Kamis, 18 April 2013

“Corsa” Keterbukaan Informasi dari Lapas Cebongan


“Corsa” Keterbukaan Informasi dari Lapas Cebongan
Wahyu Kuncoro  Kolumnis, Pengamat Sosial Politik 
KORAN SINDO, 18 April 2013

  
Masyarakat terhenyak oleh kesediaan Mabes TNI AD bergerak cepat dan mengungkapkan hasil investigasi kasus penyerangan yang menewaskan empat tahanan di Lapas Cebongan, Mlati, Sleman, Yogyakarta. 

Media on-line sindonews.com pada Jum’at 5/4/2013, melansir investigasi tim sembilan Mabes TNI AD yang mengungkapkan bahwa pelaku penyerangan adalah 11 orang oknum anggota Kopassus dari Grup II Kandang Menjangan, Kartasura, Surakarta. Latar belakang penyerangan, di antaranya termotivasi corsa atau pertalian jiwa untuk tidak meninggalkan rekannya sekalipun telah menjadi mayat.

Keterbukaan informasi terbilang sensitif karena melibatkan esprit de corp aparat dan kewibawaan institusi militer/Polri-jurnalis. Semula publik sempat ragu, bahkan apriori tentang kemungkinan kasus penyerangan pada 23/3/2013 lalu ditutup rapat-rapat. Namun, pengungkapan hasil investigasi Mabes TNI AD membawa angin segar dalam implementasi UU No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), 

dan hasil investigasi bukan menjadi faktor penghambat penyidikan/penuntasan kasus penyerbuan Lapas Cebongan, misalnya pelaku bakal kabur atau menghilangkan barang bukti, melainkan untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat dan norma hukum positif, sekaligus menghapus kekhawatiran masyarakat bahwa pihak TNI sebagai badan publik yang kurang apresiatif terhadap implementasi UU KIP. 

Pasal 17 UU KIP berbunyi setiap badan publik wajib membuka akses bagi setiap pemohon informasi publik untuk mendapatkan informasi publik kecuali informasi publik yang apabila dibuka dan diberikan kepada pemohon informasi publik dapat menghambat proses penegakkan hukum. Informasi publik tersebut di antaranya pertama menghambat proses penyelidikan dan penyidikan sebuah tindak pidana. 

Kedua mengungkapkan identitas informan, pelapor, saksi, dan/atau korban yang mengetahui adanya tindak pidana. Ketiga mengungkapkan data intelijen kriminal dan rencana-rencana yang berhubungan dengan pencegahan dan penanganan segala bentuk kejahatan transnasional. 

Keempat membahayakan keselamatan peralatan, sarana, dan/atau keluarganya; dan kelima membahayakan keamanan peralatan, sarana, dan/atau prasarana penegak hukum. Langkah maju pengungkapan hasil investigasi Mabes TNI AD tersebut hendaknya dapat ditindaklanjuti dengan langkah penegakan hukum, sehingga semangat supremasi hukum sebagai bagian dari clean and good governance dapat terwujud. 

Musibah atau Berkah ? 

Setidaknya terdapat tiga undang-undang yang menjadi tonggak reformasi birokrasi dan transparansi pemerintahan, yakni UU No 25/2009 tentang Pelayanan Publik, UU No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, dan UU No 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Tiga undang-undang reformasi ini diharapkan dapat mengakselerasi terwujudnya clean and good governance. 

Tak terbantahkan, keterbukaan informasi dewasa menjadi kebutuhan atau hajat hidup masyarakat sejalan dengan kemajuan zaman. Pasalnya, trauma sejarah ketertutupan informasi selama lebih dari 30 tahun pada masa orde baru cukup membungkam daya kritis masyarakat. Keterbukaan dan sikap ksatria prajurit Kopassus menjadi inspirasi masyarakat yang mengibaratkan kalau saja para koruptor berani jujur dan secara gentle mengakui bersalah, lalu bersikap terbuka untuk membongkar kasus korupsi, maka betapa banyak uang negara yang dapat terselamatkan. 

Sebagai badan publik, TNI juga menjadi institusi terikat dengan UU KIP. Karena itu, pengungkapan hasil investigasi kasus penyerangan di Lapas Cebongan, Mlati, Sleman kiranya dapat menjadi trigger badan publik lainnya mengikuti jejak keterbukaan informasi di tubuh TNI. Masalahnya, UU KIP dianggap sebagai musibah sekaligus berkah. Mereka yang menganggap sebagai musibah umumnya menilai dari sejumlah alasan. 

Pertama UU KIP mewajibkan badan publik segera membentuk PPID (pejabat pengelola informasi daerah). Merujuk Pasal 13 UU KIP, disebutkan dalam ayat 1 untuk mewujudkan pelayanan cepat, tepat dan sederhana setiap badan publik : a. Menunjuk pejabat pengelola informasi dan dokumentasi; dan b. 

Membuat dan mengembangkan sistem penyediaan layanan informasi secara cepat, mudah, dan wajar sesuai dengan petunjuk teknis standar layanan informasi publik yang berlaku secara nasional. Pasal ini memiliki konsekuensi penataan administratif dan kelengkapan sarana pendukung yang secara teknis tidak gampang. Terlebih bila sistem administratif belum computerized dan tersusun secara baik akan menjadi beban tersendiri. 

Kedua SDM pegawai/karyawan bisa jadi belum cukup mendukung untuk menyiapkan, mengategorisasi data/dokumentasi, dan yang lebih kompleks lagi adalah prosedur/petunjuk teknis standar layanan informasi publik yang berlaku secara nasional. Ketiga kultur birokrasi yang cenderung memonopoli informasi masih melekat dengan ketertutupan karena menyangkut rahasia jabatan dan track record tupoksi badan publik itu sendiri. 

Keempat, budaya masih alergi dengan keterbukaan informasi masih melekat kuat di kalangan birokrasi. Selain dianggap dapat menciptakan gejolak sehubungan potensi kesalahan persepsi dan penyalahgunaan data/informasi, keterbukaan informasi dianggap dapat merusak stabilitas internal terlebih ketika misalnya data/informasi yang diminta dapat menjadi bahan sorotan di kalangan media massa. 

Sedangkan, kalangan yang menilai sebagai berkah melihat dampak positif UU KIP semakin memperkuat bargaining position masyarakat dalam mengakses informasi publik. Kelak, tak ada lagi kisah pilu anggota masyarakat yang kesulitan memperoleh informasi publik, misalnya untuk mengetahui informasi seputar standar pelayanan di BPN (Badan Pertanahan Nasional), dokumen APBN/APBD, serta pemanfaatan dana BOS dan Jamkesmas. 

Untuk keperluan penelitian dan penggarapan skripsi/tesis, para mahasiswa tak akan kesulitan lagi mengakses data sejauh prosedur layanan informasi yang ditetapkan PPID diikuti. Ringkas kata, sekarang sudah bukan zamannya lagi mempersulit akses informasi bagi masyarakat sejauh mekanisme memperoleh informasi tersebut diikuti masyarakat dengan tujuan dan agenda yang jelas. 

Adapun sanksi yang bakal diterima jika terbukti menyalah gunakan informasi yang diperoleh diatur dalam UU KIP Pasal 51 yang menyatakan setiap orang yang dengan sengaja menggunakan informasi publik secara melawan hukum dipidana dengan penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah). 

Menjadi tugas pemerintah mendorong terjadinya transformasi kultural dan sistemik di kalangan badan publik agar mengapresiasi positif UU KIP, dan segera menyediakan PPID. Badan publik dapat meneladani corsa keterbukaan informasi Mabes TNI-AD yang mengungkap hasil investigasi kasus penyerbuan lapas tanpa harus diminta masyarakat. Alhasil, public distrust terhadap TNI dapat dihindari. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar