Ki Hadjar Dewantara menulis satu
artikel tajam di surat kabar De
Express pada 13 Juni 1913: ”Als
Ik Eens Nederlander Was!” Artikel tersebut secara kritis menyoroti
rencana pesta 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis di Hindia
Belanda, sebutan untuk Indonesia kala itu, dengan cara menarik sumbangan
dari rakyat.
Ki Hadjar Dewantara mengingatkan
bahwa ada kebenaran yang dipelintir sedemikian rupa dalam satu acara
yang, seakan-akan, apabila kita menyumbang kita akan menjadi bagian dari
masyarakat Hindia Belanda yang berbakti kepada Ratu Belanda. Secara
langsung ataupun tidak langsung, artikel Ki Hadjar Dewantara seakan
terulang dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia pascareformasi.
Kasus-kasus korupsi di
pemerintahan dan pengumuman pemerintah untuk meningkatkan penerimaan
negara melalui pajak seakan-akan merupakan dua sisi yang bertolak
belakang. Kita semua sadar ada realitas yang tidak berjalan dengan benar.
Meminjam pandangan F Budi Hardiman, kesadaran kita tidak pernah sampai
dalam bentuk yang murni sebagai ”kebenaran murni” (2003). Selalu ada
distorsi yang hendak menyimpangkan kesadaran dengan manipulasi realitas.
Kesadaran yang dibangun secara kolektif di masyarakat bisa disimpangkan
sehingga pada akhirnya tidak pernah kita akan bertemu dengan ”kebenaran
murni”.
Dalam negara demokrasi, suara
rakyat begitu penting. Suara rakyat ini diwakili oleh wakil-wakil rakyat
yang notabene adalah manusia-manusia yang berstatus rakyat juga. Ketika
saya menulis ini pun, saya juga adalah rakyat. Hanya saja saya tidak
begitu paham apakah suara saya selama ini terwakili.
Suara saya sangatlah sederhana.
Saya hanya menginginkan jalan-jalan yang menghubungkan kota-kota di
seluruh negara kepulauan ini terpelihara dengan baik. Saya hanya
menginginkan ketersediaan pangan di seluruh negeri. Saya hanya
menginginkan ketenteraman sebagai warga negara yang berdaulat dan beragama.
Saya hanya menginginkan kejujuran dalam mengelola negara ini seperti
halnya saya berusaha sekuat tenaga mengupayakan kejujuran diajarkan dalam
keluarga.
Dalam keinginan-keinginan saya
sebagai rakyat Indonesia yang hidup di dan dari tanah ini, saya mulai
bertanya-tanya: apakah saya ini benar-benar ada? Secara tubuh dan
pikiran, ya, saya merasakan bahwa saya teraba dan terdengar apabila saya
bersuara. Secara pergaulan, ya, saya mempunyai teman-teman yang berbicara
dan berinteraksi dalam berbagai cara. Sebagai manusia yang bekerja, ya,
saya mempunyai pekerjaan yang memberikan efek balik, yaitu upah bulanan
yang saya terima.
Namun, sebagai rakyat, saya
mulai bertanya-tanya: apakah saya ini ada? Apakah harapan-harapan saya
itu juga diharapkan oleh jutaan rakyat lainnya? Ataukah, hanya saya yang
sebenar-benarnya adalah rakyat?
Apa Hak Saya?
Setiap kali saya mendapatkan
upah bulanan, upah saya dipotong untuk pajak bagi negara ini. Setiap kali
saya mengajak anak- anak saya makan di gerai-gerai makanan, selalu ada
tertera pajak makanan. Setiap tahun saya harus antre untuk membayar pajak
kendaraan. Setiap saya membayar tiket perjalanan, selalu ada pajak yang
saya bayarkan. Tampaknya saya ini tidak pernah mendapatkan peluang untuk
menghindari pemotongan-pemotongan ini. Pemotongan pajak ini dikatakan
sebagai kewajiban warga negara. Pertanyaan saya, apakah hak saya?
Ketika saya membayar pajak
kendaraan, apakah jalan-jalan di negeri ini semakin baik? Di Pulau Jawa,
pulau tempat pemerintahan bercokol, jalan-jalan tersebut tidak
terpelihara dengan baik. Apa yang terjadi dengan jalan-jalan di luar
Pulau Jawa? Ketika upah saya dipotong, apakah kesejahteraan saya
terjamin? Apakah saya mendapatkan kompensasi kesehatan dari upah keringat
yang saya keluarkan? Apakah saya mendapatkan kompensasi harga-harga bahan
pokok yang murah sesuai dengan sarapan, makan siang, dan makan malam yang
saya dan keluarga butuhkan?
Saya berharap, suatu hari saya
akan menjadi wakil rakyat atau malah penguasa negeri ini. Buat saya,
daripada saya memikirkan langkah-langkah politik yang tidak pernah
membawa kebenaran sejati, alangkah baiknya apabila saya memperbaiki
jalan-jalan, meningkatkan asupan gizi anak-anak negeri, menyehatkan
rakyat, dan langkah-langkah yang terlihat mata fisik dan hati.
Perasaan ngeri saya melihat apa
yang terjadi sekarang lebih kurang sama dengan apa yang dirasakan Ki
Hadjar Dewantara. Perbedaannya, di zaman beliau, jelas garis antara
penjajah dan yang terjajah. Di zaman sekarang, tidak jelas antara
penjajah dan yang terjajah. Zaman ini sangat abu-abu dan manipulatif!
Sebagai seorang rakyat, patutlah saya berseru: saya ingin jadi penguasa! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar