Sebagian dari kita sepertinya
masih mengingatnya dengan jelas. Peristiwa di Stadion Utama Gelora Bung
Karno 37 tahun lalu itu boleh jadi merupakan salah satu tonggak
perjalanan sepak bola Indonesia. Di stadion megah itu, tim nasional sepak
bola Indonesia gagal mencatat sejarah besar lolos ke Olimpiade Montreal
setelah kalah adu tendangan penalti (4-5) menghadapi Korea Utara. Para
eksekutor yang gagal, Junaedi Abdillah dan Anjas Asmara, pun mengaku
kenangan pahit itu mereka bawa sepanjang hidup.
Saya pun mengingat peristiwa itu
sampai sekarang. Meski hanya mengikuti lewat tayangan langsung TVRI
dengan layar yang belum berwarna, kesedihan terbawa sampai esok paginya.
Masih duduk di bangku sekolah dasar, kami membahas kegetiran itu
menjelang masuk kelas sampai lonceng berdentang membubarkan diskusi pagi
itu.
Tahun 1970-an, ketika timnas
Indonesia dipenuhi pemain-pemain dengan karakter luar biasa, sepak bola
kita adalah kekuatan Asia yang sangat disegani. Final kualifikasi
olimpiade Grup 2 melawan Korea Utara (Korut) hanyalah salah satu bukti
betapa Indonesia kala itu punya segalanya untuk menjadi kekuatan sepak
bola dunia.
Pun demikian dengan Korut. Meski
bangsa Korea pada 1953 terpecah akibat perseteruan ideologi liberal dan
komunis, kedua Korea sama-sama maju dalam sepak bola. Pada Piala Dunia
1966 di Inggris, Korut menjadi negara Asia pertama yang melewati babak
penyisihan grup, bahkan melaju sampai ke perempat final setelah menggusur
tim kuat Italia. Di perempat final melawan Portugal, mereka juga sempat
unggul 3-0 sebelum Eusebio menginspirasi Portugal untuk berbalik menang
5-3.
Selepas Piala Dunia 1966,
perkembangan sepak bola Korut mandek. Ini sejalan dengan stagnasi ekonomi
dan politiknya yang dikendalikan ideologi komunis yang diadopsi langsung
dari Uni Soviet. Dalam segala hal, Utara tertinggal sangat jauh ketimbang
saudara-saudaranya di Selatan yang menjadi sangat kaya berkat kemajuan
bidang ekonomi. ”Pada tahun 1970-an, Korsel berubah menjadi negara kaya
raya, sementara Utara mandek dan sangat tipikal negara yang dikendalikan
ideologi Stalinis,” ujat Robert Kelly, pengamat Korut di Universitas
Nasional Pusan, Korsel.
Ketika Selatan membangun sepak
bolanya dengan basis industri, Utara berjalan di tempat dan hanya
digerakkan kepatuhan besi terhadap sang Pemimpin Besar Kim Il Sung.
Hasilnya kita tahu, Selatan rutin kembali mengikuti Piala Dunia sejak
1986, dan pada 2010 mencatat delapan kali tampil di panggung paling agung
itu. Bahkan, pada 2002, ketika Selatan berbagi tuan rumah dengan Jepang, pasukan
Taeguk Warriors mencatat tinta emas dengan melaju ke semifinal.
Perjalanan mereka pun sangat heroik setelah menyingkirkan dua tim kelas
dunia, Italia dan Spanyol.
Sementara itu, sepak bola Utara
yang dikendalikan militer tak bisa berbuat banyak di panggung dunia,
bahkan juga terpuruk di pentas Asia.
Kemajuan di segala bidang yang
dicapai Seoul membuat Pyongyang geram. Di bidang olahraga, khususnya
sepak bola, sang Pemimpin Tersayang Kim Jong Il bahkan ikut campur hingga
ke urusan teknis timnas. Perhatian besar Jong Il rupanya berbuah. Korut
kembali berpartisipasi di Piala Dunia 2010 setelah pada kualifikasi Asia
menyingkirkan Arab Saudi, Iran, dan Uni Emirat Arab.
Sayangnya, pada penampilan kedua
di Piala Dunia Afrika Selatan ini, Korut mengecewakan. Tim asuhan Kim
Jong Hun ini kalah tiga kali di penyisihan grup, bahkan dengan dua
kekalahan telak melawan Portugal dan Pantai Gading.
Sebenarnya, Korut sempat tampil
memesona meskipun menerapkan sepak bola negatif saat melawan Brasil di
laga pertama. Meski kalah 1-2, Korut dipuji berkat penampilan disiplin
militer. Nun di negerinya, laga ini tak boleh disiarkan televisi secara
langsung. Para pemimpin negeri itu takut citra komunisme yang sudah luluh
lantak makin berantakan. Nyatanya, Hong Yong Jo dan kawan-kawan tampil
heroik.
Setelah melawan Brasil,
Pyongyang membuka akses siaran langsung saat Yong Jo dkk jumpa Portugal.
Rakyat Korut, yang sehari-hari didera kemiskinan hebat, menyambut
keputusan ini dengan penuh sukacita. Mereka berkumpul di kedai-kedai kopi
dan menyiapkan pesta besar di pusat kota Pyongyang. Namun, ironisnya,
Korut justru dibantai Portugal tujuh gol tanpa balas dan lantas dihajar
Pantai Gading dengan tiga gol.
Akibat dua kekalahan telak ini,
pasukan Jong Hun harus menghadapi ”pengadilan rakyat” sepulang mereka ke
Pyongyang dari Afsel. Seluruh anggota tim—kecuali dua pemain yang main di
Liga Jepang, Jong Tae Se dan An Yong Hak, langsung terbang ke Tokyo—harus
tampil di panggung pengadilan di Istana Kebudayaan Rakyat. Dengan hakim
tunggal Menteri Olahraga Park Myong Chol dan diikuti 400 pejabat
pemerintah, timnas Korut dihujat habis-habisan. Selain dituduh
mempermalukan negara, mereka juga didakwa mengkhianati sang Pemimpin
Utama Kim Jong Un.
Kim Jong Un adalah putra Kim
Jong Il, atau cucu dari Pemimpin Besar Kim Il Sung. Kala itu, Jong Il
mulai sakit-sakitan dan sudah menyerahkan beberapa pilar kekuasaannya
kepada Jong Un. Kala itu, Pemimpin Utama Jong Un belum genap 30 tahun,
tetapi memiliki kekuasaan yang sangat besar terhadap militer dan tentu
saja sepak bola.
Gairah Kim Jong Un terhadap
sepak bola sebenarnya tak sebesar sang ayah, Kim Jong Il, yang bahkan
dikabarkan ikut mengatur susunan pemain saat Korut tampil di Afsel. Jong
Un lebih punya passion di bidang militer dan seakan tak pernah absen di
garis depan ketika militer Korut menguji coba peluru kendali mereka
belakangan ini.
Dengan gaya seradak-seruduk khas
anak muda, Kim Jong Un mengumbar ancaman terhadap Korsel dan AS setelah
PBB menjatuhkan sanksi. Beruntung dia tak begitu peduli pada sepak bola
sebab kalau tidak Hong Yong Jo dan kawan-kawan sudah dipenjara karena
”pengkhianatan” mereka terhadap sang Pemimpin Utama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar