Kenaikan harga bahan pangan belakangan turut
membawa kecemasan pada kemungkinan naiknya jumlah orang miskin. Pada awal
tahun, 2 Januari 2013, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan data
kemiskinan terbaru di negara kita. Menurut BPS, jumlah penduduk miskin
per September 2012 mencapai 28,59 juta orang (11,66 persen). Jumlah itu
menurun jika dibanding Maret 2012 yang tercatat 29,13 juta orang (11,96
persen) atau terjadi penurunan 0,54 juta atau 540.000 orang.
Jika kita cermati laporan BPS tersebut, ada beberapa
faktor yang mendorong terjadinya penurunan angka kemiskinan, yakni
penurunan inflasi 2,59 persen dan harga pangan (beras) yang stabil.
Dampak inflasi dan harga beras sangat terasa bagi kesejahteraan penduduk
miskin, terutama di pedesaan. Karena itu, membaiknya inflasi dan
stabilitas harga pangan (beras) sangat membantu mengurangi jumlah rakyat
miskin di pedesaan.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa angka kemiskinan
sangat rentan dipengaruhi kenaikan harga pangan, terutama beras. Jika
angka inflasi naik, jumlah penduduk miskin juga naik. Jika harga konsumsi
pangan naik, banyak rakyat pedesaan yang semula hampir miskin kemudian
jatuh masuk kategori miskin. Pengentasan kemiskinan termasuk menjaga
orang yang hampir miskin menjadi makin berpunya, jangan sampai jatuh ke jurang
kemiskinan.
Dalam dua bulan terakhir, inflasi kita cenderung naik
lantaran kenaikan sejumlah komoditas pangan hortikultura seperti bawang
merah dan bawang putih hingga harga cabai serta daging sapi.
Kenaikan inflasi itu setidaknya akan mendorong eksposure
keyakinan pelaku ekonomi akan kerentanan stabilitas makroekonomi seperti
nilai tukar dan suku bunga. Apalagi, pada saat yang sama, Indonesia
didera defisit transaksi berjalan dan defisit neraca perdagangan.
Bahkan, Bank Dunia dalam laporan Maret lalu
memprediksi, pertumbuhan ekonomi Indonesia 2013 turun 6,2 persen dari
perkiraan awal 6,3 persen. Menguatnya sejumlah tekanan ekonomi menjadi
pertimbangan penurunan pertumbuhan. Target pertumbuhan ekonomi versi
pemerintah adalah 6,8 persen dengan risiko turun menjadi 6,4 persen.
Dampak nyata kerentanan ekonomi karena inflasi dan
melesetnya target pertumbuhan ekonomi adalah melambatnya penurunan angka
kemiskinan. Dalam Undang-Undang APBN 2013, kemiskinan ditargetkan
10,5-11,5 persen di antara total penduduk dan tingkat pengangguran
ditargetkan 6,0-6,4 persen.
BPS mengukur kemiskinan berdasar dua hal. Pertama,
garis kemiskinan makanan yang merupakan nilai pengeluaran kebutuhan
minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kalori per kapita per hari
yang diwakili 52 jenis komoditas bahan makanan. Kedua, garis kemiskinan
bukan makanan berupa kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang,
pendidikan, dan kesehatan yang diwakili 51 jenis komoditas bahan
kebutuhan dasar nonmakanan di perkotaan dan 47 jenis komoditas di
pedesaan.
BPS mencatat, selama tiga tahun terakhir, jumlah
penduduk hampir miskin terus bertambah secara konsisten. Pada 2009,
jumlah penduduk hampir miskin mencapai 20,66 juta jiwa atau sekitar 8,99
persen di antara total penduduk Indonesia. Pada 2010, jumlah itu
bertambah menjadi 22,9 juta jiwa atau 9,88 persen di antara total
penduduk Indonesia. Sementara itu, jumlah penduduk ''hampir miskin'' pada
2011 mencapai 27.12 juta jiwa atau 10,28 persen di antara total penduduk.
Kelompok ''hampir miskin'' itu juga perlu
''dilindungi'' dari berkurangnya daya beli karena inflasi yang tinggi
serta memperbesar akses ke sektor-sektor produktif. Menurut BPS, ukuran
hampir miskin adalah 1,2 kali dari garis kemiskinan. Jika garis
kemiskinan naik dari Rp 248.707 per kapita per bulan menjadi Rp 259.520
per kapita per bulan pada September 2012, ukuran hampir miskin adalah Rp
311.424 per kapita per bulan.
Dengan menjaga inflasi, penduduk hampir miskin
diharapkan tidak jatuh menjadi miskin. Dengan demikian, kemampuan menjaga
ketahanan ekonomi domestik (resilient) melalui keep buying strategy menjadi salah satu katalisator
penanggulangan kemiskinan.
Pengendalian inflasi merupakan salah satu bentuk
perlindungan sosial untuk orang miskin agar peningkatan pendapatan makin
efektif, terutama melalui pengamanan stok dan distribusi bahan pangan
pokok. Langkah itu memerlukan dukungan terhadap upaya revitalisasi
pertanian dan pedesaan serta pemeliharaan dan pengembangan infrastruktur
untuk mendukung keterkaitan desa-kota.
Lima tahun terakhir (2007-2012), pemerintah telah
menggelontorkan anggaran Rp 468,2 triliun untuk mengatasi kemiskinan.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Armida
Alisjahbana mengungkapkan, penurunan tingkat kemiskinan sejak 2010 cenderung
melambat karena kurang efektifnya program penanggulangan kemiskinan.
Untuk itu, efektivitas Program Keluarga Harapan (PKH), Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, dan Kredit Usaha Rakyat (KUR)
perlu diperkuat.
Mendesak juga memperbaiki penyaluran dana alokasi
khusus (DAK) untuk mengatasi kemiskinan agar tak bocor dimakan ''tikus''.
Keterlambatan pencairan anggaran juga menjadi salah satu penyebab
rendahnya efektivitas anggaran negara dalam mendorong perekonomian di
daerah, sehingga pengentasan kemiskinan juga ikut terhambat.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar