Masyarakat
terhenyak oleh kesediaan Mabes TNI AD bergerak cepat dan mengungkapkan
hasil investigasi kasus penyerangan yang menewaskan empat tahanan di
Lapas Cebongan, Mlati, Sleman, Yogyakarta.
Media on-line sindonews.com
pada Jum’at 5/4/2013, melansir investigasi tim sembilan Mabes TNI AD yang
mengungkapkan bahwa pelaku penyerangan adalah 11 orang oknum anggota
Kopassus dari Grup II Kandang Menjangan, Kartasura, Surakarta. Latar
belakang penyerangan, di antaranya termotivasi corsa atau pertalian jiwa
untuk tidak meninggalkan rekannya sekalipun telah menjadi mayat.
Keterbukaan informasi terbilang sensitif karena melibatkan esprit de corp
aparat dan kewibawaan institusi militer/Polri-jurnalis. Semula publik
sempat ragu, bahkan apriori tentang kemungkinan kasus penyerangan pada
23/3/2013 lalu ditutup rapat-rapat. Namun, pengungkapan hasil investigasi
Mabes TNI AD membawa angin segar dalam implementasi UU No 14/2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik (KIP),
dan hasil investigasi bukan menjadi faktor penghambat
penyidikan/penuntasan kasus penyerbuan Lapas Cebongan, misalnya pelaku
bakal kabur atau menghilangkan barang bukti, melainkan untuk memenuhi
rasa keadilan masyarakat dan norma hukum positif, sekaligus menghapus
kekhawatiran masyarakat bahwa pihak TNI sebagai badan publik yang kurang
apresiatif terhadap implementasi UU KIP.
Pasal 17 UU KIP berbunyi setiap badan publik wajib membuka akses bagi
setiap pemohon informasi publik untuk mendapatkan informasi publik
kecuali informasi publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada pemohon
informasi publik dapat menghambat proses penegakkan hukum. Informasi
publik tersebut di antaranya pertama menghambat proses penyelidikan dan
penyidikan sebuah tindak pidana.
Kedua mengungkapkan identitas informan, pelapor, saksi, dan/atau korban
yang mengetahui adanya tindak pidana. Ketiga mengungkapkan data intelijen
kriminal dan rencana-rencana yang berhubungan dengan pencegahan dan
penanganan segala bentuk kejahatan transnasional.
Keempat membahayakan keselamatan peralatan, sarana, dan/atau keluarganya;
dan kelima membahayakan keamanan peralatan, sarana, dan/atau prasarana
penegak hukum. Langkah maju pengungkapan hasil investigasi Mabes TNI AD
tersebut hendaknya dapat ditindaklanjuti dengan langkah penegakan hukum,
sehingga semangat supremasi hukum sebagai bagian dari clean and good governance dapat
terwujud.
Musibah atau
Berkah ?
Setidaknya terdapat tiga undang-undang yang menjadi tonggak reformasi
birokrasi dan transparansi pemerintahan, yakni UU No 25/2009 tentang
Pelayanan Publik, UU No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, dan
UU No 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
Tiga undang-undang reformasi ini diharapkan dapat mengakselerasi
terwujudnya clean and good
governance.
Tak terbantahkan, keterbukaan informasi dewasa menjadi kebutuhan atau
hajat hidup masyarakat sejalan dengan kemajuan zaman. Pasalnya, trauma
sejarah ketertutupan informasi selama lebih dari 30 tahun pada masa orde
baru cukup membungkam daya kritis masyarakat. Keterbukaan dan sikap
ksatria prajurit Kopassus menjadi inspirasi masyarakat yang mengibaratkan
kalau saja para koruptor berani jujur dan secara gentle mengakui bersalah, lalu bersikap terbuka untuk
membongkar kasus korupsi, maka betapa banyak uang negara yang dapat
terselamatkan.
Sebagai badan publik, TNI juga menjadi institusi terikat dengan UU KIP.
Karena itu, pengungkapan hasil investigasi kasus penyerangan di Lapas
Cebongan, Mlati, Sleman kiranya dapat menjadi trigger badan publik lainnya mengikuti jejak keterbukaan
informasi di tubuh TNI. Masalahnya, UU KIP dianggap sebagai musibah
sekaligus berkah. Mereka yang menganggap sebagai musibah umumnya menilai
dari sejumlah alasan.
Pertama UU KIP mewajibkan badan publik segera membentuk PPID (pejabat
pengelola informasi daerah). Merujuk Pasal 13 UU KIP, disebutkan dalam
ayat 1 untuk mewujudkan pelayanan cepat, tepat dan sederhana setiap badan
publik : a. Menunjuk pejabat pengelola informasi dan dokumentasi; dan b.
Membuat dan mengembangkan sistem penyediaan layanan informasi secara
cepat, mudah, dan wajar sesuai dengan petunjuk teknis standar layanan
informasi publik yang berlaku secara nasional. Pasal ini memiliki
konsekuensi penataan administratif dan kelengkapan sarana pendukung yang
secara teknis tidak gampang. Terlebih bila sistem administratif belum computerized dan tersusun secara
baik akan menjadi beban tersendiri.
Kedua SDM pegawai/karyawan bisa jadi belum cukup mendukung untuk
menyiapkan, mengategorisasi data/dokumentasi, dan yang lebih kompleks
lagi adalah prosedur/petunjuk teknis standar layanan informasi publik
yang berlaku secara nasional. Ketiga kultur birokrasi yang cenderung
memonopoli informasi masih melekat dengan ketertutupan karena menyangkut
rahasia jabatan dan track record
tupoksi badan publik itu sendiri.
Keempat, budaya masih alergi dengan keterbukaan informasi masih melekat
kuat di kalangan birokrasi. Selain dianggap dapat menciptakan gejolak
sehubungan potensi kesalahan persepsi dan penyalahgunaan data/informasi,
keterbukaan informasi dianggap dapat merusak stabilitas internal terlebih
ketika misalnya data/informasi yang diminta dapat menjadi bahan sorotan
di kalangan media massa.
Sedangkan, kalangan yang menilai sebagai berkah melihat dampak positif UU
KIP semakin memperkuat bargaining
position masyarakat dalam mengakses informasi publik. Kelak, tak ada
lagi kisah pilu anggota masyarakat yang kesulitan memperoleh informasi
publik, misalnya untuk mengetahui informasi seputar standar pelayanan di
BPN (Badan Pertanahan Nasional), dokumen APBN/APBD, serta pemanfaatan
dana BOS dan Jamkesmas.
Untuk keperluan penelitian dan penggarapan skripsi/tesis, para mahasiswa
tak akan kesulitan lagi mengakses data sejauh prosedur layanan informasi
yang ditetapkan PPID diikuti. Ringkas kata, sekarang sudah bukan zamannya
lagi mempersulit akses informasi bagi masyarakat sejauh mekanisme
memperoleh informasi tersebut diikuti masyarakat dengan tujuan dan agenda
yang jelas.
Adapun sanksi yang bakal diterima jika terbukti menyalah gunakan
informasi yang diperoleh diatur dalam UU KIP Pasal 51 yang menyatakan
setiap orang yang dengan sengaja menggunakan informasi publik secara
melawan hukum dipidana dengan penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Menjadi tugas pemerintah mendorong terjadinya transformasi kultural dan
sistemik di kalangan badan publik agar mengapresiasi positif UU KIP, dan
segera menyediakan PPID. Badan publik dapat meneladani corsa keterbukaan informasi Mabes
TNI-AD yang mengungkap hasil investigasi kasus penyerbuan lapas tanpa
harus diminta masyarakat. Alhasil, public
distrust terhadap TNI dapat dihindari. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar