Sejak
berdirinya bank syariah pertama pada 1992, industri perbankan syariah
baru tampak pertumbuhannya saat keluarnya Undang-Undang Perbankan No 10
Tahun 1998 yang memberikan peluang pada bank konvensional untuk
menjalankan bisnis syariah melalui pembentukan unit usaha syariah (UUS)
dan cabang syariah.
Keluarnya
UU tersebut tentunya tidak terepas dari kondisi krisis ekonomi.
Undang-undang tersebut seolah-olah ingin mencari solusi agar krisis
ekonomi dan perbankan tidak terulang lagi. Bank-bank, terutama bank BUMN,
memanfaatkan peluang tersebut dengan mengambil alih bank konvensional
lain dan mengonversinya menjadi bank syariah atau membuka UUS serta
cabang-cabang syariah tanpa rujukan dan pedoman yang jelas tentang
bagaimana usaha perbankan syariah itu seharusnya dilaksanakan.
Dengan
modal keyakinan dan kegigihan, bank syariah dan UUS secara perlahan
menunjukkan tanda-tanda kehidupannya tanpa dukungan pemerintah yang
berarti. Bahkan, sejak Presiden SBY menyatakan bahwa perbankan syariah
merupakan agenda nasional pada Festival Ekonomi Syariah 2008, tidak ada
tindak lanjut yang jelas dari kementerian-kementeriannya.
Industri
perbankan syariah dengan dukungan program yang jelas hanya dari Bank
Indonesia mengalami perkembangan yang signifikan setelah 15 tahun
berlakunya UU tersebut. Saat ini, total aset perbankan syariah telah
mencapai Rp 200 triliun, jauh melampaui total asetnya yang di bawah Rp 5
triliun pada 15 tahun lalu. Industri perbankan syariah dengan jumlah
kantor layanannya mencapai lebih dari 3.000 unit telah menyerap lebih
dari 30 ribu tenaga kerja.
Patut
kita syukuri bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini pemerintah sudah
mulai menjalankan perannya se jalan dengan pernyataan Presiden SBY di
atas. Gubernur BI yang baru, Agus Martowardojo, saat menjalani uji
kelayakan dan kepatutan di gedung DPR RI, dua pekan lalu, menyampaikan akan
menjadikan Indonesia sebagai pusat keuangan/perbankan syariah
dunia.
Pada
harian Republika, 3 Maret yang lalu, Meneg BUMN Dahlan Iskan menyatakan
sedang mengkaji kemungkinan konversi bank BUMN menjadi bank syariah.
Pernyataan kedua pejabat republik ini tentunya bukan tanpa alasan. Negara
ini memiliki begitu banyak kekayaan dan begitu besar pasar.
Industri perbankan syariah kita tengah menjadi sorotan negara/investor
asing.
Mereka sedang menunggu saat dan cara yang tepat untuk masuk ke industri
perbankan syariah. Oleh karenanya, rencana Meneg BUMN untuk mengonversi
bank BUMN menjadi bank syariah patut didukung oleh semua pihak.
Pertanyaannya
adalah di antara 4 bank BUMN (Mandiri, BRI, BNI, dan BTN), mana yang
harus dikonversi menjadi bank syariah? Jawabannya adalah bergantung pada tujuan
pemerintah melakukan konversi tersebut. Tanpa bermaksud mendahului tim
yang telah ditunjuk oleh Meneg BUMN, saya mencoba untuk menganalisis bank
BUMN mana yang harus dikonversi menjadi bank syariah.
Setidaknya,
ada lima faktor yang harus dipertimbangkan dalam memilih bank mana yang
harus dikonversi, yaitu: besaran aset, jaringan kantor layanan dan
sumber daya manusia (SDM), bisnis inti, dan jumlah nasabah. Bank Mandiri
punya total aset Rp 635,6 triliun, 1.800 kantor layanan, 30.773 sumber
daya manusia (SDM), 11,3 juta nasabah, dan bisnis intinya di kelas
menengah ke atas. Bank BRI total asetnya Rp 551,3 triliun dengan 7.975
kantor layanan, 40.044 SDM, 33 juta nasabah, serta bisnis intinya di
UMKM.
Berikutnya
Bank BNI beraset Rp 333,3 triliun, memiliki 1.585 kantor layanan, 24.861
SDM, 11,8 juta nasabah, dan bisnis intinya kelas menengah atas dan UMKM.
Dan, terakhir Bank BTN memiliki aset Rp 111,7 triliun, dengan 756 kantor
layanan dan 6.048 SDM, 5 juta nasabah, serta bisnis intinya di UMKM dan
perumahan. Data tersebut saya kutip dari situ-situs bank yang
bersangkutan serta hasil olah data infobanknews.
Berdasarkan
data tersebut di atas, BTN menempati urutan terbawah dilihat dari empat
faktor: aset, jaringan kantor, jumlah SDM, dan jumlah nasabah.
Semakin besar/banyak jumlah aset, jaringan kantor, SDM dan nasabah, maka
proses konversi akan semakin kompleks. Pemerintah tentu menghendaki
agar konversi dapat dilaksanakan dengan cepat, berbiaya rendah, dan
dengan sedikit mungkin masalah/risiko yang dihadapi.
Berdasarkan
hal tersebut, Bank Mandiri, BNI, dan BRI bukan merupakan pilihan yang
baik untuk dikonversi. Di samping itu, Bank Mandiri dan BNI yang memiliki
kantor cabang di luar negeri bilamana dikonversi, akan menghadapi masalah
hukum. Dilihat dari faktor bisnis inti, Bank Mandiri dan BNI lebih
menyasar masyarakat/bisnis menengah ke atas, sedangkan Bank BRI sepanjang
sejarahnya dikenal sebagai bank mikro yang tentunya menyasar masyarakat
menengah bawah. Namun, mengingat jumlah aset, jaringan kantor, dan SDM
yang begitu besar/banyak, maka sepertinya bukan pilihan yang baik.
Bank
BTN adalah bank yang fokus pada pembiayaan perumahan untuk masyarakat
menengah bawah, yang secara teknis relatif lebih mudah untuk dikonversi
ke syariah dibandingkan pembiayaan jenis lainnya. Bank BTN adalah satu-satunya
bank pemerintah yang belum melakukan spin-off
UUS-nya atau belum memiliki perusahaan anak bank syariah sehingga pilihan
konversi BTN lebih realistis.
Bagi
pemerintah, pilihan BTN untuk dikonversi sudah dapat memenuhi kepentingan
politiknya, yaitu ikut menjalankan perannya dalam mendorong perbankan
syariah sebagaimana diamanatkan oleh UU perbankan syariah. Bagi stakeholder perbankan syariah
lainnya, pilihan konversi BTN mungkin bukan yang terbaik karena ukurannya
yang paling kecil. Namun, bank BUMN manapun yang dikonversi akan
memberikan stimulan dan dampak multiplier yang besar.
Peran
aktif pemerintah ini diharapkan menjadi titik awal era baru perbankan
syariah di Tanah Air. Dengan peran aktif pemerintah dan semua elemen
terkait, harapan Indonesia sebagai pusat keuangan/perbankan syariah dunia
bukan hal yang mustahil untuk terwujud. Wallahu a'lam bish shawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar