Konon walau tidak dalam wilayah kerja penyelenggara
pemilu (KPU dan Panwaslu), pemilihan kepala desa (pilkades) merupakan
aktualisasi pemerintahan politik yang berasal langsung dari rakyat.
Maka tidak mengherankan bila kegiatan pilkades pun tidak kalah serunya
dengan pemilihan kepala daerah (pilkada) ataupun pemilihan presiden dan
wakil presiden (pilpres). Pembedanya hanyalah pilkades berada di wilayah
yang sangat lokal, yaitu desa. Sebagai bagian dari pemerintahan politik,
seorang kepala desa pun dipilih langsung melalui proses pemungutan suara
sebagaimana layaknya pemilu.
Setiap warga masyarakat di daerah tersebut —- yang dibuktikan dengan
kartu kependudukan —- yang sudah memenuhi syarat untuk memilih dan
dipilih, memiliki hak yang sama untuk menyalurkan aspirasi suaranya.
Pendek kata, persyaratan administrasi yang diberlakukan sama persis
dengan aturan dalam penentuan pemerintahan politik, misalnya : usia
minimal 17 tahun atau sudah menikah, bukan anggota TNI/ Polri, memiliki
surat panggilan, mencoblos surat suara yang sudah ditentukan panitia dan
seterusnya.
Ironisnya, walau hanya perhelatan pemilu lokal di tingkat desa, berbagai
kebusukan politik dibalik kegiatan pilkades tidak dapat dielakkan. Bahkan
dapat dikatakan, penodaan nilai-nilai demokrasi di pilkades jauh lebih
busuk dibandingkan pemilihan umum di tingkatan pemerintahan politik yang
lebih tinggi.
Salah satu contoh kebusukan dalam pilkades yang paling menonjol ialah
merajalelanya praktik politik uang (money
politics) karena tidak ada sanksi hukum yang bersifat mengikat,
kecuali hanya sanksi moral. Konyolnya, praktik money politicsdalam
pilkades dianggap sebagai hal yang lumrah dan dipandang sebagai tradisi
yang tidak harus dipersoalkan. Sebagian besar masyarakat bahkan sangat
mengharapkan adanya pembagian uang dari para kontestan pilkades tersebut.
Sebaik apapun integritas kontestan, tapi jika tidak memberikan ‘upeti’
kepada masyarakat pemilih, kecil harapan untuk memenangkan pilkades.
Sebaliknya, seorang kontestan yang secara nyata di hadapan masyarakat
memiliki reputasi buruk —- baik integritas moral maupun profesionalitas
—-, bila kucuran upeti mengalir lancar kepada masyarakat, harapan menang
pun akan ada di depan mata.
Pembusukan pilkades melalui praktik money politics juga tidak semata-mata
dilakukan oleh kontestan yang ingin memenangkan persaingan dengan cara
yang tidak jujur, bahkan justru yang paling membuat heboh ialah para
botoh (petaruh). Para botoh ini pada umumnya justru orang-orang dari luar
desa yang sedang melaksanakan perhelatan demokrasi tersebut.
Tidak jarang para botoh tersebut yang membagi-bagikan uang kepada
masyarakat agar memilih kontestan tertentu. Harapannya, bila calon yang
didukungnya menang, maka botoh tersebut akan mendapatkan keuntungan yang
jauh lebih besar dari uang yang dibagikan kepada masyarakat. Banyak model
dan modus yang dilakukan para ‘tim sukses’ cakades maupun botoh dalam
membagi uang kepada masyarakat.
Di antaranya melalui ‘serangan fajar’ pada pagi hari menjelang hak suara
pemilih dipergunakan. Tidaklah mengherankan, semakin banyak cakadesnya,
maka akan semakin banyak pula ‘uang panas’ tersebut beredar di
tengahtengah masyarakat pemilih. Setiap individu pemilih memiliki harga
tersendiri. Kisaran uang yang diterima individu pemilih ratarata antara
lima puluh ribu hingga satu juta rupiah.
Semakin banyak anggota keluarga yang memiliki hak pilih, dapat dipastikan
semakin besar pula uang panas yang diperoleh keluarga tersebut. Bila
dalam pemilu, para praktisi money
politics cenderung menjalankan aksinya secara diam-diam, sebaliknya
dalam pilkades terjadi secara terang-terangan. Kontestan, tim sukses
hingga botoh tidak lagi punya malu untuk membagi-bagi uang kepada
masyarakat.
Lebih konyol lagi, ada pula yang membagi uang secara terang-terangan
dijalan dengan cara menghadang masyarakat yang sedang menuju tempat pemungutan
suara (TPS), atau bahkan ada yang membaginya di depan TPS. Panitia
pilkades pun cenderung tidak ambil pusing dengan situasi itu, dan
menganggap sebagai urusan internal kontestan. Mengapa panitia diam? Bagi
panitia pada umumnya yang penting ritual pilkades berjalan lancar, juga
tidak ada jerat hukum yang bersifat mengikat bagi pelaku money politics.
Risiko terburuknya adalah konflik horizontal antar pendukung dan
menganggap pilkades tidak berjalan secara sportif. Pertanyaannya, mengapa
money politics dalam pilkades
tidak dianggap sebagai pelanggaran pidana seperti halnya dalam pileg,
pilpres maupun pilkada? Tampaknya sudah saatnya keadaban pemilu
diturunkan hingga tingkat desa. Desa merupakan wilayah pemerintahan
politik paling dasar dalam sistem pemerintahan di negeri ini.
Akhirnya, dalam rangka menuju desa yang berperadaban dan dipimpin oleh
kepala desa yang berintegritas tinggi, money politics dalam pilkades sudah saatnya dikategorikan
sebagai kejahatan pemilu. Mungkin cukup ideal bila wilayah kerja
penyelenggara pemilu tidak berakhir di pilkada, tapi juga sampai ke
tingkat pilkades. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar