Sabtu, 20 April 2013

Anatomi Pilgub Jateng (part 1 of 2)


Anatomi Pilgub Jateng (part 1 of 2)
A Zaini Bisri  ;  Mantan Ketua Mapilu-PWI Jateng, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Sosial (Konsentrasi Ilmu Politik) FISIP Universitas Diponegoro
SUARA MERDEKA, 19 April 2013

  
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Tengah pada 11 April lalu menetapkan tiga pasangan cagub-cawagub menjadi peserta Pilgub Jateng 2013. Sesuai nomor urut yang diundi pada 16 April, mereka adalah Hadi Prabowo-Don Murdono, Bibit Waluyo-Sudijono Sastroatmodjo, dan Ganjar Pranowo-Heru Sudjatmoko. Penetapan itu menandai kontestasi pilgub, yang pemungutan suaranya berlangsung pada 26 Mei mendatang.

Proses awal kontestasi tidak berlangsung mulus. PDIP sebagai partai pemenang Pemilu 2009 di Jateng memanfaatkan posisi untuk menggantung pencalonan para rival. Pilihan kepada Ganjar sebagai cagub oleh DPP ditetapkan mepet menjelang penutupan pendaftaran, sehingga memaksa Hadi Prabowo yang gagal mendapatkan rekomendasi PDIP, mencari kendaraan politik lain.

Tanpa Joko Widodo dan Rustriningsih, konfigurasi tiga pasangan itu membuat kompetisi Pilgub Jateng diprediksi berlangsung ketat. Kekuatan dukungan suara untuk tiga pasangan tersebut relatif berimbang, masing-masing dengan keunggulan dan kelemahan figur serta soliditas koalisi dan kinerja mesin partai.

Hasil survei sementara menunjukkan indikasi tersebut. Menurut rilis Media Survei Nasional (Median) pada 7 April lalu, relatif tidak ada perbedaan mencolok untuk popularitas tiga pasangan itu. Tingkat popularitas Bibit sedikit di atas dua cagub pesaing dengan 80,8 persen. Popularitas Hadi Prabowo (HP) 65 persen dan Ganjar 63 persen. Popularitas Bibit ternyata tidak berbanding lurus dengan kinerja selaku incumbent. Survei Median menunjukkan hanya 40 persen responden yang menyatakan puas dengan kinerja Bibit, sedangkan 37 persen menyatakan tidak puas.

Soliditas Koalisi

Pasangan Hadi Prabowo-Don Murdono (HP-Don) dihadapkan pada tantangan popularitas. Pengalaman sebagai sekda Jateng menempatkan HP sebagai birokrat yang hanya dikenal di lingkungan PNS. Namun pasangan tersebut didukung koalisi yang relatif solid. PKS dan Gerindra tampak paling rajin. PKS lebih militan dengan tekad Presiden PKS Anis Matta untuk mengubah basis merah dalam peta politik Jateng.

Manuver Anis Matta melalui rangkaian kegiatan ziarah dan tahlil politik serta pendekatan ke komunitas Tionghoa, bisa ditafsirkan sebagai keseriusan menjadikan pilgub sebagai kaca-benggala target PKS masuk tiga besar nasional pada Pemilu 2014.

Strategi PKS itu mendapatkan amunisinya melalui sukses di Pilgub Jawa Barat dan Pilgub Sumatera Utara, dengan Ahmad Heryawan dan Gatot Puji Nugroho terpilih sebagai gubernur. Dalam survei Median, suara PKS di Jateng juga dipersepsi signifikan pada urutan ketiga setelah PDIP dan Golkar dengan 10,4 persen.

Elektabilitas HP-Don bisa meningkat  jika mesin politik partai koalisi lain mampu bekerja efektif. PKB dan PPP misalnya, bisa mendayagunakan basis massa NU untuk menaikkan elektabilitas jagonya. Hanya, basis dukungan NU tampaknya tidak akan utuh.  NU kultural (pesantren) lebih condong ke HP-Don, sedangkan NU struktural ke Ganjar-Heru.

HP-Don harus berkejaran dengan waktu. Mereka harus membuktikan kekeliruan anggapan bahwa sosialisasi kandidat kurang dari setahun relatif sulit untuk mendongkrak elektabilitas.

Figur Bibit

Bibit-Sudijono (Bissa) yang diusung Partai Demokrat, Golkar, dan PAN, unggul pada figur Bibit sebagai gubernur incumbent dan tentara. Posisi mantan Pangkostrad itu menguntungkan dirinya bisa lebih dekat dengan publik dan akses dukungan di kalangan keluarga TNI.

Potensi kelemahan pasangan itu terletak pada usia keduanya, kinerja Bibit sebagai gubernur, dan soliditas koalisi. Bissa merupakan pasangan tertua dengan usia masing-masing 64 dan 61 tahun. Bandingkan dengan HP-Don (53-55) dan Ganjar-Heru (45-62). Faktor usia bisa menjadi titik bidik bagi rival dalam masa kampanye nanti.

Agak ganjil ketika akhirnya Bibit memilih Sudijono sebagai pasangan. Selama ini, Bibit dikenal kurang familiar dengan kalangan intelektual. Pilihan pada rektor Universitas Negeri Semarang itu karena teman dekat, yang kemudian disetujui oleh Susilo Bambang Yudhoyono sebagai ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat dan Hatta Radjasa selaku ketua umum DPP PAN.

Bibit dan Sudijono akan menjadi pasangan yang saling melengkapi atau sebaliknya. Perbedaan latar belakang dan tingkat pendidikan bisa memengaruhi kongsi keduanya dan mengulang ketidakharmonisan Bibit dengan Rustriningsih. Apalagi, koalisi Demokrat, Golkar, dan PAN tidak terlalu solid. Mesin politik Demokrat dan PAN mungkin tidak bekerja maksimal karena keduanya tidak mendapat insentif figur.

Beban Ganjar

Ganjar juga menghadapi tantangan terkait popularitas dan beban kekalahan jago PDIP dalam Pilgub Jabar dan Pilgub Sumut. Ganjar dipilih oleh Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri karena pertimbangan yang sama dengan Rieke Dyah Pitaloka dan Effendi Simbolon, yaitu kader yang sudah mampu berkiprah di tingkat nasional sebagai anggota DPR.

Beban Ganjar makin bertambah jika cagub PDIP juga gagal dalam Pilgub Bali pada 13 Mei mendatang. Di Bali sebagai basis utama PDIP, Wagub AA Puspayoga diusung PDIP menghadapi Gubernur Bali Made Mangku Pastika yang dicalonkan koalisi delapan partai, antara lain Golkar, Demokrat, Gerindra, dan Hanura.

Keputusan Rustriningsih - dengan efek psikologi politiknya - yang menolak mendukung Ganjar dan fragmentasi suara PDIP akan berpengaruh pada elektabilitas pasangan Ganjar-Heru (Gagah). Popularitas Jokowi sebagai juru kampanye nanti juga diperkirakan tidak banyak membantu (survei Median hanya mencatat 1,1 persen pendapat yang menganggap kampanye Jokowi berpengaruh).

Kekuatan Ganjar terletak pada usia muda, elektabilitas PDIP, dan militansi jaringan kader metal (merah total). Survei Median menempatkan PDIP di urutan pertama dengan 15,1 persen jika Pemilu Legislatif 2014 dilaksanakan saat ini. Basis kader PDIP yang cukup luas di 24 kabupaten/kota di Jateng (mengacu pada hasil Pemilu 2009) menjadi modal utama pasangan Gagah. Mengacu pada kemenangan Pilgub 2008, basis itu mencakup 29 kabupaten/kota. Setelah kekalahan Rieke dan Effendi Simbolon, tekad PDIP untuk memenangkan Ganjar bisa menjadi amunisi yang kuat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar