Teka-teki mengenai siapa pelaku
penyerbuan ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Cebongan di Sleman,
Yogyakarta, terjawab sudah.
Ketua Tim Investigasi TNI
Angkatan Darat Brigadir Jenderal Unggul K Yudhoyono, Kamis, 4 April 2013,
dalam konferensi pers bersama Kepala Dinas Penerangan TNI AD Brigjen
Rukman Ahmad dan Asisten Intelijen Komandan Jenderal Komando Pasukan
Khusus TNI AD Letkol Infanteri Richard Tampubolon, mengungkapkan
pengakuan 11 tersangka anggota Kopassus yang menyerbu ke LP Cebongan dan
membunuh empat tahanan titipan Polri yang didakwa membunuh mantan anggota
Kopassus, Sersan Kepala Heru Santoso.
Terkait kasus Cebongan, Panglima
Kodam IV/Diponegoro Mayjen Hardiono Saroso meminta mundur kepada KSAD
Jenderal Pramono Edhie Wibowo dan langsung digantikan oleh Mayjen
Sunindyo, alumnus Akademi Militer 1983 yang kebetulan pernah menjadi
Komandan Grup 2 Kopassus Kandang Menjangan, Kartasura. Hardiono Saroso
mundur lebih disebabkan pernyataannya yang menggebu-gebu menepis
keterlibatan TNI, khususnya Kopassus, dalam penyerbuan ke LP Cebongan,
bukan karena kegagalannya mencegah serbuan Kopassus tersebut.
Penyerbuan dan pembunuhan di LP
Cebongan adalah balas dendam atas kematian Serka Heru Santoso yang
dikeroyok dan dibunuh secara sadis oleh kelompok preman di Hugo’s Café,
Yogyakarta, 19 Maret 2013. Empat hari kemudian, dini hari 23 Maret 2013,
beberapa prajurit Grup 2 Kopassus, bermarkas di Kandang Menjangan,
Kartasura, konon sedang ikut latihan militer Kopassus di Bukit
Tlogodringo, menyerbu dan membunuh empat tahanan di LP Cebongan. Kepala
Polda DI Yogyakarta Brigjen (Pol) Sabar Rahardjo digantikan oleh Brigjen
(Pol) Haka Astana pada Senin, 8 April 2013. Dia dianggap bertanggung
jawab atas pemindahan keempat tahanan itu ke LP Cebongan.
Keadilan Jalanan
Serbuan itu adalah ungkapan Spirit of the Corps (Jiwa Korps)
antarsesama anggota Kopassus. Meski Serka Heru Santoso bukan lagi anggota
Kopassus, melainkan intel di jajaran Kodam IV/Diponegoro, ia tetap bagian
tak terpisahkan dari Grup 2 Kopassus Kandang Menjangan. Dalam diri
anggota Kopassus berlaku adagium ”Lebih
baik mati berkalang tanah ketimbang gagal dalam tugas”.
Jiwa korps di antara mereka juga
begitu kuat sehingga dalam situasi apa pun mereka harus menyelamatkan
teman-temannya yang terluka dalam pertempuran.
Kopassus adalah pasukan elite
TNI AD yang harus mampu melakukan tugas kemiliteran apa pun, terbuka atau
rahasia. Seorang anggota Kopassus, seperti yang penulis lihat di Arso,
daerah perbatasan Indonesia dengan Papua Niugini, pada 1987 saat penulis
melakukan penelitian untuk tesis doktor di Griffith University,
Australia, harus mampu mengamankan daerah perbatasan seorang diri untuk
radius 2 kilometer. Mereka hidup di hutan dengan makanan yang amat minim:
beras dan mi instan.
Kopassus, seperti juga pasukan
elite di negara mana pun, memiliki keterampilan tempur dan bela diri yang
amat baik. Karena itu, ketika Serka Heru Santoso dikeroyok dan dibunuh
secara sadis oleh beberapa preman di Hugo’s Café, itu menimbulkan
perasaan jiwa korsa di antara teman dan anak buahnya dan juga perasaan
terhina karena ada preman yang berani membunuh anggota Kopassus. Ini
tidak hanya persoalan Le Esprit de
Corps (jiwa korsa), tetapi juga kebanggaan dan harga diri Korps Baret
Merah Kopassus.
Faktor lain yang menyebabkan
serbuan tersebut ialah masih lemahnya penegakan hukum di negeri ini.
Jangan heran timbul ketidakpercayaan dari kelompok Kopassus terhadap
sistem hukum yang adil. Mereka pun memilih melakukan keadilan gelap (dark justice) atau keadilan
jalanan (street justice) untuk
menyelesaikan kasus terbunuhnya Serka Heru Santoso.
Apa yang terjadi di Cebongan
bukan sekadar tindakan salah oleh para prajurit TNI AD berpangkat rendah.
Mereka bukanlah kecebong (katak kecil) yang tidak memiliki komandan.
Hasil investigasi tim TNI AD yang menyatakan bahwa anggota Kopassus yang
menyerbu adalah prajurit berpangkat bintara dan tamtama menunjukkan bahwa
ada upaya agar mereka yang dihukum adalah para prajurit dan atasan mereka
dua tingkat ke atas, perwira pertama dan perwira menengah.
Kita harus angkat topi kepada
Komandan Jenderal Kopassus Mayjen TNI Agus Sutomo yang mengatakan, ”Para prajurit itu punya komandan, sayalah
komandannya. Karena itu, saya siap menerima sanksi apa pun.”
Struktur Komando
Kita tahu bahwa pengerahan
pasukan TNI hanya dapat dilakukan oleh Presiden, penggunaan pasukan oleh
Panglima TNI, dan pembinaan pasukan berada di kepala staf angkatan. Kopassus
dalam TNI AD masuk Komando Utama Operasi dan Pembinaan.
Gerakan pasukan yang tidak
diketahui atasan, seperti komandan regu atau komandan latihan, dianggap
melanggar hukum karena dapat dianggap gerakan pasukan siluman. Karena
itu, hukuman yang diberikan bukan hanya kepada prajurit yang menyerbu ke
LP Cebongan, melainkan juga kepada atasannya. Bukan hanya dua tingkat ke
atas seperti yang berlaku pada masa lalu.
Dua tingkat ke atas dalam
jajaran TNI adalah atasan hukum (ankum) para prajurit tersebut. Jika
seorang prajurit melakukan kesalahan kecil, dia dihukum oleh ankumnya.
Jika kesalahannya sedang, ankum dua tingkat ke atas juga harus dihukum.
Akan tetapi, apabila pelanggaran yang dilakukan amat berat, seperti yang
terjadi di LP Cebongan, tentunya tidak dapat diselesaikan oleh ankumnya,
tetapi harus melalui peradilan militer.
Selama ini, ada wacana yang
belum terpecahkan mengenai apakah seorang prajurit TNI yang melakukan
tindakan melawan hukum dan korbannya adalah penduduk sipil harus diadili
di pengadilan militer atau pengadilan umum. Upaya untuk mengamandemen
Kamus Undang-undang Hukum Pidana Militer dan hukum acaranya masih terus
terhambat. Kalangan TNI sepertinya belum siap untuk perubahan tersebut.
Sepatutnya pemerintah dan DPR yang memutuskan amandemen dan bukan
menunggu kesiapan TNI.
Kita berharap pengadilan militer
atas 11 anggota Kopassus yang melakukan penyerbuan ke LP Cebongan itu
akan benar-benar terbuka, transparan, dan sesuai dengan rasa keadilan
masyarakat. TNI juga tidak perlu menutup-nutupi apa yang sebenarnya
terjadi karena apa yang dilakukan oleh para terduga pelaku tersebut
bukanlah operasi rahasia ataupun terkait dengan politik seperti
kasus-kasus di Timor Timur dan Papua dulu.
Sesuatu yang amat sulit adalah
bagaimana menyeimbangkan antara penjagaan atas moral prajurit, khususnya
Kopassus, dan pengadilan yang seadil-adilnya. Pengadilan militer ini juga
jangan direkayasa hanya terbatas pada bahwa
TNI AD sudah membuka diri kepada masyarakat dan adil dalam mengadili para
prajurit yang bersalah karena akan membuat esensi keadilan yang
ada menjadi semu.
Ingat, politik pencitraan bukan
lagi hal yang dapat diterima masyarakat. ●
|
thanks buat artikelnya sob :)
BalasHapus