalan pintas untuk mematuhi formalitas aturan dan tetap
boleh ikut pemilu. Ramailah model rekrutmen dadakan, last minute, yang penting
jumlahnya cukup. Sesuai dengan aturan tersebut, partai harus punya 30
persen caleg perempuan di setiap dapil (daerah pemilihan), mulai DPRD
kabupaten/kota, DPRD provinsi, dan DPR.
Kalau parpol galau, saya risau. Jangan-jangan parpol
menggaet perempuan hanya untuk lolos Pemilu 2014, mengabaikan kualitas.
Padahal, legislator perempuan dalam jumlah signifikan diperlukan untuk
mengoreksi arah kebijakan pemerintah yang sering tidak sensitif gender
dan tidak pro perempuan. Sewajarnya partai melakukan kaderisasi perempuan
sejak dini agar yang menjadi legislator punya kemampuan mumpuni.
Pengalaman saya, yang mengetuai DPC Hanura Kota Malang, tidak sulit
merekrut kaum perempuan. Sebanyak 46 persen pengurus kami perempuan.
Selain itu, rekrutmen caleg secara terbuka juga
dilakukan enam bulan belakang ini. Yaitu dengan mengajak masyarakat
nonpartai untuk terlibat langsung dalam politik praktis. Jadi, mereka
yang tidak sempat berpartai tetapi ingin melakukan perubahan terhadap
dunia politik, terutama parlemen (perempuan atau laki-laki), bisa
berperan langsung.
Itu bukan berarti kader internal partai tidak
berkualitas, tapi karena ada yang berkomitmen untuk membesarkan partai
tidak lewat parlemen, melainkan fokus menyiapkan kebijakan-kebijakan
partai yang prorakyat. Kebijakan itu kemudian diperjuangkan oleh fraksi
yang merupakan kepanjangan tangan partai di parlemen. Mereka yang ada di
parlemen harus sejalan dengan kebijakan partai (mengantisipasi kasus
pemecatan legislator karena dianggap membangkang).
Ketika partai-partai meminta penghapusan Peraturan KPU
Nomor 7/2013, upaya pemberdayaan perempuan yang sudah sekian lama
dilakukan berbagai pihak menjadi sia-sia.
Sebaliknya, parpol harus optimistis karena ini sebuah
kesempatan bagi parpol untuk berjuang lebih keras memberdayakan
perempuan. Bukan malah minta peraturan dihapus karena tidak mampu
memenuhinya. Padahal, aturan itu diturunkan dari undang-undang yang
dibuat wakil parpol di parlemen.
Tidak perlu ketua partainya seorang perempuan untuk
merekrut kader-kader politisi perempuan. Sebab, jaringanlah yang bisa
membentuk itu. Bagi politisi laki-laki, mulailah dari lingkungkan
terdekat. Yakni melibatkan istri, saudara perempuan, tetangga, atau siapa
pun, komunitas perempuan, seperti PKK, kelompok arisan, akademisi,
termasuk kelompok ibu-ibu dalam berbagai elemen.
Karena pendekatan dengan "bahasa perempuan"
bisa lebih meyakinkan bahwa perempuan berpolitik bukan hal tabu, tetapi
asyik. Politik yang menjadi wadah kaum perempuan turut membangun dan
memajukan bangsa secara riil. Para perempuan tidak lagi menjadi penonton,
melainkan ikut merancang, memberikan masukan, dan memutuskan sebuah
kebijakan.
Seperti yang pernah ditegaskan Masruchah, wakil ketua
Komnas Perempuan, ada kaitan perempuan legislator dengan kebijakan
beperspektif gender. Buktinya, berbagai produk perundangan seperti UU
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang, UU Perlindungan Saksi dan Korban adalah sejumlah
kebijakan yang lahir dari inisiatif dan dorongan perempuan.
Karena itu, tidak perlu seribu alasan lagi untuk tidak
melibatkan perempuan dalam berpolitik. Sebab, makin banyak perempuan yang
berperan dalam mengambil kebijakan, negeri ini akan lebih berperasaan.
Ya, bangsa berperasaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar