Sabtu, 06 April 2013

Era Baru Bank Syariah


Era Baru Bank Syariah
Rizqullah ;   Mantan Dirut BNI Syariah
REPUBLIKA, 05 April 2013


Sejak berdirinya bank syariah pertama pada 1992, industri perbankan syariah baru tampak pertumbuhannya saat keluarnya Undang-Undang Perbankan No 10 Tahun 1998 yang memberikan peluang pada bank konvensional untuk menjalankan bisnis syariah melalui pembentukan unit usaha syariah (UUS) dan cabang syariah. 

Keluarnya UU tersebut tentunya tidak terepas dari kondisi krisis ekonomi.
Undang-undang tersebut seolah-olah ingin mencari solusi agar krisis ekonomi dan perbankan tidak terulang lagi. Bank-bank, terutama bank BUMN, memanfaatkan peluang tersebut dengan mengambil alih bank konvensional lain dan mengonversinya menjadi bank syariah atau membuka UUS serta cabang-cabang syariah tanpa rujukan dan pedoman yang jelas tentang bagaimana usaha perbankan syariah itu seharusnya dilaksanakan. 

Dengan modal keyakinan dan kegigihan, bank syariah dan UUS secara perlahan menunjukkan tanda-tanda kehidupannya tanpa dukungan pemerintah yang berarti. Bahkan, sejak Presiden SBY menyatakan bahwa perbankan syariah merupakan agenda nasional pada Festival Ekonomi Syariah 2008, tidak ada tindak lanjut yang jelas dari kementerian-kementeriannya. 

Industri perbankan syariah dengan dukungan program yang jelas hanya dari Bank Indonesia mengalami perkembangan yang signifikan setelah 15 tahun berlakunya UU tersebut. Saat ini, total aset perbankan syariah telah mencapai Rp 200 triliun, jauh melampaui total asetnya yang di bawah Rp 5 triliun pada 15 tahun lalu. Industri perbankan syariah dengan jumlah kantor layanannya mencapai lebih dari 3.000 unit telah menyerap lebih dari 30 ribu tenaga kerja. 

Patut kita syukuri bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini pemerintah sudah mulai menjalankan perannya se jalan dengan pernyataan Presiden SBY di atas. Gubernur BI yang baru, Agus Martowardojo, saat menjalani uji kelayakan dan kepatutan di gedung DPR RI, dua pekan lalu, menyampaikan akan menjadikan Indonesia sebagai pusat keuangan/perbankan syariah dunia. 

Pada harian Republika, 3 Maret yang lalu, Meneg BUMN Dahlan Iskan menyatakan sedang mengkaji kemungkinan konversi bank BUMN menjadi bank syariah. Pernyataan kedua pejabat republik ini tentunya bukan tanpa alasan. Negara ini memiliki begitu banyak kekayaan dan begitu besar pasar.
Industri perbankan syariah kita tengah menjadi sorotan negara/investor asing.
Mereka sedang menunggu saat dan cara yang tepat untuk masuk ke industri perbankan syariah. Oleh karenanya, rencana Meneg BUMN untuk mengonversi bank BUMN menjadi bank syariah patut didukung oleh semua pihak. 

Pertanyaannya adalah di antara 4 bank BUMN (Mandiri, BRI, BNI, dan BTN), mana yang harus dikonversi menjadi bank syariah? Jawabannya adalah bergantung pada tujuan pemerintah melakukan konversi tersebut. Tanpa bermaksud mendahului tim yang telah ditunjuk oleh Meneg BUMN, saya mencoba untuk menganalisis bank BUMN mana yang harus dikonversi menjadi bank syariah. 

Setidaknya, ada lima faktor yang harus dipertimbangkan dalam memilih bank mana yang harus dikonversi, yaitu: besaran aset, jaringan kantor layanan dan sumber daya manusia (SDM), bisnis inti, dan jumlah nasabah. Bank Mandiri punya total aset Rp 635,6 triliun, 1.800 kantor layanan, 30.773 sumber daya manusia (SDM), 11,3 juta nasabah, dan bisnis intinya di kelas menengah ke atas. Bank BRI total asetnya Rp 551,3 triliun dengan 7.975 kantor layanan, 40.044 SDM, 33 juta nasabah, serta bisnis intinya di UMKM.

Berikutnya Bank BNI beraset Rp 333,3 triliun, memiliki 1.585 kantor layanan, 24.861 SDM, 11,8 juta nasabah, dan bisnis intinya kelas menengah atas dan UMKM. Dan, terakhir Bank BTN memiliki aset Rp 111,7 triliun, dengan 756 kantor layanan dan 6.048 SDM, 5 juta nasabah, serta bisnis intinya di UMKM dan perumahan. Data tersebut saya kutip dari situ-situs bank yang bersangkutan serta hasil olah data infobanknews.

Berdasarkan data tersebut di atas, BTN menempati urutan terbawah dilihat dari empat faktor: aset, jaringan kantor, jumlah SDM, dan jumlah nasabah.
Semakin besar/banyak jumlah aset, jaringan kantor, SDM dan nasabah, maka proses konversi akan semakin kompleks. Pemerintah tentu menghendaki agar konversi dapat dilaksanakan dengan cepat, berbiaya rendah, dan dengan sedikit mungkin masalah/risiko yang dihadapi. 

Berdasarkan hal tersebut, Bank Mandiri, BNI, dan BRI bukan merupakan pilihan yang baik untuk dikonversi. Di samping itu, Bank Mandiri dan BNI yang memiliki kantor cabang di luar negeri bilamana dikonversi, akan menghadapi masalah hukum. Dilihat dari faktor bisnis inti, Bank Mandiri dan BNI lebih menyasar masyarakat/bisnis menengah ke atas, sedangkan Bank BRI sepanjang sejarahnya dikenal sebagai bank mikro yang tentunya menyasar masyarakat menengah bawah. Namun, mengingat jumlah aset, jaringan kantor, dan SDM yang begitu besar/banyak, maka sepertinya bukan pilihan yang baik. 

Bank BTN adalah bank yang fokus pada pembiayaan perumahan untuk masyarakat menengah bawah, yang secara teknis relatif lebih mudah untuk dikonversi ke syariah dibandingkan pembiayaan jenis lainnya. Bank BTN adalah satu-satunya bank pemerintah yang belum melakukan spin-off UUS-nya atau belum memiliki perusahaan anak bank syariah sehingga pilihan konversi BTN lebih realistis. 

Bagi pemerintah, pilihan BTN untuk dikonversi sudah dapat memenuhi kepentingan politiknya, yaitu ikut menjalankan perannya dalam mendorong perbankan syariah sebagaimana diamanatkan oleh UU perbankan syariah. Bagi stakeholder perbankan syariah lainnya, pilihan konversi BTN mungkin bukan yang terbaik karena ukurannya yang paling kecil. Namun, bank BUMN manapun yang dikonversi akan memberikan stimulan dan dampak multiplier yang besar.

Peran aktif pemerintah ini diharapkan menjadi titik awal era baru perbankan syariah di Tanah Air. Dengan peran aktif pemerintah dan semua elemen terkait, harapan Indonesia sebagai pusat keuangan/perbankan syariah dunia bukan hal yang mustahil untuk terwujud. Wallahu a'lam bish shawab. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar