Kamis, 18 April 2013

Akal Mulia, Nafsu Satwa Melata


Akal Mulia, Nafsu Satwa Melata
Muin Kubais M Zeen   Peneliti di Pusat Studi Sosial dan Lingkungan (PUSTAKA) Celebes, Makassar
KORAN SINDO, 18 April 2013
  

Korupsi walaupun merupakan perbuatan melanggar hukum negara dan agama, tetapi diminati banyak pejabat. Berbagai cara mereka berlomba-lomba mengeruk harta haram untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan kroninya. 

Setelah maraknya kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara, jenderal, dan politisi kakap. Kali ini publik kembali dikejutkan tertangkapnya Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bandung Setyabudi Tejochyono di ruang kerjanya bersama seorang bernama Asep, oleh KPK (22/03). Setyabudi diduga menerima suap Rp 150 juta dari Asep. Di dalam mobil yang dikendarai Asep juga ditemukan uang tunai Rp100 juta yang dibungkus koran. 

Saling suapmenyuap ini diduga untuk “mengamankan” sidang kasus bantuan sosial dengan terdakwa sejumlah pejabat di Pemkot Bandung yang digelar sejak 2012. Selain Setyabudi dan Asep, KPK juga menangkap dua pegawai Pemkot Bandung, yakni Hery Nurhayat (Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendapatan Kota Bandung) dan Pupung (Bendahara Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah). 

Seorang satpam PN pun ditahan. Setyabudi menambah jumlah daftar hakim yang tertangkap “basah” oleh KPK karena menerima suap untuk “mengamankan” terdakwa dari jerat hukum. Sebelum dirinya adalah Ibrahim (Hakim PTUN DKI Jakarta) dengan barang bukti Rp 300 juta dari Adner Sirait, pengacara PT Sabar Jaya. Syarifuddin (Hakim Pengawas Kepailitan PN Jakarta Pusat) dengan barang bukti ratusan mata uang asing dan uang Rp 392 juta. 

Imas Dianasari (Hakim ad hoc Hubungan Industrial) beserta barang bukti uang Rp 200 juta, Kartini Marpaung (Hakim Pengadilan Tipikor Semarang), dan Heru Kusbandono (Hakim Pengadilan Tipikor, Pontianak) beserta barang bukti uang Rp 150 juta ketika melakukan transaksi suap di Pengadilan Tipikor (Kompas, 28/03). Dengan demikian, memimpikan Indonesia tercinta bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme masih “jauh panggang dari api,” apalagi penegak hukum masih ada yang menjadi bagian dari masalah. 

Mengapa orang-orang berpendidikan dan diamanahi jabatan di negeri ini begitu rakus dan gila akan harta sehingga rupa-rupa cara tercela rela ditempuh untuk memperolehnya? Bukankah mereka tahu bahwa kejahatan korupsi dan sejenisnya dapat memundurkan ekonomi, memiskinkan rakyat, memalukan sanak keluarga, memerosotkan harga diri, menimbulkan ketidakadilan, dan sederet dampak negatif lainnya. Hal ini disebabkan karena nafsu berkuasa atas akal. Bukan sebaliknya, akal berkuasa atas nafsu. 

Dampak lain dari nafsu menguasai akal ialah pengangkatan kembali mantan terpidana korupsi pada jabatan tertentu di pemerintahan dan partai politik (termasuk dicalonkan dalam pemilu legislatif), jual beli perkara, ijazah, dan jabatan, plagiat karya ilmiah/hak paten, melecehkan dan memerkosa perempuan dan anak-anak, memperdagangkan manusia, saling membunuh termasuk atas nama agama, menimbun barang dagangan, mark-up proyek, memonopoli ekonomi, mempunyai istri simpanan yang dibiayai hasil korupsi, menggusur pedagang kaki lima dan pemukiman kumuh, menghardik anak yatim, miskin dan terlantar, pencemaran lingkungan, dan sebagainya. 

Tampaknya ini yang dikhawatirkan para malaikat sehingga melayangkan protes kepada Tuhan tatkala menciptakan manusia. Alasan para pesuruh Allah itu bahwa sejarah umat/kaum sebelum manusia juga penuh dengan kerusakan karena dikuasai hawa nafsu. Tetapi Tuhan lebih mengetahui segala sesuatu. 

Untuk mengendalikan keliaran hawa nafsu, Tuhan menganugerahi juga manusia akal dan pikiran. Karena itu, kerusakan apapun bentuknya, disebabkan tangan-tangan atau perbuatan manusia. Bukan Tuhan, sebagaimana diyakini Islam. Ulama termasyhur Imam Al Ghazali dalam mahakaryanya, Ihya Ulumuddin mengingatkan “Jika nafsu menguasai akal, maka satwa paling melata sekalipun lebih mulia daripada manusia.” 

Kuasa Akal 

Di antara semua makhluk ciptaan Tuhan, manusialah yang paling sempurna karena dikaruniai akal dan nafsu, walau terbuat dari tanah. Tidak heran hanya manusia yang ditugaskan Tuhan untuk menjadi wakil-Nya di bumi. Karena diberi akal oleh Tuhan, manusia disebut juga makhluk berpikir. Manusia bukan binatang yang hanya sekadar makan, minum, dan berhubungan seks. 

Dengan akal, manusia mampu mempelajari dan mengembangkan ilmu pengetahuan serta teknologi untuk keberlangsungan hidup. Dengan akal manusia dapat memetik hikmah dari setiap peristiwa dan dapat membedakan mana yang halal (hak) dan mana yang haram (bukan hak/bathil). Dalam pandangan ahli tafsir M Quraish Shihab, akal adalah utusan kebenaran, kendaraan pengetahuan, serta pohon yang membuahkan istiqomah dan konsistensi dalam kebenaran. 

Karena itu, manusia baru menjadi manusia, kalau sudah punya akal. Akal dalam pandangan agama dan agamawan ialah apa yang dengannya seseorang secara sadar mengabdi kepada Tuhan dan dengan menggunakannya seseorang akan meraih surga-Nya. Tiada agama tanpa akal, tiada agama tanpa rasa malu. 

Akal dinamai Alquran ‘aql yang secara harfiah berarti tali yang mengikat nafsu manusia dan menghalanginya terjerumus ke dalam dosa, pelanggaran, dan kesalahan (Shihab, 2007). Imam Al Ghazali melalui mahakaryanya tersebut mengingatkan “Jika akal menguasai nafsu, maka manusia lebih mulia daripada malaikat.” 

Cegah ala Nabi 

Karena itu, dukungan terhadap KPK dan penegak hukum lainnya dalam membersihkan korupsi yang mengotori negara tercinta terus digalakkan. Di sisi lain semua pihak berupaya untuk mencegah munculnya korupsi, baik dalam lingkup keluarga maupun pemerintah. Dalam koteks pemerintah, Nabi Muhammad SAW telah memberikan teladan, sebagaimana dikutip sosiolog Damsar dalam bukunya Sosiologi Uang (2006). 

Menurut sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Dawud, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barang siapa yang kami angkat menjadi karyawan/pejabat untuk mengerjakan sesuatu, dan kami beri upah menurut semestinya, maka apa yang dia ambil lebih dari upah yang semestinya, maka itu namanya korupsi.” 

Karena itu pula Rasulullah SAW melarang pegawai atau karyawan mengambil sesuatu yang bukan haknya dari kas negara atau menerima sesuatu dari pihak lain karena seseorang itu memangku suatu jabatan tertentu. Dalam rekrutmen pegawai, Rasulullah mengangkat pegawai berdasarkan kecakapan bukan berdasarkan hubungan patrimonial. 

Dalam suatu riwayat yang ditelusuri Muslim, Nabi pernah menolak Abu Dzarr ketika ia meminta jabatan. Dari Abu Dzarr ia berkata, “Ya Rasulullah mengapa tidak menunjuk saya. Rasulullah bersabda, Hai Abu Dzarr, kau seorang yang lemah, dan jabatan itu sebagai amanat yang pada hari kiamat hanya akan menjadi penyesalan dan kehinaan. Kecuali orang yang dapat menunaikan hak dan kewajibannya dan memenuhi tanggung jawabnya”. 

Abu Dzarr adalah sahabat Nabi yang diakui kedalaman ilmu pengetahuan dan ketaatannya, tetapi Rasulullah melihat hal tersebut tidak cukup untuk mengangkatnya sebagai seorang pegawai (pejabat) karena diperlukan kriteria lain, yaitu kecakapan menempatkan sesuatu hak dan kewajiban sesuai dengan yang semestinya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar