Jumat, 19 April 2013

Demokrasi Busuk Pilkades


Demokrasi Busuk Pilkades
Abd. Sidiq Notonegoro  Anggota Panwaslu Kabupaten Gresik
KORAN SINDO, 19 April 2013

  
Konon walau tidak dalam wilayah kerja penyelenggara pemilu (KPU dan Panwaslu), pemilihan kepala desa (pilkades) merupakan aktualisasi pemerintahan politik yang berasal langsung dari rakyat. 

Maka tidak mengherankan bila kegiatan pilkades pun tidak kalah serunya dengan pemilihan kepala daerah (pilkada) ataupun pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres). Pembedanya hanyalah pilkades berada di wilayah yang sangat lokal, yaitu desa. Sebagai bagian dari pemerintahan politik, seorang kepala desa pun dipilih langsung melalui proses pemungutan suara sebagaimana layaknya pemilu. 

Setiap warga masyarakat di daerah tersebut —- yang dibuktikan dengan kartu kependudukan —- yang sudah memenuhi syarat untuk memilih dan dipilih, memiliki hak yang sama untuk menyalurkan aspirasi suaranya. Pendek kata, persyaratan administrasi yang diberlakukan sama persis dengan aturan dalam penentuan pemerintahan politik, misalnya : usia minimal 17 tahun atau sudah menikah, bukan anggota TNI/ Polri, memiliki surat panggilan, mencoblos surat suara yang sudah ditentukan panitia dan seterusnya. 

Ironisnya, walau hanya perhelatan pemilu lokal di tingkat desa, berbagai kebusukan politik dibalik kegiatan pilkades tidak dapat dielakkan. Bahkan dapat dikatakan, penodaan nilai-nilai demokrasi di pilkades jauh lebih busuk dibandingkan pemilihan umum di tingkatan pemerintahan politik yang lebih tinggi. 

Salah satu contoh kebusukan dalam pilkades yang paling menonjol ialah merajalelanya praktik politik uang (money politics) karena tidak ada sanksi hukum yang bersifat mengikat, kecuali hanya sanksi moral. Konyolnya, praktik money politicsdalam pilkades dianggap sebagai hal yang lumrah dan dipandang sebagai tradisi yang tidak harus dipersoalkan. Sebagian besar masyarakat bahkan sangat mengharapkan adanya pembagian uang dari para kontestan pilkades tersebut. 

Sebaik apapun integritas kontestan, tapi jika tidak memberikan ‘upeti’ kepada masyarakat pemilih, kecil harapan untuk memenangkan pilkades. Sebaliknya, seorang kontestan yang secara nyata di hadapan masyarakat memiliki reputasi buruk —- baik integritas moral maupun profesionalitas —-, bila kucuran upeti mengalir lancar kepada masyarakat, harapan menang pun akan ada di depan mata. 

Pembusukan pilkades melalui praktik money politics juga tidak semata-mata dilakukan oleh kontestan yang ingin memenangkan persaingan dengan cara yang tidak jujur, bahkan justru yang paling membuat heboh ialah para botoh (petaruh). Para botoh ini pada umumnya justru orang-orang dari luar desa yang sedang melaksanakan perhelatan demokrasi tersebut. 

Tidak jarang para botoh tersebut yang membagi-bagikan uang kepada masyarakat agar memilih kontestan tertentu. Harapannya, bila calon yang didukungnya menang, maka botoh tersebut akan mendapatkan keuntungan yang jauh lebih besar dari uang yang dibagikan kepada masyarakat. Banyak model dan modus yang dilakukan para ‘tim sukses’ cakades maupun botoh dalam membagi uang kepada masyarakat. 

Di antaranya melalui ‘serangan fajar’ pada pagi hari menjelang hak suara pemilih dipergunakan. Tidaklah mengherankan, semakin banyak cakadesnya, maka akan semakin banyak pula ‘uang panas’ tersebut beredar di tengahtengah masyarakat pemilih. Setiap individu pemilih memiliki harga tersendiri. Kisaran uang yang diterima individu pemilih ratarata antara lima puluh ribu hingga satu juta rupiah. 

Semakin banyak anggota keluarga yang memiliki hak pilih, dapat dipastikan semakin besar pula uang panas yang diperoleh keluarga tersebut. Bila dalam pemilu, para praktisi money politics cenderung menjalankan aksinya secara diam-diam, sebaliknya dalam pilkades terjadi secara terang-terangan. Kontestan, tim sukses hingga botoh tidak lagi punya malu untuk membagi-bagi uang kepada masyarakat. 

Lebih konyol lagi, ada pula yang membagi uang secara terang-terangan dijalan dengan cara menghadang masyarakat yang sedang menuju tempat pemungutan suara (TPS), atau bahkan ada yang membaginya di depan TPS. Panitia pilkades pun cenderung tidak ambil pusing dengan situasi itu, dan menganggap sebagai urusan internal kontestan. Mengapa panitia diam? Bagi panitia pada umumnya yang penting ritual pilkades berjalan lancar, juga tidak ada jerat hukum yang bersifat mengikat bagi pelaku money politics. 

Risiko terburuknya adalah konflik horizontal antar pendukung dan menganggap pilkades tidak berjalan secara sportif. Pertanyaannya, mengapa money politics dalam pilkades tidak dianggap sebagai pelanggaran pidana seperti halnya dalam pileg, pilpres maupun pilkada? Tampaknya sudah saatnya keadaban pemilu diturunkan hingga tingkat desa. Desa merupakan wilayah pemerintahan politik paling dasar dalam sistem pemerintahan di negeri ini. 

Akhirnya, dalam rangka menuju desa yang berperadaban dan dipimpin oleh kepala desa yang berintegritas tinggi, money politics dalam pilkades sudah saatnya dikategorikan sebagai kejahatan pemilu. Mungkin cukup ideal bila wilayah kerja penyelenggara pemilu tidak berakhir di pilkada, tapi juga sampai ke tingkat pilkades.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar