Kamis, 11 April 2013

Korea Utara


Korea Utara
Anton Sanjoyo   ;  Wartawan Kompas
KOMPAS, 11 April 2013

  
Sebagian dari kita sepertinya masih mengingatnya dengan jelas. Peristiwa di Stadion Utama Gelora Bung Karno 37 tahun lalu itu boleh jadi merupakan salah satu tonggak perjalanan sepak bola Indonesia. Di stadion megah itu, tim nasional sepak bola Indonesia gagal mencatat sejarah besar lolos ke Olimpiade Montreal setelah kalah adu tendangan penalti (4-5) menghadapi Korea Utara. Para eksekutor yang gagal, Junaedi Abdillah dan Anjas Asmara, pun mengaku kenangan pahit itu mereka bawa sepanjang hidup.
Saya pun mengingat peristiwa itu sampai sekarang. Meski hanya mengikuti lewat tayangan langsung TVRI dengan layar yang belum berwarna, kesedihan terbawa sampai esok paginya. Masih duduk di bangku sekolah dasar, kami membahas kegetiran itu menjelang masuk kelas sampai lonceng berdentang membubarkan diskusi pagi itu.
Tahun 1970-an, ketika timnas Indonesia dipenuhi pemain-pemain dengan karakter luar biasa, sepak bola kita adalah kekuatan Asia yang sangat disegani. Final kualifikasi olimpiade Grup 2 melawan Korea Utara (Korut) hanyalah salah satu bukti betapa Indonesia kala itu punya segalanya untuk menjadi kekuatan sepak bola dunia.
Pun demikian dengan Korut. Meski bangsa Korea pada 1953 terpecah akibat perseteruan ideologi liberal dan komunis, kedua Korea sama-sama maju dalam sepak bola. Pada Piala Dunia 1966 di Inggris, Korut menjadi negara Asia pertama yang melewati babak penyisihan grup, bahkan melaju sampai ke perempat final setelah menggusur tim kuat Italia. Di perempat final melawan Portugal, mereka juga sempat unggul 3-0 sebelum Eusebio menginspirasi Portugal untuk berbalik menang 5-3.
Selepas Piala Dunia 1966, perkembangan sepak bola Korut mandek. Ini sejalan dengan stagnasi ekonomi dan politiknya yang dikendalikan ideologi komunis yang diadopsi langsung dari Uni Soviet. Dalam segala hal, Utara tertinggal sangat jauh ketimbang saudara-saudaranya di Selatan yang menjadi sangat kaya berkat kemajuan bidang ekonomi. ”Pada tahun 1970-an, Korsel berubah menjadi negara kaya raya, sementara Utara mandek dan sangat tipikal negara yang dikendalikan ideologi Stalinis,” ujat Robert Kelly, pengamat Korut di Universitas Nasional Pusan, Korsel.
Ketika Selatan membangun sepak bolanya dengan basis industri, Utara berjalan di tempat dan hanya digerakkan kepatuhan besi terhadap sang Pemimpin Besar Kim Il Sung. Hasilnya kita tahu, Selatan rutin kembali mengikuti Piala Dunia sejak 1986, dan pada 2010 mencatat delapan kali tampil di panggung paling agung itu. Bahkan, pada 2002, ketika Selatan berbagi tuan rumah dengan Jepang, pasukan Taeguk Warriors mencatat tinta emas dengan melaju ke semifinal. Perjalanan mereka pun sangat heroik setelah menyingkirkan dua tim kelas dunia, Italia dan Spanyol.
Sementara itu, sepak bola Utara yang dikendalikan militer tak bisa berbuat banyak di panggung dunia, bahkan juga terpuruk di pentas Asia.
Kemajuan di segala bidang yang dicapai Seoul membuat Pyongyang geram. Di bidang olahraga, khususnya sepak bola, sang Pemimpin Tersayang Kim Jong Il bahkan ikut campur hingga ke urusan teknis timnas. Perhatian besar Jong Il rupanya berbuah. Korut kembali berpartisipasi di Piala Dunia 2010 setelah pada kualifikasi Asia menyingkirkan Arab Saudi, Iran, dan Uni Emirat Arab.
Sayangnya, pada penampilan kedua di Piala Dunia Afrika Selatan ini, Korut mengecewakan. Tim asuhan Kim Jong Hun ini kalah tiga kali di penyisihan grup, bahkan dengan dua kekalahan telak melawan Portugal dan Pantai Gading.
Sebenarnya, Korut sempat tampil memesona meskipun menerapkan sepak bola negatif saat melawan Brasil di laga pertama. Meski kalah 1-2, Korut dipuji berkat penampilan disiplin militer. Nun di negerinya, laga ini tak boleh disiarkan televisi secara langsung. Para pemimpin negeri itu takut citra komunisme yang sudah luluh lantak makin berantakan. Nyatanya, Hong Yong Jo dan kawan-kawan tampil heroik.
Setelah melawan Brasil, Pyongyang membuka akses siaran langsung saat Yong Jo dkk jumpa Portugal. Rakyat Korut, yang sehari-hari didera kemiskinan hebat, menyambut keputusan ini dengan penuh sukacita. Mereka berkumpul di kedai-kedai kopi dan menyiapkan pesta besar di pusat kota Pyongyang. Namun, ironisnya, Korut justru dibantai Portugal tujuh gol tanpa balas dan lantas dihajar Pantai Gading dengan tiga gol.
Akibat dua kekalahan telak ini, pasukan Jong Hun harus menghadapi ”pengadilan rakyat” sepulang mereka ke Pyongyang dari Afsel. Seluruh anggota tim—kecuali dua pemain yang main di Liga Jepang, Jong Tae Se dan An Yong Hak, langsung terbang ke Tokyo—harus tampil di panggung pengadilan di Istana Kebudayaan Rakyat. Dengan hakim tunggal Menteri Olahraga Park Myong Chol dan diikuti 400 pejabat pemerintah, timnas Korut dihujat habis-habisan. Selain dituduh mempermalukan negara, mereka juga didakwa mengkhianati sang Pemimpin Utama Kim Jong Un.
Kim Jong Un adalah putra Kim Jong Il, atau cucu dari Pemimpin Besar Kim Il Sung. Kala itu, Jong Il mulai sakit-sakitan dan sudah menyerahkan beberapa pilar kekuasaannya kepada Jong Un. Kala itu, Pemimpin Utama Jong Un belum genap 30 tahun, tetapi memiliki kekuasaan yang sangat besar terhadap militer dan tentu saja sepak bola.
Gairah Kim Jong Un terhadap sepak bola sebenarnya tak sebesar sang ayah, Kim Jong Il, yang bahkan dikabarkan ikut mengatur susunan pemain saat Korut tampil di Afsel. Jong Un lebih punya passion di bidang militer dan seakan tak pernah absen di garis depan ketika militer Korut menguji coba peluru kendali mereka belakangan ini.
Dengan gaya seradak-seruduk khas anak muda, Kim Jong Un mengumbar ancaman terhadap Korsel dan AS setelah PBB menjatuhkan sanksi. Beruntung dia tak begitu peduli pada sepak bola sebab kalau tidak Hong Yong Jo dan kawan-kawan sudah dipenjara karena ”pengkhianatan” mereka terhadap sang Pemimpin Utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar