Tepat 9 April 2013 gong
Pemilu 2014 berdentang. Partai-partai politik diwajibkan menyerahkan
daftar calon anggota legislatif. Sementara, calon perseorangan yang maju
dalam pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) diwajibkan
menyerahkan tanda tangan dukungan dan kartu tanda penduduk (KTP). Dalam
waktu tak lama lagi, daftar calon sementara (DCS) diumumkan oleh Komisi
Pemilihan Umum (KPU).
Ini menandai prosesi selama
satu tahun sebelum pemilihan umum digelar. Pemilu 2014 melibatkan partai
politik (parpol) nasional, parpol lokal di Aceh, dan calon perseorangan
untuk DPD. Nama-nama calon anggota legislatif segera beredar di
masyarakat. Perlu digarisbawahi bahwa peserta pemilu legislatif adalah
parpol, bukan calon anggota legislatif itu sendiri. Sementara untuk calon
perseorangan, bisa berasal dari parpol atau bukan.
Apa yang akan terjadi?
Terlindasnya agenda-agenda kenegaraan yang berisi tujuan bernegara yang
terdapat dalam Pembukaan UUD 1945. Tujuan itu perlu diingatkan terus agar
penyelenggara negara tidak melupakannya. Apalagi, belakangan politik
sudah makin dihindari oleh masyarakat. Makin lama, makin tinggi tingkat
apatisme masyarakat, dengan cara menghindari politik dan bahkan skeptis
terhadap politik. Tingkat partisipasi dalam pemilihan langsung kepala
daerah, misalnya, makin lama makin berkurang.
Akan tetapi, tingkat
partisipasi pemilih tidak berhubungan langsung dengan demokrasi. Bukan
berarti bahwa keabsahan demokrasi cacat apabila partisipasi menurun. Contoh
langsung dapat kita lihat, betapa dalam era pemilu demi pemilu selama
Orde Baru, partisipasi termasuk tinggi. Hanya saja, partisipasi itu masih
berupa mobilisasi oleh aparatur negara (state aparatus), bukan berdasarkan keinginan bebas (free will) masyarakat sendiri.
Kedewasaan berpolitik justru diukur dari kesadaran pribadi individu di
masyarakat, bukan berdasarkan mobilisasi.
Jadi, tingkat partisipasi
yang rendah bukan alat ukur bagi menurunnya kualitas demokrasi. Yang
menjadi alat ukur lebih ke soal masih adakah money politics? Seberapa
banyak substansi dan program dibicarakan ketimbang figur? Bagaimana
manajemen dan pengelolaan isu-isu publik, seperti pembunuhan,
pemerkosaan, atau kelaparan? Apakah penggunaan anggaran publik transparan
atau malah sebaliknya?
Masalahnya, lembaga survei
bahkan seperti kaset tua yang terus berulang. Lebih banyak elektabilitas
parpol yang ditonjolkan ketimbang masalah-masalah publik yang relevan.
Begitu juga parpol, lebih sibuk dengan masalah menang-kalah ketimbang
salah-benar dalam mengelola isu-isu publik sebelum menjadi kebijakan.
Wacana politik lebih diwarnai pertarungan figur ketimbang isi dan makna
di balik pidato-pidato yang dilakukan oleh pimpinan parpol.
Kita masih akan mengalami
pancaroba dalam konsolidasi demokrasi. Satu soal yang mengemuka adalah
bagaimana posisi militer dalam struktur ketatanegaraan kita? Apakah
otoritas sipil bisa melakukan pengelolaan terhadap alat pertahanan negara
ini? Begitu juga dengan masalah ekonomi, apakah Indonesia akan
terus-menerus menjadi konsumen dari produk global atau menjadi produsen?
Bagaimana dengan jumlah penduduk Indonesia, apakah menjadi kekuatan atau
malah kelemahan di dunia?
Sudah saatnya masa kampanye
yang panjang ini, selama satu tahun, digunakan untuk menggali
gagasan-gagasan politik, ekonomi, budaya, sosial dan lainnya ketimbang
hanya berbicara tentang parpol mana yang akan kalah atau menang.
Indonesia sudah melewati tiga kali pemilu, yakni 1999, 2004, dan 2009.
Semestinya bangsa ini sudah belajar banyak dari ketiga pemilu itu.
Mengembalikan perkara
demokrasi ke substansi adalah upaya untuk mencegah gong kematian bagi
demokrasi itu sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar