Menjelang
UN, ada banyak siswa yang terlibat masalah berat hingga harus dikeluarkan
dari sekolahnya. Ada yang terlibat tindak kriminal hingga harus ditahan
di lembaga pemasyarakatan, hamil di luar nikah, hingga menikah karena
telah menghamili pacarnya.
Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh menginstruksikan sekolah untuk
tidak mengeluarkan siswa yang bermasalah tersebut. Namun, banyak sekolah
tidak menggubris instruksi tersebut dengan alasan siswa telah melanggar
aturan yang ditetapkan sekolah. Muhammad Nuh mengizinkan siswa yang
bermasalah tetap belajar dan mengikuti UN di sekolah.
Menurutnya,
belajar adalah hak setiap anak di Indonesia. Bahkan, dia meminta untuk
tidak menyangkutpautkan masalah sosial siswa dengan hak belajar.
Pernyataan tersebut jelas menimbulkan kontroversi, baik di masyarakat
umum maupun di kalangan pendidik. Dalam undang-undang dijelaskan, setiap
anak di Indonesia berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran.
Namun,
sekolah sebagai institusi pendidikan tempat siswa belajar pun memiliki
aturan. Siswa yang terdaftar dan belajar di sekolah itu otomatis memiliki
kewajiban mematuhi segala peraturan yang telah ditetapkan oleh sekolah.
Secara psikologis, siswa bermasalah yang dilarang UN jelas akan mengalami
tekanan. Tak hanya siswanya saja, orang tua dan keluarga siswa itu pun
sudah pasti ikut terbebani masalah pelarangan UN tersebut.
Akan tetapi,
kembali lagi kepada tanggung jawab dan kewajibannya sebagai siswa yang
mengharuskanya taat pada aturan dan menerima hukuman seandainya
melanggar. Sejak pertama kali mendaftar di sekolah, setiap siswa beserta
orang tuanya (atau walinya, jika tidak ada orang tua) sudah
diinformasikan mengenai aturan sekolah tersebut. Mereka juga harus
menandatangani surat persetujuan di atas meterai yang menyatakan bahwa
mereka bersedia menaati aturan sekolah dan mendapatkan hukuman, atau bahkan
dikeluarkan jika melanggar aturan.
Surat
tersebut tak semata selembar kertas untuk formalitas saja, tetapi bukti
hukum resmi persetujuan mereka untuk menaati peraturan sekolah.
Persetujuan tersebut juga seharusnya bisa membuat siswa bertekad untuk
mematuhi aturan sekolahnya serius dan berupaya menghindari perbuatan yang
melanggar aturan. Orang tua siswa pun demikian, harus bisa membimbing
putra-putrinya agar tidak melanggar aturan sekolahnya. Dikeluarkan dari
sekolah adalah konsekuensi bagi siswa yang melakukan pelanggaran berat.
Mulai dari
tindak kekerasan, terlibat penyalahgunaan obat-obatan terlarang, hingga
seks bebas. Dikucilkan masyarakat atau mendapat tekanan mental karena
dikeluarkan dan tidak bisa mengikuti UN juga merupakan risiko. Para siswa
pelanggar aturan tidak bisa bermanja-manja meminta sekolah menerimanya
kembali dengan mengandalkan dalil bahwa mereka berhak mendapat
pendidikan.
Mereka lupa
bahwa mereka juga memiliki tanggung jawab serta kewajiban yang harus
dipenuhi dan ditaati. Jika tanggung jawab dan kewajiban tidak dipenuhi,
hak mereka pun bisa digugurkan. Siswa-siswa bermasalah yang memang harus
dikeluarkan dari sekolah, sebaiknya dikeluarkan saja, mengikuti aturan
sekolah tersebut. Bagaimanapun, sekolah memiliki aturan yang harus
ditaati.
Jika
siswa-siswa bermasalah diberi kelonggaran, akan menghilangkan efek jera
dan menjadi contoh buruk bagi siswa-siswa lain sehingga tidak takut jika
melakukan pelanggaran terhadap aturan sekolah. ‘Memanjakan’ siswa-siswa
bermasalah yang seharusnya dihukum juga jelas bertentangan dengan
kurikulum berbasis karakter yang berlaku saat ini. Dalam jangka panjang,
pembelaan yang berlebihan terhadap siswa-siswa bermasalah justru bisa
merusak karakter bangsa yang positif.
Ibnu Hamad,
Juru Bicara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, menyatakan, meskipun
Kemdikbud menyarankan sekolah bersangkutan untuk mengizinkan siswa
bermasalah mengikuti UN, Kemdikbud tidak memiliki hak untuk mencegah
sekolah mengeluarkan siswa tersebut. Dikeluarkan atau tidak, adalah
ketentuan sekolah, bukan Kemdikbud (beritasatu.com 02/04/2013).
Meskipun
siswa bermasalah telah dikeluarkan dan tidak diizinkan mengikuti UN,
siswa tersebut tetap berhak mendapatkan pendidikan. Hanya saja, tempatnya
yang berbeda. Mereka bisa mendapatkan pendidikan sekaligus mengikuti UN
melalui Paket C (untuk siswa SMA sederajat), meskipun waktu
pelaksanaannya akan berbeda. Di sinilah pihak sekolah yang telah
mengeluarkan siswa bermasalah tersebut bisa berperan.
Pihak sekolah
bisa membantu membimbing siswa tersebut dan orang tuanya untuk mendaftar
Paket C. Seringkali, siswa dan orang tuanya tidak mengerti cara mendaftar
Paket C; harus ke mana, dokumen apa saja yang diperlukan, hingga
bagaimana cara mengisi formulir dan melengkapi persyaratan administrasi
lainnya.
Jika sekolah
tidak membantu, siswa tersebut masih bisa meminta bantuan LSM pendidikan
setempat atau langsung mendatangi kantor Kemdikbud. Hak dan kewajiban
seorang siswa haruslah berjalan seimbang. Jangan hanya mementingkan hak,
sementara kewajiban dilupakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar