Rabu, 17 April 2013

Inflasi dan Kemiskinan


Inflasi dan Kemiskinan
Haris Munandar   Anggota Staf Gubernur BI; Pengajar Pascasarjana FE UI
KOMPAS, 17 April 2013

  
Indeks harga konsumen naik 0,63 persen sepanjang Maret. Secara tahunan, inflasi menjadi 5,90 persen. Seperti bulan lalu, kenaikan harga secara umum masih dikerek oleh harga bawang merah dan bawang putih.
Namun, ada yang spesial. Ekspektasi masyarakat akan kenaikan tarif listrik pada April juga sudah merembes pada Maret. Tetap saja angka inflasi Maret 2013 tergolong tinggi mengingat saat ini kita sudah masuk masa panen. Bandingkan dengan inflasi Maret 2012 yang hanya 0,07 persen atau Maret 2011 yang justru terjadi deflasi 0,32 persen. Bahkan, deflasi juga terjadi pada Maret 2010 sedalam 0,14 persen. Selain itu, bila dijumlahkan sepanjang triwulan pertama 2013, inflasi juga tercatat 2,43 persen. Artinya, saat disetahunkan, inflasi mencapai 9,72 persen, suatu angka yang tak rendah bila tak ingin disebut mengkhawatirkan.
Dari kacamata lain, inflasi inti triwulan pertama 2013 hanya 0,79 persen. Membandingkan dengan inflasi total yang 2,43 persen tadi, mungkin kita terperenyak. Ternyata kontribusi hambatan suplai pada inflasi kira-kira dua kali lebih besar daripada kontribusi tekanan permintaan. Suatu fenomena khas Indonesia yang masih berjibaku dengan tantangan struktural di bidang energi, distribusi, pertanian, perdagangan komoditas, dan cuaca.
Inflasi yang berpotensi tinggi sepanjang tahun ini di satu sisi layak dicermati. Namun, di sisi lain, banyak kalangan masyarakat berpendapat inflasi benar-benar abstrak. Muncul banyak pertanyaan di kalangan awam, apa benar inflasi berdampak buruk kepada orang kebanyakan, terutama yang masuk kategori miskin? Tentu kita pernah mendengar, ”Inflation benefits the rich and prosecutes the poor.”
Empat puluh tahun lalu, seorang bapak dengan 1 hektar sawah padi bisa menghidupi keluarga dengan lima anak. Hasil sawah itu bahkan bisa menyekolahkan anak-anaknya, setidaknya sampai lulus SMA, bahkan perguruan tinggi. Namun, hari ini 1 hektar sawah dengan dua kali panen setahun yang masing-masing menghasilkan 7 ton gabah, menghidupi lima anak sepertinya persoalan besar. Nominal hasil panen yang didapat hari ini rata-rata Rp 3 juta-Rp 5 juta per ton sehingga hasil yang didapat Rp 21 juta-Rp 35 juta sebelum dikurangi beragam biaya dan utang tanam per panen.
Ilustrasi itu adalah gambaran tentang apa itu inflasi. Nilai produk barang yang sama menghasilkan kemampuan beli yang menurun pada waktu berikutnya. Sementara bagi pekerja, gambarannya: penghasilan sama, tetapi barang yang didapat berkurang dari waktu ke waktu. Bisa jadi hal itu karena harga barang-barang yang terus naik atau daya beli mata uang yang menurun terhadap barang yang sama.
Si Kaya dan Si Miskin
Sepintas mungkin sulit membayangkan bagaimana inflasi memengaruhi kemiskinan, atau paling tidak bagaimana inflasi dan kemiskinan berhubungan. Namun, memang pada masa lalu beberapa kali Presiden Amerika Serikat Richard Nixon berujar, ”The burden of inflation falls heavily upon the poor, who are largely defenseless’ against price increases on the necessities of life.”
Memang, jika inflasi terjadi (pada umumnya harga di perekonomian naik), tetapi tak ada kenaikan upah atau pendapatan, akan muncul beban keuangan tambahan pada masyarakat dalam membeli barang yang sama. Ilustrasi di atas menggambarkan situasinya.
Sayangnya, masyarakat yang teruntungkan paling besar dari inflasi justru mereka yang berutang banyak, apalagi bila suku bunga utang tetap. Mereka yang memiliki utang besar biasanya tidak sama dengan golongan yang kita anggap ”miskin” karena masyarakat miskin biasanya tidak layak mendapat utang besar.
Selain itu, kenaikan gaji atau upah biasanya terjadi setelah inflasi, tetapi sering pula dirasakan tidak mampu mengejar kenaikan harga. Akibatnya, golongan miskin yang biasanya membelanjakan 100 persen penghasilan mereka untuk konsumsi barang (yang biasanya paling terpengaruh oleh inflasi) cenderung menderita lebih parah akibat kenaikan harga ketimbang pengutang besar atau investor yang dapat memindahkan aset ke emas atau komoditas yang biasanya punya nilai sejalan mengikut inflasi.
Masyarakat kaya juga lebih punya pilihan menempatkan uangnya (berinvestasi) yang terlindung dari efek negatif inflasi. Saat tekanan inflasi muncul, investor yang piawai akan meninggalkan investasi yang kemungkinan akan tererosi inflasi lalu memindahkan dananya ke instrumen yang mengikuti inflasi. Investor ini melindungi diri dari kerugian lebih besar yang dapat disebabkan inflasi pada portofolio mereka.
Dalam perspektif lain, saat harga naik, pada tahap berikutnya upah seharusnya naik, paling tidak untuk pekerjaan bagi pegawai memiliki alternatif pindah kerja. Sebaliknya, sering kali golongan miskin tidak memiliki kesempatan secara fleksibel memilih pekerjaan dan upah mereka sulit naik saat inflasi.
Apalagi, inflasi ternyata juga memengaruhi distribusi pendapatan. Ales Bulir, ekonom IMF, dalam artikelnya, Income inequality: Does inflation matters?, membuat analisis dengan menyederhanakan perekonomian menjadi terdiri dari dua kelompok pekerja, yakni insider dan outsider. Pihak yang di dalam adalah mereka yang bekerja di sektor yang memiliki serikat pekerja yang (biasanya) memperoleh upah yang diindeks dengan biaya hidup atau inflasi sehingga insider lebih terproteksi dari efek inflasi atau kenaikan harga. Outsider, sebaliknya, tak menikmati proteksi yang sama dalam hal karakteristik upah.
Secara umum, hasil dari inflasi adalah adanya kesenjangan penghasilan antara insider dan outsider. Pemerintah mungkin mencoba mencegah outsider jatuh ke dalam kemiskinan dengan mengeluarkan kebijakan ”pajaki si kaya dan berikan kepada si miskin”. Namun, seperti ditunjukkan Ales, praktik ini akan sia-sia jika outsider yang menerima transfer jauh lebih banyak dibandingkan dengan insider yang dipajaki. Secara keseluruhan, distorsi dari pajak berdampak lebih buruk dan memperbesar soal bukan hanya terkait rendahnya daya beli outsider.
Sejumlah cerita tadi mengarah kepada kesimpulan, golongan miskin cenderung paling dirugikan saat inflasi terjadi. Bahkan, inflasi dapat menyebabkan golongan yang belum miskin terjerembap ke dalam jurang kemiskinan. Maka, mengendalikan inflasi tampaknya sebuah keharusan, setidaknya untuk mencegah orang susah lebih susah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar