Kamis, 18 April 2013

Islamofobia dan Masa Depan Hubungan Islam-Barat


Islamofobia dan Masa Depan 
Hubungan Islam-Barat
Arif Zamhari  ;  Deputi Direktur International Conference of Islamic Scholars (ICIS)
KORAN SINDO, 18 April 2013

  
Hubungan Islam dan Barat tak selalu berjalan mulus. Sekalipun tidak sedikit umat Islam yang tinggal secara turun-temurun dan telah menjadi warga negara di Barat, tetap saja hubungan Islam dan Barat belum sepenuhnya dikatakan membaik. 

Selalu saja ada hambatan psikologis di kalangan masyarakat Barat untuk menerima umat Islam menjadi bagian integral dari masyarakat dan budaya Barat. Hambatan psikologis ini belakangan kerap muncul dalam bentuk sikap Islamofobia di kalangan masyarakat Barat terhadap Islam. Secara akademis, Islamofobia bermakna kebencian dan ketakutan yang tidak masuk akal terhadap Islam. 

Tidak jarang istilah ini merujuk pada sikap tidak toleran (prejudice) dan stereotype yang berlebihan terhadap Islam dan muslim. Istilah Islamofobia ini sering disandingkan dengan istilah lain yang bermakna kebencian terhadap kelompok lain seperti anti-Semitism (kebencian terhadap Yahudi) dan xenophobia (kebencian terhadap sesuatu yang asing). Kata Islamofobia kerap menghiasi berita-berita di sejumlah media dalam satu dasawarsa terakhir. Tidak jelas kapan dan siapa yang pertama kali memperkenalkan istilah ini terutama dalam wacana hubungan Islam dan Barat. Yang jelas, sikap kebencian dan ketakutan terhadap Islam khususnya di beberapa negara Eropa dan Amerika semakin meningkat setelah peristiwa 9/11. 

Secara historis, ketegangan hubungan Islam dan Barat terjadi akibat proses globalisasi dan migrasi internasional. Dua proses ini mengakibatkan banyak umat Islam melakukan migrasi dan menetap di beberapa negara Barat. Suksesnya diaspora muslim di beberapa negara Barat mengharuskan masyarakat Barat berhadapan dengan identitas dan budaya Islam yang berbeda. 

Barat merasa ada kebutuhan yang mendesak untuk melindungi identitas, pandangan hidup, dan budaya mereka dari serangan budaya Islam ini. Sayangnya, proteksi terhadap budaya mereka yang berlebihan tidak jarang berujung pada sikap kebencian dan ketakutan yang tidak masuk akal terhadap Islam. Kedatangan umat Islam di negara-negara Barat lalu dianggap sebagai ancaman tersendiri bagi eksistensi nilai dan budaya Barat. Sayangnya, sikap kebencian dan ketakutan terhadap Islam ini seakan memperoleh pembenaran secara akademik ketika Samuel Huntington menulis artikel yang berjudul Clash of Civilization (Benturan antar Peradaban). 

Profesor politik dari Universitas Harvard ini mengatakan, peradaban Islam bakal menjadi musuh potensial peradaban Barat pascaperang dingin dan runtuhnya komunis. Huntington memprediksikan, konflik antara Islam dan Barat akan terjadi dalam proses globalisasi dunia. Meski karya Huntington ini banyak mendapat kritik dari ilmuwan lainnya, tetap saja pandangannya berpengaruh besar terhadap hubungan Islam dan Barat. 

Pandangan Huntington ini tidak saja memperburuk hubungan Islam dan Barat, tapi juga berpotensi meningkatkan kebencian dan ketakutan Barat terhadap Islam. Intensitas ketakutan dan kebencian ini semakin meningkat setelah peristiwa serangan teroris di beberapa negara Eropa dan Amerika. Sekalipun pelaku teror ini adalah kalangan minoritas Islam, masyarakat Barat dengan mudah menganggap tindakan teror ini bagian dari arus utama Islam. Mereka lalu memberikan label Islam sebagai agama teror dan radikal. 

Pelaku teroris yang digambarkan media Barat sebagai sosok muslim fanatik, jihadis, dan radikal ini semakin menegaskan Islam sebagai ancaman dan sumber ketakutan bagi pandangan hidup dan nilai-nilai masyarakat Barat. Sebaliknya, sikap masyarakat Barat akan berbeda jika pelaku kekerasan dan teror itu berasal dari kalangan fundamentalis Kristen atau Yahudi. Mereka tak lantas mengaitkannya dengan arus Kristen dan Yahudi utama. Misalnya, pembunuhan Perdana Menteri Israel Yitzak Rabin oleh fundamentalis Yahudi beberapa tahun lalu tidak lantas dikaitkan dengan arus utama Yahudi secara keseluruhan. 

Paling banter pelakunya dianggap berasal dari kalangan fanatik ekstremis dan orang gila ketimbang sebagai pengikut fundamentalis Yahudi. Menurut John L Esposito (2010), intensitas ketakutan dan kebencian ini diperparah oleh media-media Barat, komentator media, penganut Kristen Zionis garis keras, kelompok neokonservatif-kanan, kelompok xenophobic, dan para politisi yang mengeksploitasi serangan-serangan teroris ini. 

Tidak jarang kalangan Islamofobia ini menggambarkan: umat Islam sebagai warga negara Barat yang tidak loyal, Islam adalah ancaman terhadap Barat, Islam dan umat Islam adalah inferior dibanding Kristen dan Yahudi, Islam adalah agama yang secara inheren mengajarkan kekerasan dan global jihad, agama Islam tidak memiliki kesamaan dengan nilai-nilai Barat, Eropa kini telah berubah menjadi Eurabia, dan lain-lain. Islamofobia memang tidak bisa dihilangkan begitu saja dari kejiwaan masyarakat Barat dalam waktu yang singkat. 

Semua pihak di Barat (media, politisi, agamawan, pengamat politik, pemerintah, dan cendekiawan) memiliki peran yang penting untuk melawan setiap suara-suara kebencian atas dasar agama, ideologi, dan teologi eksklusif. Pelabelan Islam secara umum sebagai agama teror dan ancaman bagi Barat dapat memberikan informasi yang salah tentang Islam kepada masyarakat Barat yang sebelumnya tidak memiliki pembanding informasi pengetahuan tentang Islam. Informasi negatif ini tidak saja mendistorsi Islam sebatas prilaku segelintir kalangan muslim ekstremis, tapi juga dapat meningkatkan budaya kebencian masyarakat Barat terhadap Islam. 

Padahal dibanding minoritas muslim ekstremis, jumlah umat Islam mayoritas yang moderat dan respek terhadap budaya Barat jauh lebih banyak. Kalangan Barat harus mengetahui pandangan mayoritas umat Islam ini (silent muslim majority) tentang Barat. Tentu saja pandangan mayoritas Islam terhadap Barat sangat berbeda dengan kalangan minoritas muslim ekstremis, radikal, dan fanatik. 

Mungkin kalangan minoritas ekstremis ini membenci masyarakat Barat beserta budayanya, tapi kalangan mayoritas Islam tidak sedikit yang kagum terhadap kemajuan, hak asasi manusia, sistem demokrasi, dan penegakan hukum di negara-negara barat. Tidak sedikit juga mereka yang ingin mencita-citakan kemajuan sebagaimana negara-negara Barat. 

Masyarakat Barat harus menyadari bahwa umat Islam dewasa ini bagian penting dalam sejarah kemanusiaan global. Mereka bagian dari mozaik masyarakat Barat. Masyarakat Barat yang selalu tunduk pada dikotomi ‘kita’ dan ‘mereka’ ditantang untuk melampaui perbedaan-perbedaan ini dengan mengukuhkan sisi kemanusiaan. 

Suka atau tidak suka, ‘kita’ saling terhubung dan saling membutuhkan satu sama lain untuk membangun masyarakat dan dunia. Sikap Islamofobia dan xenophobic yang ditampilkan masyarakat Barat justru bertentangan dengan nilai-nilai keadaban Barat sendiri. Sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis, negaranegara Barat harus berdiri di garda terdepan untuk melawan segala bentuk diskriminasi atas dasar kebencian terhadap sekelompok agama tertentu. 

Nilainilai keadaban Barat justru dibangun atas dasar penghormatan terhadap nilai-nilai luhur kemanusiaan tanpa membedakan jenis ras agama dan warna kulit. Penghargaan terhadap nilai kemanusiaan inilah yang memperkokoh bangunan demokrasi di negara-negara Barat sampai sekarang. Kebencian dan diskriminasi terhadap kelompok tertentu justru akan meruntuhkan bangunan demokrasi dan konstitusi negara-negara Barat yang sudah terbangun berabadabad. Kalangan masyarakat Barat dan mayoritas Islam harus secara lantang menolak segala bentuk kebencian dan diskriminasi yang dapat meruntuhkan bangunan masyarakat dunia. 

Karena itu, dialog antara Islam dan Barat baik di level atas maupun di level masyarakat penting untuk dilakukan secara terus-menerus untuk mengurangi kesalahpahaman di antara keduanya. Hanya dengan cara saling menghormati eksistensi masingmasing, hubungan harmonis antara Islam dan Barat dapat tercapai untuk membangun jalan baru peradaban dunia pada masa yang akan datang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar