Kamis, 11 April 2013

Demokrasi Pemilu


Demokrasi Pemilu
Indra J Piliang ;  Pengamat Politik
SUARA KARYA, 11 April 2013


Tepat 9 April 2013 gong Pemilu 2014 berdentang. Partai-partai politik diwajibkan menyerahkan daftar calon anggota legislatif. Sementara, calon perseorangan yang maju dalam pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) diwajibkan menyerahkan tanda tangan dukungan dan kartu tanda penduduk (KTP). Dalam waktu tak lama lagi, daftar calon sementara (DCS) diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Ini menandai prosesi selama satu tahun sebelum pemilihan umum digelar. Pemilu 2014 melibatkan partai politik (parpol) nasional, parpol lokal di Aceh, dan calon perseorangan untuk DPD. Nama-nama calon anggota legislatif segera beredar di masyarakat. Perlu digarisbawahi bahwa peserta pemilu legislatif adalah parpol, bukan calon anggota legislatif itu sendiri. Sementara untuk calon perseorangan, bisa berasal dari parpol atau bukan.

Apa yang akan terjadi? Terlindasnya agenda-agenda kenegaraan yang berisi tujuan bernegara yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945. Tujuan itu perlu diingatkan terus agar penyelenggara negara tidak melupakannya. Apalagi, belakangan politik sudah makin dihindari oleh masyarakat. Makin lama, makin tinggi tingkat apatisme masyarakat, dengan cara menghindari politik dan bahkan skeptis terhadap politik. Tingkat partisipasi dalam pemilihan langsung kepala daerah, misalnya, makin lama makin berkurang.

Akan tetapi, tingkat partisipasi pemilih tidak berhubungan langsung dengan demokrasi. Bukan berarti bahwa keabsahan demokrasi cacat apabila partisipasi menurun. Contoh langsung dapat kita lihat, betapa dalam era pemilu demi pemilu selama Orde Baru, partisipasi termasuk tinggi. Hanya saja, partisipasi itu masih berupa mobilisasi oleh aparatur negara (state aparatus), bukan berdasarkan keinginan bebas (free will) masyarakat sendiri. Kedewasaan berpolitik justru diukur dari kesadaran pribadi individu di masyarakat, bukan berdasarkan mobilisasi.

Jadi, tingkat partisipasi yang rendah bukan alat ukur bagi menurunnya kualitas demokrasi. Yang menjadi alat ukur lebih ke soal masih adakah money politics? Seberapa banyak substansi dan program dibicarakan ketimbang figur? Bagaimana manajemen dan pengelolaan isu-isu publik, seperti pembunuhan, pemerkosaan, atau kelaparan? Apakah penggunaan anggaran publik transparan atau malah sebaliknya?

Masalahnya, lembaga survei bahkan seperti kaset tua yang terus berulang. Lebih banyak elektabilitas parpol yang ditonjolkan ketimbang masalah-masalah publik yang relevan. Begitu juga parpol, lebih sibuk dengan masalah menang-kalah ketimbang salah-benar dalam mengelola isu-isu publik sebelum menjadi kebijakan. Wacana politik lebih diwarnai pertarungan figur ketimbang isi dan makna di balik pidato-pidato yang dilakukan oleh pimpinan parpol.

Kita masih akan mengalami pancaroba dalam konsolidasi demokrasi. Satu soal yang mengemuka adalah bagaimana posisi militer dalam struktur ketatanegaraan kita? Apakah otoritas sipil bisa melakukan pengelolaan terhadap alat pertahanan negara ini? Begitu juga dengan masalah ekonomi, apakah Indonesia akan terus-menerus menjadi konsumen dari produk global atau menjadi produsen? Bagaimana dengan jumlah penduduk Indonesia, apakah menjadi kekuatan atau malah kelemahan di dunia?

Sudah saatnya masa kampanye yang panjang ini, selama satu tahun, digunakan untuk menggali gagasan-gagasan politik, ekonomi, budaya, sosial dan lainnya ketimbang hanya berbicara tentang parpol mana yang akan kalah atau menang. Indonesia sudah melewati tiga kali pemilu, yakni 1999, 2004, dan 2009. Semestinya bangsa ini sudah belajar banyak dari ketiga pemilu itu.
Mengembalikan perkara demokrasi ke substansi adalah upaya untuk mencegah gong kematian bagi demokrasi itu sendiri. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar