Hubungan
Islam dan Barat tak selalu berjalan mulus. Sekalipun tidak sedikit umat
Islam yang tinggal secara turun-temurun dan telah menjadi warga negara di
Barat, tetap saja hubungan Islam dan Barat belum sepenuhnya dikatakan
membaik.
Selalu saja
ada hambatan psikologis di kalangan masyarakat Barat untuk menerima umat
Islam menjadi bagian integral dari masyarakat dan budaya Barat. Hambatan
psikologis ini belakangan kerap muncul dalam bentuk sikap Islamofobia di
kalangan masyarakat Barat terhadap Islam. Secara akademis, Islamofobia
bermakna kebencian dan ketakutan yang tidak masuk akal terhadap Islam.
Tidak jarang
istilah ini merujuk pada sikap tidak toleran (prejudice) dan stereotype
yang berlebihan terhadap Islam dan muslim. Istilah Islamofobia ini sering
disandingkan dengan istilah lain yang bermakna kebencian terhadap
kelompok lain seperti anti-Semitism (kebencian terhadap Yahudi) dan
xenophobia (kebencian terhadap sesuatu yang asing). Kata Islamofobia
kerap menghiasi berita-berita di sejumlah media dalam satu dasawarsa
terakhir. Tidak jelas kapan dan siapa yang pertama kali memperkenalkan
istilah ini terutama dalam wacana hubungan Islam dan Barat. Yang jelas,
sikap kebencian dan ketakutan terhadap Islam khususnya di beberapa negara
Eropa dan Amerika semakin meningkat setelah peristiwa 9/11.
Secara
historis, ketegangan hubungan Islam dan Barat terjadi akibat proses
globalisasi dan migrasi internasional. Dua proses ini mengakibatkan
banyak umat Islam melakukan migrasi dan menetap di beberapa negara Barat.
Suksesnya diaspora muslim di beberapa negara Barat mengharuskan
masyarakat Barat berhadapan dengan identitas dan budaya Islam yang
berbeda.
Barat merasa
ada kebutuhan yang mendesak untuk melindungi identitas, pandangan hidup,
dan budaya mereka dari serangan budaya Islam ini. Sayangnya, proteksi
terhadap budaya mereka yang berlebihan tidak jarang berujung pada sikap
kebencian dan ketakutan yang tidak masuk akal terhadap Islam. Kedatangan
umat Islam di negara-negara Barat lalu dianggap sebagai ancaman
tersendiri bagi eksistensi nilai dan budaya Barat. Sayangnya, sikap
kebencian dan ketakutan terhadap Islam ini seakan memperoleh pembenaran
secara akademik ketika Samuel Huntington menulis artikel yang berjudul Clash of Civilization (Benturan
antar Peradaban).
Profesor
politik dari Universitas Harvard ini mengatakan, peradaban Islam bakal
menjadi musuh potensial peradaban Barat pascaperang dingin dan runtuhnya
komunis. Huntington memprediksikan, konflik antara Islam dan Barat akan
terjadi dalam proses globalisasi dunia. Meski karya Huntington ini banyak
mendapat kritik dari ilmuwan lainnya, tetap saja pandangannya berpengaruh
besar terhadap hubungan Islam dan Barat.
Pandangan
Huntington ini tidak saja memperburuk hubungan Islam dan Barat, tapi juga
berpotensi meningkatkan kebencian dan ketakutan Barat terhadap Islam.
Intensitas ketakutan dan kebencian ini semakin meningkat setelah
peristiwa serangan teroris di beberapa negara Eropa dan Amerika.
Sekalipun pelaku teror ini adalah kalangan minoritas Islam, masyarakat
Barat dengan mudah menganggap tindakan teror ini bagian dari arus utama
Islam. Mereka lalu memberikan label Islam sebagai agama teror dan
radikal.
Pelaku
teroris yang digambarkan media Barat sebagai sosok muslim fanatik,
jihadis, dan radikal ini semakin menegaskan Islam sebagai ancaman dan
sumber ketakutan bagi pandangan hidup dan nilai-nilai masyarakat Barat.
Sebaliknya, sikap masyarakat Barat akan berbeda jika pelaku kekerasan dan
teror itu berasal dari kalangan fundamentalis Kristen atau Yahudi. Mereka
tak lantas mengaitkannya dengan arus Kristen dan Yahudi utama. Misalnya,
pembunuhan Perdana Menteri Israel Yitzak Rabin oleh fundamentalis Yahudi
beberapa tahun lalu tidak lantas dikaitkan dengan arus utama Yahudi
secara keseluruhan.
Paling banter
pelakunya dianggap berasal dari kalangan fanatik ekstremis dan orang gila
ketimbang sebagai pengikut fundamentalis Yahudi. Menurut John L Esposito
(2010), intensitas ketakutan dan kebencian ini diperparah oleh
media-media Barat, komentator media, penganut Kristen Zionis garis keras,
kelompok neokonservatif-kanan, kelompok xenophobic, dan para politisi
yang mengeksploitasi serangan-serangan teroris ini.
Tidak jarang
kalangan Islamofobia ini menggambarkan: umat Islam sebagai warga negara
Barat yang tidak loyal, Islam adalah ancaman terhadap Barat, Islam dan
umat Islam adalah inferior dibanding Kristen dan Yahudi, Islam adalah
agama yang secara inheren mengajarkan kekerasan dan global jihad, agama Islam
tidak memiliki kesamaan dengan nilai-nilai Barat, Eropa kini telah
berubah menjadi Eurabia, dan lain-lain. Islamofobia memang tidak bisa
dihilangkan begitu saja dari kejiwaan masyarakat Barat dalam waktu yang
singkat.
Semua pihak
di Barat (media, politisi, agamawan, pengamat politik, pemerintah, dan
cendekiawan) memiliki peran yang penting untuk melawan setiap suara-suara
kebencian atas dasar agama, ideologi, dan teologi eksklusif. Pelabelan
Islam secara umum sebagai agama teror dan ancaman bagi Barat dapat
memberikan informasi yang salah tentang Islam kepada masyarakat Barat
yang sebelumnya tidak memiliki pembanding informasi pengetahuan tentang
Islam. Informasi negatif ini tidak saja mendistorsi Islam sebatas prilaku
segelintir kalangan muslim ekstremis, tapi juga dapat meningkatkan budaya
kebencian masyarakat Barat terhadap Islam.
Padahal
dibanding minoritas muslim ekstremis, jumlah umat Islam mayoritas yang
moderat dan respek terhadap budaya Barat jauh lebih banyak. Kalangan
Barat harus mengetahui pandangan mayoritas umat Islam ini (silent muslim majority) tentang
Barat. Tentu saja pandangan mayoritas Islam terhadap Barat sangat berbeda
dengan kalangan minoritas muslim ekstremis, radikal, dan fanatik.
Mungkin
kalangan minoritas ekstremis ini membenci masyarakat Barat beserta
budayanya, tapi kalangan mayoritas Islam tidak sedikit yang kagum
terhadap kemajuan, hak asasi manusia, sistem demokrasi, dan penegakan
hukum di negara-negara barat. Tidak sedikit juga mereka yang ingin
mencita-citakan kemajuan sebagaimana negara-negara Barat.
Masyarakat
Barat harus menyadari bahwa umat Islam dewasa ini bagian penting dalam
sejarah kemanusiaan global. Mereka bagian dari mozaik masyarakat Barat.
Masyarakat Barat yang selalu tunduk pada dikotomi ‘kita’ dan ‘mereka’
ditantang untuk melampaui perbedaan-perbedaan ini dengan mengukuhkan sisi
kemanusiaan.
Suka atau
tidak suka, ‘kita’ saling terhubung dan saling membutuhkan satu sama lain
untuk membangun masyarakat dan dunia. Sikap Islamofobia dan xenophobic
yang ditampilkan masyarakat Barat justru bertentangan dengan nilai-nilai
keadaban Barat sendiri. Sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai
demokratis, negaranegara Barat harus berdiri di garda terdepan untuk
melawan segala bentuk diskriminasi atas dasar kebencian terhadap
sekelompok agama tertentu.
Nilainilai
keadaban Barat justru dibangun atas dasar penghormatan terhadap
nilai-nilai luhur kemanusiaan tanpa membedakan jenis ras agama dan warna
kulit. Penghargaan terhadap nilai kemanusiaan inilah yang memperkokoh
bangunan demokrasi di negara-negara Barat sampai sekarang. Kebencian dan
diskriminasi terhadap kelompok tertentu justru akan meruntuhkan bangunan
demokrasi dan konstitusi negara-negara Barat yang sudah terbangun
berabadabad. Kalangan masyarakat Barat dan mayoritas Islam harus secara
lantang menolak segala bentuk kebencian dan diskriminasi yang dapat
meruntuhkan bangunan masyarakat dunia.
Karena itu,
dialog antara Islam dan Barat baik di level atas maupun di level
masyarakat penting untuk dilakukan secara terus-menerus untuk mengurangi
kesalahpahaman di antara keduanya. Hanya dengan cara saling menghormati
eksistensi masingmasing, hubungan harmonis antara Islam dan Barat dapat
tercapai untuk membangun jalan baru peradaban dunia pada masa yang akan
datang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar