Indeks harga konsumen naik 0,63
persen sepanjang Maret. Secara tahunan, inflasi menjadi 5,90 persen.
Seperti bulan lalu, kenaikan harga secara umum masih dikerek oleh harga
bawang merah dan bawang putih.
Namun, ada yang spesial.
Ekspektasi masyarakat akan kenaikan tarif listrik pada April juga sudah
merembes pada Maret. Tetap saja angka inflasi Maret 2013 tergolong tinggi
mengingat saat ini kita sudah masuk masa panen. Bandingkan dengan inflasi
Maret 2012 yang hanya 0,07 persen atau Maret 2011 yang justru terjadi
deflasi 0,32 persen. Bahkan, deflasi juga terjadi pada Maret 2010 sedalam
0,14 persen. Selain itu, bila dijumlahkan sepanjang triwulan pertama
2013, inflasi juga tercatat 2,43 persen. Artinya, saat disetahunkan,
inflasi mencapai 9,72 persen, suatu angka yang tak rendah bila tak ingin
disebut mengkhawatirkan.
Dari kacamata lain, inflasi inti
triwulan pertama 2013 hanya 0,79 persen. Membandingkan dengan inflasi
total yang 2,43 persen tadi, mungkin kita terperenyak. Ternyata
kontribusi hambatan suplai pada inflasi kira-kira dua kali lebih besar
daripada kontribusi tekanan permintaan. Suatu fenomena khas Indonesia
yang masih berjibaku dengan tantangan struktural di bidang energi,
distribusi, pertanian, perdagangan komoditas, dan cuaca.
Inflasi yang berpotensi tinggi
sepanjang tahun ini di satu sisi layak dicermati. Namun, di sisi lain,
banyak kalangan masyarakat berpendapat inflasi benar-benar abstrak.
Muncul banyak pertanyaan di kalangan awam, apa benar inflasi berdampak
buruk kepada orang kebanyakan, terutama yang masuk kategori miskin? Tentu
kita pernah mendengar, ”Inflation benefits the rich and prosecutes the
poor.”
Empat puluh tahun lalu, seorang
bapak dengan 1 hektar sawah padi bisa menghidupi keluarga dengan lima
anak. Hasil sawah itu bahkan bisa menyekolahkan anak-anaknya, setidaknya
sampai lulus SMA, bahkan perguruan tinggi. Namun, hari ini 1 hektar sawah
dengan dua kali panen setahun yang masing-masing menghasilkan 7 ton
gabah, menghidupi lima anak sepertinya persoalan besar. Nominal hasil panen
yang didapat hari ini rata-rata Rp 3 juta-Rp 5 juta per ton sehingga
hasil yang didapat Rp 21 juta-Rp 35 juta sebelum dikurangi beragam
biaya dan utang tanam per panen.
Ilustrasi itu adalah gambaran
tentang apa itu inflasi. Nilai produk barang yang sama menghasilkan
kemampuan beli yang menurun pada waktu berikutnya. Sementara bagi
pekerja, gambarannya: penghasilan sama, tetapi barang yang didapat
berkurang dari waktu ke waktu. Bisa jadi hal itu karena harga
barang-barang yang terus naik atau daya beli mata uang yang menurun
terhadap barang yang sama.
Si Kaya dan Si Miskin
Sepintas mungkin sulit
membayangkan bagaimana inflasi memengaruhi kemiskinan, atau paling tidak
bagaimana inflasi dan kemiskinan berhubungan. Namun, memang pada masa
lalu beberapa kali Presiden Amerika Serikat Richard Nixon berujar, ”The burden of inflation falls heavily
upon the poor, who are largely defenseless’ against price increases on
the necessities of life.”
Memang, jika inflasi terjadi
(pada umumnya harga di perekonomian naik), tetapi tak ada kenaikan upah
atau pendapatan, akan muncul beban keuangan tambahan pada masyarakat
dalam membeli barang yang sama. Ilustrasi di atas menggambarkan
situasinya.
Sayangnya, masyarakat yang
teruntungkan paling besar dari inflasi justru mereka yang berutang
banyak, apalagi bila suku bunga utang tetap. Mereka yang memiliki utang
besar biasanya tidak sama dengan golongan yang kita anggap ”miskin”
karena masyarakat miskin biasanya tidak layak mendapat utang besar.
Selain itu, kenaikan gaji atau
upah biasanya terjadi setelah inflasi, tetapi sering pula dirasakan tidak
mampu mengejar kenaikan harga. Akibatnya, golongan miskin yang biasanya
membelanjakan 100 persen penghasilan mereka untuk konsumsi barang (yang
biasanya paling terpengaruh oleh inflasi) cenderung menderita lebih parah
akibat kenaikan harga ketimbang pengutang besar atau investor yang dapat
memindahkan aset ke emas atau komoditas yang biasanya punya nilai sejalan
mengikut inflasi.
Masyarakat kaya juga lebih punya
pilihan menempatkan uangnya (berinvestasi) yang terlindung dari efek
negatif inflasi. Saat tekanan inflasi muncul, investor yang piawai akan
meninggalkan investasi yang kemungkinan akan tererosi inflasi lalu
memindahkan dananya ke instrumen yang mengikuti inflasi. Investor ini
melindungi diri dari kerugian lebih besar yang dapat disebabkan inflasi
pada portofolio mereka.
Dalam perspektif lain, saat
harga naik, pada tahap berikutnya upah seharusnya naik, paling tidak
untuk pekerjaan bagi pegawai memiliki alternatif pindah kerja.
Sebaliknya, sering kali golongan miskin tidak memiliki kesempatan secara
fleksibel memilih pekerjaan dan upah mereka sulit naik saat inflasi.
Apalagi, inflasi ternyata juga
memengaruhi distribusi pendapatan. Ales Bulir, ekonom IMF, dalam
artikelnya, Income inequality: Does
inflation matters?, membuat analisis dengan menyederhanakan
perekonomian menjadi terdiri dari dua kelompok pekerja, yakni insider dan
outsider. Pihak yang di dalam adalah mereka yang bekerja di sektor yang
memiliki serikat pekerja yang (biasanya) memperoleh upah yang diindeks
dengan biaya hidup atau inflasi sehingga insider lebih terproteksi dari
efek inflasi atau kenaikan harga. Outsider, sebaliknya, tak menikmati
proteksi yang sama dalam hal karakteristik upah.
Secara umum, hasil dari inflasi
adalah adanya kesenjangan penghasilan antara insider dan outsider. Pemerintah
mungkin mencoba mencegah outsider jatuh ke dalam kemiskinan dengan
mengeluarkan kebijakan ”pajaki si
kaya dan berikan kepada si miskin”. Namun, seperti ditunjukkan Ales,
praktik ini akan sia-sia jika outsider yang menerima transfer jauh lebih
banyak dibandingkan dengan insider yang dipajaki. Secara keseluruhan,
distorsi dari pajak berdampak lebih buruk dan memperbesar soal bukan
hanya terkait rendahnya daya beli outsider.
Sejumlah cerita tadi mengarah
kepada kesimpulan, golongan miskin cenderung paling dirugikan saat
inflasi terjadi. Bahkan, inflasi dapat menyebabkan golongan yang belum
miskin terjerembap ke dalam jurang kemiskinan. Maka, mengendalikan
inflasi tampaknya sebuah keharusan, setidaknya untuk mencegah orang susah
lebih susah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar