Tak kurang dari Gina Kolata,
jurnalis sains-kesehatan kawakan koran New York Times, menaruh
perhatian pada jurnal online ”pseudo-ilmiah” alias jurnal predator.
Ilmuwan yang dimuat tulisannya malah harus membayar.
Tulisan Gina Kolata berjudul ”Scientific Articles Accepted
(Personal Checks, Too)” dimuat di New York Times, 8 April 2013, dan
dimuat ulang di International Herald Tribune pada 9 April 2013 dengan
judul ”Taken in by Pseudo-Academic
Journals”. Sebenarnya topik ini sudah ditulis fisikawan Universitas
Indonesia, Terry Mart, sepekan sebelumnya dengan judul ”Jurnal Predator”
di Opini Kompas, 2 April 2013.
Baik Gina Kolata maupun Terry
Mart sama-sama merujuk pada Jeffrey Beall, pustakawan riset Universitas
Colorado di Denver, Amerika Serikat. Beall mempunyai daftar hitam jurnal
abal-abal yang dijulukinya sebagai predatory
open-access journals. Tahun 2010, baru ada 20 penerbit jurnal
predator, tetapi saat ini membengkak menjadi lebih dari 300. Ia
memperkirakan ada sekitar 4.000 jurnal tipu-tipu saat ini yang siap
memangsa ilmuwan yang membutuhkan publikasi artikel ilmiah mereka. Jumlah
ini merupakan sedikitnya 25 persen jurnal online atau jurnal akses
terbuka yang ada di dunia.
Maraknya jurnal ilmiah online,
termasuk yang predator, merupakan akibat tingkat kebutuhan (demand) yang tinggi. Ilmuwan dan
akademisi dari negara-negara sedang berkembang membutuhkan publikasi
hasil riset mereka di jurnal-jurnal internasional. Di Indonesia,
misalnya, akhir Januari 2012 Dirjen Dikti Kemdikbud mewajibkan para
kandidat doktor sejak Agustus 2012 mengirimkan karya ilmiah ke jurnal
internasional. Prasyarat ”yang
betul-betul salah kaprah” ini pernah dikecam habis oleh Franz
Magnis-Suseno lewat tulisannya di Kompas, 8 Februari 2012, ”Dikti di Seberang Harapan?”. Juga
oleh Inaya Rakhmani lewat tulisannya ”Publikasi
Ilmiah dan Solusi Jangka Pendek” di Kompas, 25 Februari 2013.
Jalan Pintas
Tuntutan untuk publikasi ke
jurnal nasional terakreditasi ataupun jurnal internasional ini tak jarang
juga berkaitan dengan syarat kenaikan pangkat dan sertifikasi dosen serta
dana hibah riset yang jumlahnya besar. Jurnal cetak internasional
bergengsi, seperti Nature dan Science, ataupun jurnal-jurnal
ilmu sosial yang diakreditasi nyaris mustahil bisa ditembus karena
standar yang tinggi selain penulis harus menunggu antrean amat lama.
Jurnal-jurnal bergengsi ini dikenal untuk artikel-artikel ilmiah yang
ditelaah pakar seilmu (peer-reviewed)
yang teramat ketat.
Karena itu, jurnal online merupakan alternatif atau jalan
pintas yang menggiurkan. Jurnal open-access
baru muncul sekitar 10 tahun lalu, tetapi segera mendapatkan sambutan
antusias. Di AS, awalnya jurnal online
yang dipublikasikan Public Library
of Science amat disegani karena ditelaah pakar seilmu dengan amat
ketat. Khusus untuk artikel-artikel ilmu kedokteran didata oleh PubMed,
yang diseleksi karena kualitasnya tak perlu diragukan.
Namun, celakanya, keberadaan
jurnal-jurnal online bergengsi
mulai disaingi oleh jurnal-jurnal predator
yang memungut bayaran cukup mahal sebagai imbalan tulisan yang pasti
dimuat tanpa seleksi oleh tim pakar seilmu. Para editor jurnal predator
ini hanya jadi pajangan, tak jarang mereka dijebak dengan iming-iming
imbalan 20 persen penghasilan jurnal, seperti yang dilakukan The Journal of Clinical Trials &
Patenting yang diterbitkan Avens
Publishing Group, jurnal dan penerbit yang ada dalam daftar hitam
Jeffrey Beall.
Thomas Price, asisten profesor
endokrinologi reproduksi dan fertilitas di Fakultas Kedokteran
Universitas Duke di North Carolina, AS, misalnya, bergabung dalam dewan
redaksi The Journal of Gynecology
& Obstetrics karena ia melihat nama-nama pakar yang disegani di
situs web. Ia heran karena berkali-kali diminta mencari penulis dan
memasukkan tulisannya sendiri. Ia menolak karena jurnal ilmiah yang benar
tidak perlu melakukan cara-cara seperti itu. Ia sudah berkali-kali,
selama tiga tahun terakhir, meminta namanya dicabut, tetapi tetap saja
terpampang. Sekali seorang ilmuwan masuk, namanya sulit dicabut.
Penerbit lain yang juga ada
dalam daftar hitam Beall adalah Omics
Group yang dipimpin Srinubabu Gedela: memiliki 250 jurnal dan
memungut bayaran sampai 2.700 dollar AS per makalah! Gedela mengaku
seorang doktor dari sebuah universitas di India dan pakar bioteknologi.
Lain lagi dengan pengalaman
Paulino Martinez, seorang dokter di Meksiko yang mengirimkan dua artikel
sebagai respons terhadap surat elektronik yang ia terima dari The Journal of Clinical Case Reports.
Keduanya diterima dan tentu saja ia senang. Namun, datanglah tagihan
2.900 dollar AS sebagai ongkos publikasi. Martinez minta kedua artikelnya
ditarik, tetapi tetap saja diterbitkan. Sempat didiskon jadi 2.600 dollar
AS, tetap Martinez tak mampu dan tak mau membayar. Akhirnya, setelah
setahun berdebat lewat e-mail dan telepon, ia tak ditagih lagi walaupun
ia tetap dianggap berutang.
Situasi di Indonesia
Terry Mart, ketika dihubungi
kemarin, mengatakan, ilmuwan Indonesia seyogianya mengutamakan integritas
ilmiah di atas kum dan gairah untuk mengejar akreditasi dosen serta hibah
riset. Masalah jurnal predator akan dia bahas dalam seminar di Kampus UI
Depok, Kamis besok.
Sunarto, doktor komunikasi UI
yang sekarang mengepalai Program Pascasarjana Komunikasi Universitas
Diponegoro, Semarang, juga menyatakan keprihatinannya jika ada dosen yang
hanya mengejar kepangkatan ketimbang pendalaman ilmu sehingga tak
memedulikan kualitas jurnal ilmiah karena yang penting artikelnya bisa
dimuat. Ia menyebutkan, ada penerbit di Yogyakarta yang secara khusus
memublikasikan jurnal dengan biaya sekitar Rp 3 juta untuk setiap
artikel.
Dirjen Dikti Kemdikbud punya
daftar hitam jurnal dalam dan luar negeri yang tak diakui. Daftar jurnal
internasional jauh dari lengkap. Di dalam negeri ada enam, lima di
antaranya diterbitkan universitas negeri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar