Kamis, 18 April 2013

Hak UN bagi Siswa Bermasalah


Hak UN bagi Siswa Bermasalah
Chairunnisa Suwarjo  Lulusan STKIP Pasundan 
Cimahi jurusan Pendidikan Bahasa Inggris
KORAN SINDO, 18 April 2013

  
Menjelang UN, ada banyak siswa yang terlibat masalah berat hingga harus dikeluarkan dari sekolahnya. Ada yang terlibat tindak kriminal hingga harus ditahan di lembaga pemasyarakatan, hamil di luar nikah, hingga menikah karena telah menghamili pacarnya. 

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh menginstruksikan sekolah untuk tidak mengeluarkan siswa yang bermasalah tersebut. Namun, banyak sekolah tidak menggubris instruksi tersebut dengan alasan siswa telah melanggar aturan yang ditetapkan sekolah. Muhammad Nuh mengizinkan siswa yang bermasalah tetap belajar dan mengikuti UN di sekolah. 

Menurutnya, belajar adalah hak setiap anak di Indonesia. Bahkan, dia meminta untuk tidak menyangkutpautkan masalah sosial siswa dengan hak belajar. Pernyataan tersebut jelas menimbulkan kontroversi, baik di masyarakat umum maupun di kalangan pendidik. Dalam undang-undang dijelaskan, setiap anak di Indonesia berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran. 

Namun, sekolah sebagai institusi pendidikan tempat siswa belajar pun memiliki aturan. Siswa yang terdaftar dan belajar di sekolah itu otomatis memiliki kewajiban mematuhi segala peraturan yang telah ditetapkan oleh sekolah. Secara psikologis, siswa bermasalah yang dilarang UN jelas akan mengalami tekanan. Tak hanya siswanya saja, orang tua dan keluarga siswa itu pun sudah pasti ikut terbebani masalah pelarangan UN tersebut. 

Akan tetapi, kembali lagi kepada tanggung jawab dan kewajibannya sebagai siswa yang mengharuskanya taat pada aturan dan menerima hukuman seandainya melanggar. Sejak pertama kali mendaftar di sekolah, setiap siswa beserta orang tuanya (atau walinya, jika tidak ada orang tua) sudah diinformasikan mengenai aturan sekolah tersebut. Mereka juga harus menandatangani surat persetujuan di atas meterai yang menyatakan bahwa mereka bersedia menaati aturan sekolah dan mendapatkan hukuman, atau bahkan dikeluarkan jika melanggar aturan. 

Surat tersebut tak semata selembar kertas untuk formalitas saja, tetapi bukti hukum resmi persetujuan mereka untuk menaati peraturan sekolah. Persetujuan tersebut juga seharusnya bisa membuat siswa bertekad untuk mematuhi aturan sekolahnya serius dan berupaya menghindari perbuatan yang melanggar aturan. Orang tua siswa pun demikian, harus bisa membimbing putra-putrinya agar tidak melanggar aturan sekolahnya. Dikeluarkan dari sekolah adalah konsekuensi bagi siswa yang melakukan pelanggaran berat. 

Mulai dari tindak kekerasan, terlibat penyalahgunaan obat-obatan terlarang, hingga seks bebas. Dikucilkan masyarakat atau mendapat tekanan mental karena dikeluarkan dan tidak bisa mengikuti UN juga merupakan risiko. Para siswa pelanggar aturan tidak bisa bermanja-manja meminta sekolah menerimanya kembali dengan mengandalkan dalil bahwa mereka berhak mendapat pendidikan. 

Mereka lupa bahwa mereka juga memiliki tanggung jawab serta kewajiban yang harus dipenuhi dan ditaati. Jika tanggung jawab dan kewajiban tidak dipenuhi, hak mereka pun bisa digugurkan. Siswa-siswa bermasalah yang memang harus dikeluarkan dari sekolah, sebaiknya dikeluarkan saja, mengikuti aturan sekolah tersebut. Bagaimanapun, sekolah memiliki aturan yang harus ditaati. 

Jika siswa-siswa bermasalah diberi kelonggaran, akan menghilangkan efek jera dan menjadi contoh buruk bagi siswa-siswa lain sehingga tidak takut jika melakukan pelanggaran terhadap aturan sekolah. ‘Memanjakan’ siswa-siswa bermasalah yang seharusnya dihukum juga jelas bertentangan dengan kurikulum berbasis karakter yang berlaku saat ini. Dalam jangka panjang, pembelaan yang berlebihan terhadap siswa-siswa bermasalah justru bisa merusak karakter bangsa yang positif. 

Ibnu Hamad, Juru Bicara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, menyatakan, meskipun Kemdikbud menyarankan sekolah bersangkutan untuk mengizinkan siswa bermasalah mengikuti UN, Kemdikbud tidak memiliki hak untuk mencegah sekolah mengeluarkan siswa tersebut. Dikeluarkan atau tidak, adalah ketentuan sekolah, bukan Kemdikbud (beritasatu.com 02/04/2013). 

Meskipun siswa bermasalah telah dikeluarkan dan tidak diizinkan mengikuti UN, siswa tersebut tetap berhak mendapatkan pendidikan. Hanya saja, tempatnya yang berbeda. Mereka bisa mendapatkan pendidikan sekaligus mengikuti UN melalui Paket C (untuk siswa SMA sederajat), meskipun waktu pelaksanaannya akan berbeda. Di sinilah pihak sekolah yang telah mengeluarkan siswa bermasalah tersebut bisa berperan. 

Pihak sekolah bisa membantu membimbing siswa tersebut dan orang tuanya untuk mendaftar Paket C. Seringkali, siswa dan orang tuanya tidak mengerti cara mendaftar Paket C; harus ke mana, dokumen apa saja yang diperlukan, hingga bagaimana cara mengisi formulir dan melengkapi persyaratan administrasi lainnya. 

Jika sekolah tidak membantu, siswa tersebut masih bisa meminta bantuan LSM pendidikan setempat atau langsung mendatangi kantor Kemdikbud. Hak dan kewajiban seorang siswa haruslah berjalan seimbang. Jangan hanya mementingkan hak, sementara kewajiban dilupakan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar