Rabu, 17 April 2013

Bukan Perbuatan Kecebong


Bukan Perbuatan Kecebong
Ikrar Nusa Bhakti   Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik 
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
KOMPAS, 17 April 2013

  
Teka-teki mengenai siapa pelaku penyerbuan ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Cebongan di Sleman, Yogyakarta, terjawab sudah.
Ketua Tim Investigasi TNI Angkatan Darat Brigadir Jenderal Unggul K Yudhoyono, Kamis, 4 April 2013, dalam konferensi pers bersama Kepala Dinas Penerangan TNI AD Brigjen Rukman Ahmad dan Asisten Intelijen Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus TNI AD Letkol Infanteri Richard Tampubolon, mengungkapkan pengakuan 11 tersangka anggota Kopassus yang menyerbu ke LP Cebongan dan membunuh empat tahanan titipan Polri yang didakwa membunuh mantan anggota Kopassus, Sersan Kepala Heru Santoso.
Terkait kasus Cebongan, Panglima Kodam IV/Diponegoro Mayjen Hardiono Saroso meminta mundur kepada KSAD Jenderal Pramono Edhie Wibowo dan langsung digantikan oleh Mayjen Sunindyo, alumnus Akademi Militer 1983 yang kebetulan pernah menjadi Komandan Grup 2 Kopassus Kandang Menjangan, Kartasura. Hardiono Saroso mundur lebih disebabkan pernyataannya yang menggebu-gebu menepis keterlibatan TNI, khususnya Kopassus, dalam penyerbuan ke LP Cebongan, bukan karena kegagalannya mencegah serbuan Kopassus tersebut.
Penyerbuan dan pembunuhan di LP Cebongan adalah balas dendam atas kematian Serka Heru Santoso yang dikeroyok dan dibunuh secara sadis oleh kelompok preman di Hugo’s Café, Yogyakarta, 19 Maret 2013. Empat hari kemudian, dini hari 23 Maret 2013, beberapa prajurit Grup 2 Kopassus, bermarkas di Kandang Menjangan, Kartasura, konon sedang ikut latihan militer Kopassus di Bukit Tlogodringo, menyerbu dan membunuh empat tahanan di LP Cebongan. Kepala Polda DI Yogyakarta Brigjen (Pol) Sabar Rahardjo digantikan oleh Brigjen (Pol) Haka Astana pada Senin, 8 April 2013. Dia dianggap bertanggung jawab atas pemindahan keempat tahanan itu ke LP Cebongan.
Keadilan Jalanan
Serbuan itu adalah ungkapan Spirit of the Corps (Jiwa Korps) antarsesama anggota Kopassus. Meski Serka Heru Santoso bukan lagi anggota Kopassus, melainkan intel di jajaran Kodam IV/Diponegoro, ia tetap bagian tak terpisahkan dari Grup 2 Kopassus Kandang Menjangan. Dalam diri anggota Kopassus berlaku adagium ”Lebih baik mati berkalang tanah ketimbang gagal dalam tugas”.
Jiwa korps di antara mereka juga begitu kuat sehingga dalam situasi apa pun mereka harus menyelamatkan teman-temannya yang terluka dalam pertempuran.
Kopassus adalah pasukan elite TNI AD yang harus mampu melakukan tugas kemiliteran apa pun, terbuka atau rahasia. Seorang anggota Kopassus, seperti yang penulis lihat di Arso, daerah perbatasan Indonesia dengan Papua Niugini, pada 1987 saat penulis melakukan penelitian untuk tesis doktor di Griffith University, Australia, harus mampu mengamankan daerah perbatasan seorang diri untuk radius 2 kilometer. Mereka hidup di hutan dengan makanan yang amat minim: beras dan mi instan.
Kopassus, seperti juga pasukan elite di negara mana pun, memiliki keterampilan tempur dan bela diri yang amat baik. Karena itu, ketika Serka Heru Santoso dikeroyok dan dibunuh secara sadis oleh beberapa preman di Hugo’s Café, itu menimbulkan perasaan jiwa korsa di antara teman dan anak buahnya dan juga perasaan terhina karena ada preman yang berani membunuh anggota Kopassus. Ini tidak hanya persoalan Le Esprit de Corps (jiwa korsa), tetapi juga kebanggaan dan harga diri Korps Baret Merah Kopassus.
Faktor lain yang menyebabkan serbuan tersebut ialah masih lemahnya penegakan hukum di negeri ini. Jangan heran timbul ketidakpercayaan dari kelompok Kopassus terhadap sistem hukum yang adil. Mereka pun memilih melakukan keadilan gelap (dark justice) atau keadilan jalanan (street justice) untuk menyelesaikan kasus terbunuhnya Serka Heru Santoso.
Apa yang terjadi di Cebongan bukan sekadar tindakan salah oleh para prajurit TNI AD berpangkat rendah. Mereka bukanlah kecebong (katak kecil) yang tidak memiliki komandan. Hasil investigasi tim TNI AD yang menyatakan bahwa anggota Kopassus yang menyerbu adalah prajurit berpangkat bintara dan tamtama menunjukkan bahwa ada upaya agar mereka yang dihukum adalah para prajurit dan atasan mereka dua tingkat ke atas, perwira pertama dan perwira menengah.
Kita harus angkat topi kepada Komandan Jenderal Kopassus Mayjen TNI Agus Sutomo yang mengatakan, ”Para prajurit itu punya komandan, sayalah komandannya. Karena itu, saya siap menerima sanksi apa pun.”
Struktur Komando
Kita tahu bahwa pengerahan pasukan TNI hanya dapat dilakukan oleh Presiden, penggunaan pasukan oleh Panglima TNI, dan pembinaan pasukan berada di kepala staf angkatan. Kopassus dalam TNI AD masuk Komando Utama Operasi dan Pembinaan.
Gerakan pasukan yang tidak diketahui atasan, seperti komandan regu atau komandan latihan, dianggap melanggar hukum karena dapat dianggap gerakan pasukan siluman. Karena itu, hukuman yang diberikan bukan hanya kepada prajurit yang menyerbu ke LP Cebongan, melainkan juga kepada atasannya. Bukan hanya dua tingkat ke atas seperti yang berlaku pada masa lalu.
Dua tingkat ke atas dalam jajaran TNI adalah atasan hukum (ankum) para prajurit tersebut. Jika seorang prajurit melakukan kesalahan kecil, dia dihukum oleh ankumnya. Jika kesalahannya sedang, ankum dua tingkat ke atas juga harus dihukum. Akan tetapi, apabila pelanggaran yang dilakukan amat berat, seperti yang terjadi di LP Cebongan, tentunya tidak dapat diselesaikan oleh ankumnya, tetapi harus melalui peradilan militer.
Selama ini, ada wacana yang belum terpecahkan mengenai apakah seorang prajurit TNI yang melakukan tindakan melawan hukum dan korbannya adalah penduduk sipil harus diadili di pengadilan militer atau pengadilan umum. Upaya untuk mengamandemen Kamus Undang-undang Hukum Pidana Militer dan hukum acaranya masih terus terhambat. Kalangan TNI sepertinya belum siap untuk perubahan tersebut. Sepatutnya pemerintah dan DPR yang memutuskan amandemen dan bukan menunggu kesiapan TNI.
Kita berharap pengadilan militer atas 11 anggota Kopassus yang melakukan penyerbuan ke LP Cebongan itu akan benar-benar terbuka, transparan, dan sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. TNI juga tidak perlu menutup-nutupi apa yang sebenarnya terjadi karena apa yang dilakukan oleh para terduga pelaku tersebut bukanlah operasi rahasia ataupun terkait dengan politik seperti kasus-kasus di Timor Timur dan Papua dulu.
Sesuatu yang amat sulit adalah bagaimana menyeimbangkan antara penjagaan atas moral prajurit, khususnya Kopassus, dan pengadilan yang seadil-adilnya. Pengadilan militer ini juga jangan direkayasa hanya terbatas pada bahwa TNI AD sudah membuka diri kepada masyarakat dan adil dalam mengadili para prajurit yang bersalah karena akan membuat esensi keadilan yang ada menjadi semu.
Ingat, politik pencitraan bukan lagi hal yang dapat diterima masyarakat.

1 komentar: