Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Tengah pada 11 April
lalu menetapkan tiga pasangan cagub-cawagub menjadi peserta Pilgub Jateng
2013. Sesuai nomor urut yang diundi pada 16 April, mereka adalah Hadi
Prabowo-Don Murdono, Bibit Waluyo-Sudijono Sastroatmodjo, dan Ganjar
Pranowo-Heru Sudjatmoko. Penetapan itu menandai kontestasi pilgub, yang
pemungutan suaranya berlangsung pada 26 Mei mendatang.
Proses awal
kontestasi tidak berlangsung mulus. PDIP sebagai partai pemenang Pemilu
2009 di Jateng memanfaatkan posisi untuk menggantung pencalonan para
rival. Pilihan kepada Ganjar sebagai cagub oleh DPP ditetapkan mepet menjelang
penutupan pendaftaran, sehingga memaksa Hadi Prabowo yang gagal
mendapatkan rekomendasi PDIP, mencari kendaraan politik lain.
Tanpa Joko
Widodo dan Rustriningsih, konfigurasi tiga pasangan itu membuat kompetisi
Pilgub Jateng diprediksi berlangsung ketat. Kekuatan dukungan suara untuk
tiga pasangan tersebut relatif berimbang, masing-masing dengan keunggulan
dan kelemahan figur serta soliditas koalisi dan kinerja mesin partai.
Hasil survei
sementara menunjukkan indikasi tersebut. Menurut rilis Media Survei
Nasional (Median) pada 7 April lalu, relatif tidak ada perbedaan mencolok
untuk popularitas tiga pasangan itu. Tingkat popularitas Bibit sedikit di
atas dua cagub pesaing dengan 80,8 persen. Popularitas Hadi Prabowo (HP)
65 persen dan Ganjar 63 persen. Popularitas Bibit ternyata tidak
berbanding lurus dengan kinerja selaku incumbent. Survei Median
menunjukkan hanya 40 persen responden yang menyatakan puas dengan kinerja
Bibit, sedangkan 37 persen menyatakan tidak puas.
Soliditas Koalisi
Pasangan Hadi
Prabowo-Don Murdono (HP-Don) dihadapkan pada tantangan popularitas.
Pengalaman sebagai sekda Jateng menempatkan HP sebagai birokrat yang
hanya dikenal di lingkungan PNS. Namun pasangan tersebut didukung koalisi
yang relatif solid. PKS dan Gerindra tampak paling rajin. PKS lebih
militan dengan tekad Presiden PKS Anis Matta untuk mengubah basis merah
dalam peta politik Jateng.
Manuver Anis
Matta melalui rangkaian kegiatan ziarah dan tahlil politik serta
pendekatan ke komunitas Tionghoa, bisa ditafsirkan sebagai keseriusan
menjadikan pilgub sebagai kaca-benggala target PKS masuk tiga besar
nasional pada Pemilu 2014.
Strategi PKS
itu mendapatkan amunisinya melalui sukses di Pilgub Jawa Barat dan Pilgub
Sumatera Utara, dengan Ahmad Heryawan dan Gatot Puji Nugroho terpilih
sebagai gubernur. Dalam survei Median, suara PKS di Jateng juga
dipersepsi signifikan pada urutan ketiga setelah PDIP dan Golkar dengan
10,4 persen.
Elektabilitas
HP-Don bisa meningkat jika mesin politik partai koalisi lain mampu
bekerja efektif. PKB dan PPP misalnya, bisa mendayagunakan basis massa NU
untuk menaikkan elektabilitas jagonya. Hanya, basis dukungan NU tampaknya
tidak akan utuh. NU kultural (pesantren) lebih condong ke HP-Don,
sedangkan NU struktural ke Ganjar-Heru.
HP-Don harus
berkejaran dengan waktu. Mereka harus membuktikan kekeliruan anggapan
bahwa sosialisasi kandidat kurang dari setahun relatif sulit untuk
mendongkrak elektabilitas.
Figur Bibit
Bibit-Sudijono
(Bissa) yang diusung Partai Demokrat, Golkar, dan PAN, unggul pada figur
Bibit sebagai gubernur incumbent dan tentara. Posisi mantan Pangkostrad
itu menguntungkan dirinya bisa lebih dekat dengan publik dan akses
dukungan di kalangan keluarga TNI.
Potensi
kelemahan pasangan itu terletak pada usia keduanya, kinerja Bibit sebagai
gubernur, dan soliditas koalisi. Bissa merupakan pasangan tertua dengan
usia masing-masing 64 dan 61 tahun. Bandingkan dengan HP-Don (53-55) dan
Ganjar-Heru (45-62). Faktor usia bisa menjadi titik bidik bagi rival
dalam masa kampanye nanti.
Agak ganjil
ketika akhirnya Bibit memilih Sudijono sebagai pasangan. Selama ini,
Bibit dikenal kurang familiar dengan kalangan intelektual. Pilihan pada
rektor Universitas Negeri Semarang itu karena teman dekat, yang kemudian
disetujui oleh Susilo Bambang Yudhoyono sebagai ketua Majelis Tinggi
Partai Demokrat dan Hatta Radjasa selaku ketua umum DPP PAN.
Bibit dan
Sudijono akan menjadi pasangan yang saling melengkapi atau sebaliknya.
Perbedaan latar belakang dan tingkat pendidikan bisa memengaruhi kongsi
keduanya dan mengulang ketidakharmonisan Bibit dengan Rustriningsih.
Apalagi, koalisi Demokrat, Golkar, dan PAN tidak terlalu solid. Mesin
politik Demokrat dan PAN mungkin tidak bekerja maksimal karena keduanya
tidak mendapat insentif figur.
Beban Ganjar
Ganjar juga
menghadapi tantangan terkait popularitas dan beban kekalahan jago PDIP
dalam Pilgub Jabar dan Pilgub Sumut. Ganjar dipilih oleh Ketua Umum DPP
PDIP Megawati Soekarnoputri karena pertimbangan yang sama dengan Rieke
Dyah Pitaloka dan Effendi Simbolon, yaitu kader yang sudah mampu
berkiprah di tingkat nasional sebagai anggota DPR.
Beban Ganjar
makin bertambah jika cagub PDIP juga gagal dalam Pilgub Bali pada 13 Mei
mendatang. Di Bali sebagai basis utama PDIP, Wagub AA Puspayoga diusung
PDIP menghadapi Gubernur Bali Made Mangku Pastika yang dicalonkan koalisi
delapan partai, antara lain Golkar, Demokrat, Gerindra, dan Hanura.
Keputusan
Rustriningsih - dengan efek psikologi politiknya - yang menolak mendukung
Ganjar dan fragmentasi suara PDIP akan berpengaruh pada elektabilitas
pasangan Ganjar-Heru (Gagah). Popularitas Jokowi sebagai juru kampanye
nanti juga diperkirakan tidak banyak membantu (survei Median hanya
mencatat 1,1 persen pendapat yang menganggap kampanye Jokowi berpengaruh).
Kekuatan Ganjar
terletak pada usia muda, elektabilitas PDIP, dan militansi jaringan kader
metal (merah total). Survei Median menempatkan PDIP di urutan pertama
dengan 15,1 persen jika Pemilu Legislatif 2014 dilaksanakan saat ini.
Basis kader PDIP yang cukup luas di 24 kabupaten/kota di Jateng (mengacu
pada hasil Pemilu 2009) menjadi modal utama pasangan Gagah. Mengacu pada
kemenangan Pilgub 2008, basis itu mencakup 29 kabupaten/kota. Setelah
kekalahan Rieke dan Effendi Simbolon, tekad PDIP untuk memenangkan Ganjar
bisa menjadi amunisi yang kuat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar