Jumat, 12 April 2013

Melindungi Kelompok Hampir Miskin


Melindungi Kelompok Hampir Miskin
Aunur Rofiq ;  Ketua DPP PPP Bidang Ekonomi dan Kewirausahaan; Praktisi Bisnis Pertambangan dan Perkebunan
JAWA POS, 12 April 2013

  
Kenaikan harga bahan pangan belakangan turut membawa kecemasan pada kemungkinan naiknya jumlah orang miskin. Pada awal tahun, 2 Januari 2013, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan data kemiskinan terbaru di negara kita. Menurut BPS, jumlah penduduk miskin per September 2012 mencapai 28,59 juta orang (11,66 persen). Jumlah itu menurun jika dibanding Maret 2012 yang tercatat 29,13 juta orang (11,96 persen) atau terjadi penurunan 0,54 juta atau 540.000 orang.

Jika kita cermati laporan BPS tersebut, ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya penurunan angka kemiskinan, yakni penurunan inflasi 2,59 persen dan harga pangan (beras) yang stabil. Dampak inflasi dan harga beras sangat terasa bagi kesejahteraan penduduk miskin, terutama di pedesaan. Karena itu, membaiknya inflasi dan stabilitas harga pangan (beras) sangat membantu mengurangi jumlah rakyat miskin di pedesaan.

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa angka kemiskinan sangat rentan dipengaruhi kenaikan harga pangan, terutama beras. Jika angka inflasi naik, jumlah penduduk miskin juga naik. Jika harga konsumsi pangan naik, banyak rakyat pedesaan yang semula hampir miskin kemudian jatuh masuk kategori miskin. Pengentasan kemiskinan termasuk menjaga orang yang hampir miskin menjadi makin berpunya, jangan sampai jatuh ke jurang kemiskinan. 

Dalam dua bulan terakhir, inflasi kita cenderung naik lantaran kenaikan sejumlah komoditas pangan hortikultura seperti bawang merah dan bawang putih hingga harga cabai serta daging sapi.

Kenaikan inflasi itu setidaknya akan mendorong eksposure keyakinan pelaku ekonomi akan kerentanan stabilitas makroekonomi seperti nilai tukar dan suku bunga. Apalagi, pada saat yang sama, Indonesia didera defisit transaksi berjalan dan defisit neraca perdagangan.

Bahkan, Bank Dunia dalam laporan Maret lalu memprediksi, pertumbuhan ekonomi Indonesia 2013 turun 6,2 persen dari perkiraan awal 6,3 persen. Menguatnya sejumlah tekanan ekonomi menjadi pertimbangan penurunan pertumbuhan. Target pertumbuhan ekonomi versi pemerintah adalah 6,8 persen dengan risiko turun menjadi 6,4 persen.

Dampak nyata kerentanan ekonomi karena inflasi dan melesetnya target pertumbuhan ekonomi adalah melambatnya penurunan angka kemiskinan. Dalam Undang-Undang APBN 2013, kemiskinan ditargetkan 10,5-11,5 persen di antara total penduduk dan tingkat pengangguran ditargetkan 6,0-6,4 persen.

BPS mengukur kemiskinan berdasar dua hal. Pertama, garis kemiskinan makanan yang merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kalori per kapita per hari yang diwakili 52 jenis komoditas bahan makanan. Kedua, garis kemiskinan bukan makanan berupa kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan yang diwakili 51 jenis komoditas bahan kebutuhan dasar nonmakanan di perkotaan dan 47 jenis komoditas di pedesaan.

BPS mencatat, selama tiga tahun terakhir, jumlah penduduk hampir miskin terus bertambah secara konsisten. Pada 2009, jumlah penduduk hampir miskin mencapai 20,66 juta jiwa atau sekitar 8,99 persen di antara total penduduk Indonesia. Pada 2010, jumlah itu bertambah menjadi 22,9 juta jiwa atau 9,88 persen di antara total penduduk Indonesia. Sementara itu, jumlah penduduk ''hampir miskin'' pada 2011 mencapai 27.12 juta jiwa atau 10,28 persen di antara total penduduk.

Kelompok ''hampir miskin'' itu juga perlu ''dilindungi'' dari berkurangnya daya beli karena inflasi yang tinggi serta memperbesar akses ke sektor-sektor produktif. Menurut BPS, ukuran hampir miskin adalah 1,2 kali dari garis kemiskinan. Jika garis kemiskinan naik dari Rp 248.707 per kapita per bulan menjadi Rp 259.520 per kapita per bulan pada September 2012, ukuran hampir miskin adalah Rp 311.424 per kapita per bulan.

Dengan menjaga inflasi, penduduk hampir miskin diharapkan tidak jatuh menjadi miskin. Dengan demikian, kemampuan menjaga ketahanan ekonomi domestik (resilient) melalui keep buying strategy menjadi salah satu katalisator penanggulangan kemiskinan.

Pengendalian inflasi merupakan salah satu bentuk perlindungan sosial untuk orang miskin agar peningkatan pendapatan makin efektif, terutama melalui pengamanan stok dan distribusi bahan pangan pokok. Langkah itu memerlukan dukungan terhadap upaya revitalisasi pertanian dan pedesaan serta pemeliharaan dan pengembangan infrastruktur untuk mendukung keterkaitan desa-kota.

Lima tahun terakhir (2007-2012), pemerintah telah menggelontorkan anggaran Rp 468,2 triliun untuk mengatasi kemiskinan. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Armida Alisjahbana mengungkapkan, penurunan tingkat kemiskinan sejak 2010 cenderung melambat karena kurang efektifnya program penanggulangan kemiskinan. Untuk itu, efektivitas Program Keluarga Harapan (PKH), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, dan Kredit Usaha Rakyat (KUR) perlu diperkuat. 

Mendesak juga memperbaiki penyaluran dana alokasi khusus (DAK) untuk mengatasi kemiskinan agar tak bocor dimakan ''tikus''. Keterlambatan pencairan anggaran juga menjadi salah satu penyebab rendahnya efektivitas anggaran negara dalam mendorong perekonomian di daerah, sehingga pengentasan kemiskinan juga ikut terhambat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar