Korupsi
walaupun merupakan perbuatan melanggar hukum negara dan agama, tetapi
diminati banyak pejabat. Berbagai cara mereka berlomba-lomba mengeruk
harta haram untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan kroninya.
Setelah
maraknya kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara, jenderal, dan
politisi kakap. Kali ini publik kembali dikejutkan tertangkapnya Wakil
Ketua Pengadilan Negeri Bandung Setyabudi Tejochyono di ruang kerjanya
bersama seorang bernama Asep, oleh KPK (22/03). Setyabudi diduga menerima
suap Rp 150 juta dari Asep. Di dalam mobil yang dikendarai Asep juga
ditemukan uang tunai Rp100 juta yang dibungkus koran.
Saling
suapmenyuap ini diduga untuk “mengamankan” sidang kasus bantuan sosial
dengan terdakwa sejumlah pejabat di Pemkot Bandung yang digelar sejak
2012. Selain Setyabudi dan Asep, KPK juga menangkap dua pegawai Pemkot
Bandung, yakni Hery Nurhayat (Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pendapatan
Kota Bandung) dan Pupung (Bendahara Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset
Daerah).
Seorang
satpam PN pun ditahan. Setyabudi menambah jumlah daftar hakim yang
tertangkap “basah” oleh KPK karena menerima suap untuk “mengamankan”
terdakwa dari jerat hukum. Sebelum dirinya adalah Ibrahim (Hakim PTUN DKI
Jakarta) dengan barang bukti Rp 300 juta dari Adner Sirait, pengacara PT
Sabar Jaya. Syarifuddin (Hakim Pengawas Kepailitan PN Jakarta Pusat)
dengan barang bukti ratusan mata uang asing dan uang Rp 392 juta.
Imas
Dianasari (Hakim ad hoc Hubungan Industrial) beserta barang bukti uang Rp
200 juta, Kartini Marpaung (Hakim Pengadilan Tipikor Semarang), dan Heru
Kusbandono (Hakim Pengadilan Tipikor, Pontianak) beserta barang bukti
uang Rp 150 juta ketika melakukan transaksi suap di Pengadilan Tipikor
(Kompas, 28/03). Dengan demikian, memimpikan Indonesia tercinta bebas
dari korupsi, kolusi, dan nepotisme masih “jauh panggang dari api,”
apalagi penegak hukum masih ada yang menjadi bagian dari masalah.
Mengapa
orang-orang berpendidikan dan diamanahi jabatan di negeri ini begitu
rakus dan gila akan harta sehingga rupa-rupa cara tercela rela ditempuh
untuk memperolehnya? Bukankah mereka tahu bahwa kejahatan korupsi dan
sejenisnya dapat memundurkan ekonomi, memiskinkan rakyat, memalukan sanak
keluarga, memerosotkan harga diri, menimbulkan ketidakadilan, dan sederet
dampak negatif lainnya. Hal ini disebabkan karena nafsu berkuasa atas
akal. Bukan sebaliknya, akal berkuasa atas nafsu.
Dampak lain
dari nafsu menguasai akal ialah pengangkatan kembali mantan terpidana
korupsi pada jabatan tertentu di pemerintahan dan partai politik
(termasuk dicalonkan dalam pemilu legislatif), jual beli perkara, ijazah,
dan jabatan, plagiat karya ilmiah/hak paten, melecehkan dan memerkosa
perempuan dan anak-anak, memperdagangkan manusia, saling membunuh
termasuk atas nama agama, menimbun barang dagangan, mark-up proyek,
memonopoli ekonomi, mempunyai istri simpanan yang dibiayai hasil korupsi,
menggusur pedagang kaki lima dan pemukiman kumuh, menghardik anak yatim,
miskin dan terlantar, pencemaran lingkungan, dan sebagainya.
Tampaknya ini
yang dikhawatirkan para malaikat sehingga melayangkan protes kepada Tuhan
tatkala menciptakan manusia. Alasan para pesuruh Allah itu bahwa sejarah
umat/kaum sebelum manusia juga penuh dengan kerusakan karena dikuasai
hawa nafsu. Tetapi Tuhan lebih mengetahui segala sesuatu.
Untuk
mengendalikan keliaran hawa nafsu, Tuhan menganugerahi juga manusia akal
dan pikiran. Karena itu, kerusakan apapun bentuknya, disebabkan
tangan-tangan atau perbuatan manusia. Bukan Tuhan, sebagaimana diyakini
Islam. Ulama termasyhur Imam Al Ghazali dalam mahakaryanya, Ihya Ulumuddin
mengingatkan “Jika nafsu menguasai
akal, maka satwa paling melata sekalipun lebih mulia daripada manusia.”
Kuasa Akal
Di antara
semua makhluk ciptaan Tuhan, manusialah yang paling sempurna karena
dikaruniai akal dan nafsu, walau terbuat dari tanah. Tidak heran hanya
manusia yang ditugaskan Tuhan untuk menjadi wakil-Nya di bumi. Karena
diberi akal oleh Tuhan, manusia disebut juga makhluk berpikir. Manusia
bukan binatang yang hanya sekadar makan, minum, dan berhubungan seks.
Dengan akal,
manusia mampu mempelajari dan mengembangkan ilmu pengetahuan serta
teknologi untuk keberlangsungan hidup. Dengan akal manusia dapat memetik
hikmah dari setiap peristiwa dan dapat membedakan mana yang halal (hak)
dan mana yang haram (bukan hak/bathil). Dalam pandangan ahli tafsir M
Quraish Shihab, akal adalah utusan kebenaran, kendaraan pengetahuan,
serta pohon yang membuahkan istiqomah dan konsistensi dalam kebenaran.
Karena itu,
manusia baru menjadi manusia, kalau sudah punya akal. Akal dalam
pandangan agama dan agamawan ialah apa yang dengannya seseorang secara
sadar mengabdi kepada Tuhan dan dengan menggunakannya seseorang akan
meraih surga-Nya. Tiada agama tanpa akal, tiada agama tanpa rasa malu.
Akal dinamai
Alquran ‘aql yang secara harfiah berarti tali yang mengikat nafsu manusia
dan menghalanginya terjerumus ke dalam dosa, pelanggaran, dan kesalahan
(Shihab, 2007). Imam Al Ghazali melalui mahakaryanya tersebut
mengingatkan “Jika akal menguasai
nafsu, maka manusia lebih mulia daripada malaikat.”
Cegah ala Nabi
Karena itu,
dukungan terhadap KPK dan penegak hukum lainnya dalam membersihkan
korupsi yang mengotori negara tercinta terus digalakkan. Di sisi lain
semua pihak berupaya untuk mencegah munculnya korupsi, baik dalam lingkup
keluarga maupun pemerintah. Dalam koteks pemerintah, Nabi Muhammad SAW
telah memberikan teladan, sebagaimana dikutip sosiolog Damsar dalam
bukunya Sosiologi Uang (2006).
Menurut
sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Dawud, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barang siapa yang kami angkat menjadi
karyawan/pejabat untuk mengerjakan sesuatu, dan kami beri upah menurut
semestinya, maka apa yang dia ambil lebih dari upah yang semestinya, maka
itu namanya korupsi.”
Karena itu
pula Rasulullah SAW melarang pegawai atau karyawan mengambil sesuatu yang
bukan haknya dari kas negara atau menerima sesuatu dari pihak lain karena
seseorang itu memangku suatu jabatan tertentu. Dalam rekrutmen pegawai,
Rasulullah mengangkat pegawai berdasarkan kecakapan bukan berdasarkan
hubungan patrimonial.
Dalam suatu
riwayat yang ditelusuri Muslim, Nabi pernah menolak Abu Dzarr ketika ia
meminta jabatan. Dari Abu Dzarr ia berkata, “Ya Rasulullah mengapa tidak menunjuk saya. Rasulullah bersabda,
Hai Abu Dzarr, kau seorang yang lemah, dan jabatan itu sebagai amanat
yang pada hari kiamat hanya akan menjadi penyesalan dan kehinaan. Kecuali
orang yang dapat menunaikan hak dan kewajibannya dan memenuhi tanggung
jawabnya”.
Abu Dzarr
adalah sahabat Nabi yang diakui kedalaman ilmu pengetahuan dan
ketaatannya, tetapi Rasulullah melihat hal tersebut tidak cukup untuk
mengangkatnya sebagai seorang pegawai (pejabat) karena diperlukan
kriteria lain, yaitu kecakapan menempatkan sesuatu hak dan kewajiban
sesuai dengan yang semestinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar