Pengerahan sendiri kekuatan TNI untuk melakukan pembunuhan di
Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman, DI Yogyakarta (23 Maret 2013),
mengungkap tiga masalah.
Pertama, pengadilan yang berwenang mengadili tindak pidana di LP
Cebongan. Kasus pengerahan sendiri kekuatan TNI ini juga terkait dua masalah
lain: desain penggelaran pasukan dan postur kekuatan pertahanan nasional.
Menentukan Pengadilan
Pembunuhan itu jahat (mala in
se). Menghilangkan nyawa orang berarti melanggar hak hidup yang
dijamin UUD 1945. Menteri Pertahanan menilai (11/4/2013), tidak terjadi
pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Cebongan. Komnas HAM (12/4/2013)
menyatakan sebaliknya dengan merujuk UU HAM 1999. Rujukan ini tidak
memberikan ukuran tentang genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (UU
Pengadilan HAM 2000), yaitu dua kategori pelanggaran berat HAM yang hanya
diselidiki Komnas HAM.
Genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan mencakup pembunuhan.
Namun, pembunuhan dalam genosida dilakukan untuk menghancurkan atau
memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis,
kelompok agama. Pembunuhan dalam kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan
sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik, yang ditujukan
secara langsung terhadap penduduk sipil.
Menunggu hasil akhir penyelidikan Komnas HAM berdasarkan ukuran di
atas, perdebatan tentang pengadilan kasus Cebongan mengerucut pada
pengadilan umum atau pengadilan militer. Ketetapan MPR Nomor VII/2000 dan
UU TNI 2004 menentukan, tindak pidana umum yang dilakukan prajurit TNI
diadili berdasarkan hukum pidana umum. Namun, UU-nya belum selesai
direvisi. Sesuai status pelaku tindak pidana, pembunuhan yang dilakukan
prajurit TNI masih tunduk pada UU Peradilan Militer 1997 dan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) sebagai lex specialis.
Revisi UU Peradilan Militer terhenti pada 2009. Di antara faktor
kegagalannya adalah kesulitan menentukan makna spesifik tindak pidana
militer (TPM, military offences)
yang bukan termasuk tindak pidana umum (TPU, civil offences). Kesulitan terletak pada bekerjanya empat
faktor agregat: status, locus
(tempat), tempus (waktu), dan modus TPM. Karena TPM (dalam
KUHPM) belum dipilah dari TPU, maka konflik hukum material dalam proses
peradilan diputuskan Mahkamah Agung, yaitu apabila militer-terdakwa
menginginkan kepastian hukum. Namun, KUHPM warisan Belanda harus
direvisi, termasuk mengakomodasi hukum humaniter (”hukum perang”) dan
HAM, sedangkan TPU mengikuti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang
sedang direvisi. Sebagian KUHPM dan UU Peradilan Militer sudah direvisi
dengan UU Pengadilan HAM.
Penugasan sendiri prajurit TNI untuk menyerbu LP Cebongan tak perlu
terjadi kalau Sersan Kepala Heru Santoso tidak dibunuh di Hugo’s Café,
yang pelakunya ditahan di LP dan kemudian diserbu itu. Dapat disoal,
sudah sesuaikah penugasan intelijen militer di tempat hiburan dengan
Pasal 7 UU TNI? Soalnya semakin berbeda kalau penugasan prajurit TNI pada
umumnya dilaksanakan dalam konteks reformasi gelar pasukan TNI.
Penggelaran Pasukan
Penggelaran pasukan adalah fungsi dari postur pertahanan. UU
Pertahanan 2002 menginginkan postur
pertahanan dan gelar pasukan dalam
format negara kepulauan, yaitu untuk mewujudkan dan mempertahankan ”seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagai satu kesatuan pertahanan” (Pasal 5).
Postur ini harus tampak pada reorganisasi kekuatan, kemampuan dan gelar
pasukan dalam Negara Kepulauan Republik Indonesia.
Reorganisasi gelar pasukan membutuhkan restrukturisasi yang sesuai
dengan kondisi NKRI. Menurut Pasal 11 UU TNI, orientasi penggelaran
pasukan adalah pada daerah-daerah perbatasan dengan negara tetangga,
pulau terdepan, rawan konflik, atau rawan keamanan. Pelaksanaan gelar
pasukan harus menghindari ”bentuk-bentuk
organisasi yang dapat menjadi peluang bagi kepentingan politik praktis”
dan penggelaran itu ”tidak selalu
mengikuti struktur administrasi pemerintah”.
Suatu model bagi
penggelaran pasukan adalah mengembangkan sistem pertahanan
berlapis-konsentrik, misalnya dalam tiga zona: penyangga, utama, dan
”zona perlawanan gerilya”.
Karena postur pertahanan dan gelar pasukan untuk pelaksanaan tugas
utama TNI, yaitu operasi militer (Pasal 7 UU Pertahanan), seharusnya
pelaksanaan tugas bukan utama melalui operasi militer selain perang
(OMSP) hanya mengikuti tugas utama. Pasal 7 UU TNI meminta Presiden dan
DPR menetapkan kebijakan untuk OMSP. Meski memegang kekuasaan tertinggi
atas angkatan bersenjata, Presiden Yudhoyono belum menuntaskannya dalam
dua masa kepresidenan.
Dalam perspektif keamanan komprehensif, faktor lain yang perlu
dipertimbangkan bagi pengembangan postur pertahanan dan reorganisasi
gelar pasukan TNI adalah kebijakan keamanan dan ketertiban masyarakat.
Presiden semestinya merumuskan kebijakan kamtibmas dengan dukungan Komisi
Kepolisian Nasional. Ketaksinkronan kebijakan kamtibmas maupun OMSP telah
melestarikan arena pergesekan: dari jalan raya ke markas polisi di
Palembang atau dari tempat hiburan menjalar ke LP di Yogyakarta.
Tampaknya postur pertahanan maupun penggelaran pasukan yang
diinginkan UU Pertahanan dan UU TNI merupakan faktor struktural yang
telah mengendala perumusan kebijakan OMSP. Para pejabat politik nasional
dari kalangan sipil dan purnawirawan TNI belum menyelesaikannya,
sedangkan politisi muda di parlemen tak berkontribusi. Tiga agenda reformasi TNI terbengkalai
lebih satu dasawarsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar