Proses pemilihan tingkat
internasional yang lebih pelik dibandingkan dengan pemilihan di Vatikan baru-
baru ini akan segera dilangsungkan.
Pada beberapa pekan mendatang
159 duta besar Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) akan berkumpul di
Geneva memilih direktur jenderal WTO periode 2013-2017. Beberapa pihak
barangkali melihat hal ini sebagai contoh kurang relevan dari diplomasi
internasional yang misterius dan sebuah perjuangan untuk tugas yang mudah
di kota yang menawan.
Kenyataannya sangat bertolak
belakang. Saat ini sistem perdagangan global dalam kekacauan.
Kecenderungan sistem perdagangan terbuka dan bebas pascaperang (asas
timbal balik most-favoured-nation,
MFN, telah diperluas ke semua negara yang menandatanganinya) baru kali
ini mulai diperdebatkan. Perjanjian perdagangan internasional yang
terbaru, Putaran Uruguay, ditandatangani pada April 1994. Penerusnya,
Putaran Doha, disepakati pada November 2001, tetapi hingga sekarang masih
menunggu dilahirkan.
Dalam situasi vakum ini telah
bermunculan berbagai macam ”rayap”, seperti yang dikemukakan profesor
dari Columbia University, Jagdish Bhagwati. Negara-negara telah
kehilangan kepercayaan dalam aturan bermain antarnegara sehingga beralih
ke paham proteksionisme atau yang lebih buruk lagi: kemungkinan terjadinya
strategi beggar-thy-neighbor
jika resesi ekonomi global terus berlanjut.
Mengembalikan Energi
Setidaknya kelompok yang terus
berkembang yang disebut kesepakatan kawasan perdagangan bebas (FTA)—yang
sering kali tak bebas—telah merusak momentum awal keterbukaan unilateral
yang menentukan, terutama karena ada sedikit kemungkinan kawasan perdagangan
bebas ini jatuh ke dalam putaran plurilateral keterbukaan global.
Jadi, direktur WTO selanjutnya
memiliki tugas yang benar-benar menantang: mengembalikan energi dari
proses yang sedang sekarat dan mengembalikan kepercayaan masyarakat
internasional dalam sistem multilateral. Dia harus seorang intelektual
kaliber yang memahami analisis ekonomi internasional; kompleksitas
negosiasi kebijakan perdagangan; memiliki jiwa pemimpin, semangat
reformis, dan keterampilan diplomatik yang kuat. Terlebih lagi, konsistensi
yang kuat dan luas dari para calon pendukung juga dapat sangat
menguntungkan.
Saat ini skeptisisme terbesar
tentang manfaat sistem perdagangan terbuka masih berada di negara
berkembang sehingga suara reformis negara-negara itu hampir pasti akan
lebih persuasif. Terlebih lagi karena 13 negara (China, Korea, Jepang,
dan 10 negara Asia Tenggara) akan segera tergabung dalam agenda
keterbukaan perdagangan yang radikal, yaitu Masyarakat Ekonomi ASEAN,
yang juga terdiri atas negara-negara yang paling dinamis dan berorientasi
global di dunia. Seorang reformis dari kelompok ini akan dapat
menggunakan hal itu sebagai batu loncatan untuk perjanjian internasional
yang lebih luas.
Di antara beberapa kandidat
direktur WTO, Mari Pangestu merupakan kandidat yang unggul di antara
kandidat yang lain. Mari Pangestu memiliki nilai tertinggi pada keempat
kriteria utama yang kami anggap paling penting. Pertama, ia seorang
ekonom akademik terkemuka, doktor bidang ekonomi internasional dari University of California dengan
serangkaian publikasi penting.
Kedua, ia berpengalaman tingkat
tinggi di pemerintahan sebagai Menteri Perdagangan Indonesia dalam kurun
2004-2011 (setelah itu menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif).
Periode ini penuh tantangan bagi kebijakan perdagangan di Indonesia
dengan demokrasi yang baru lahir dan sentimen ”nasionalisme” yang sangat
kuat di tengah krisis ekonomi dan politik yang mendalam pada 1997-1998.
Namun, Mari Pangestu berhasil melaksanakan
tugasnya dengan baik. Sekarang harus kita perhatikan apa yang terjadi
pada kebijakan perdagangan Indonesia, terutama untuk sektor pertanian,
setelah dia pindah.
Ketiga, Mari Pangestu adalah
komunikator hebat yang memahami proses kebijakan lokal dan internasional,
baik dari dalam maupun luar pemerintah. Selain aktif di pemerintahan dan
dunia akademik, ia pernah memimpin salah satu think tank terbaik di Indonesia, bahkan Asia Tenggara, Centre for Strategic and International
Studies (CSIS), yang telah bekerja untuk Indonesia dan negara lain
sebagai jembatan ke dunia internasional dengan sangat baik.
Keempat, suara Indonesia akan
membawa pengaruh yang nyata. Indonesia merupakan negara yang dominan
sekalipun rendah diri selaku pemimpin 10 negara ASEAN. Indonesia
merupakan negara yang kuat dan bisa membawa dukungan dari negara-negara
besar dan berpengaruh serta menjangkau skeptisisme di negara berkembang
lainnya, termasuk anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), di mana
Indonesia anggota berpenduduk Muslim terbanyak.
Memenuhi Tiga Syarat
Tugas utama duta besar WTO ialah
memilih orang paling mampu sebagai pemimpinnya. Selain itu, sudah
waktunya bagi WTO memiliki seorang wanita sebagai pemimpin. Ini pula
waktu yang tepat untuk perwakilan negara berkembang terkemuka menjadi
pemimpin sebuah organisasi internasional. Mari Pangestu memenuhi ketiga
syarat itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar