Rabu, 03 April 2013

SKB dan Nasib Hutan Kita


SKB dan Nasib Hutan Kita
Usep Setiawan ;   Aktivis Gerakan Reforma Agraria
KOMPAS, 03 April 2013

  
Tanggal 11 Maret 2013 di depan Presiden SBY, 12 kementerian dan lembaga menandatangani Nota Kesepakatan Bersama tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan Indonesia.
Nota kesepakatan bersama (NKB) 12 kementerian dan lembaga itu lahir di bawah supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi dan Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan. Ini angin segar di tengah degradasi kualitas lingkungan akibat kerusakan hutan, konflik sosial dan struktural akibat salah urus kebijakan kehutanan, serta ketimpangan akibat ketidakadilan penguasaan tanah dan kekayaan alam lain.
Meski layak diapresiasi, NKB ini perlu dicegah dari politisasi. Efektivitas NKB juga perlu dicermati mengingat tahun politik 2013 dan Pemilu 2014.
Rencana Aksi Bersama
Kejelasan agenda dan kegiatan yang dijalankan menyusul terbitnya NKB bergantung pada rencana aksi bersamanya. Rencana aksi bersama ini rasanya perlu diletakkan dalam konteks pelaksanaan ”Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam” sebagaimana dimandatkan TAP MPR IX Tahun 2001.
Penataan kehutanan sangat strategis mengingat 70 persen daratan kita masuk kategori kawasan hutan. Penataan menyeluruh dan mendasar menjadi langkah strategis pembaruan agraria. Secara legal formal, kawasan hutan seluas 135,5 juta hektar kenyataannya sulit dinyatakan bebas konflik. Sejauh ini, baru 14,24 juta hektar (10,9 persen kawasan hutan) yang dikukuhkan sebagai kawasan hutan tetap.
Merujuk data Kementerian Kehutanan dan BPS (2007, 2009), 31.957 desa berinteraksi dengan hutan dan 71,06 persennya menggantungkan hidup pada hutan. Menurut CIFOR (2006), 15 persen dari 48 juta orang yang tinggal di dalam dan sekitar hutan adalah masyarakat miskin. Dalam Renstra Kemenhut 2010-2014, tahun 2003 ada 10,2 juta orang miskin di sekitar wilayah hutan (Lampiran 3 NKB).
Sinergi para pihak sangat vital. Dalam hal ini, keduabelas kementerian/lembaga yang menandatangani NKB (Kemendagri, Kemenkumham, Kemenkeu, Kementerian ESDM, Kementan, Kemenhut, Kementerian PU, Kementerian LH, Kementerian PPN/Bappenas, BPN, BIG, dan Komnas HAM) harus benar-benar responsif dan bekerja nyata menyukseskan NKB.
Tiga Prasyarat
Ada tiga prasyarat pokok sukses pembaruan agraria (termasuk penataan hutan), yakni arahan dan kepemimpinan langsung Presiden, keterlibatan aktif semua kementerian dan lembaga terkait, dan peran masyarakat.
Secara filosofis dan yuridis, percepatan pengukuhan kawasan hutan hendaknya diarahkan untuk memastikan penguasaan dan pengusahaan hutan sehingga sungguh menjadi bagian dari perwujudan spirit ideologis Pancasila dan Konstitusi, yakni keadilan sosial dan kemakmuran rakyat. Tujuan yang ingin dicapai NKB adalah meningkatkan kerja sama dan koordinasi dalam percepatan pengukuhan kawasan hutan serta meningkatkan kerja sama dan koordinasi dalam mendorong percepatan pembangunan nasional dan pencegahan korupsi (Pasal 1).
Tiga agenda utamanya adalah harmonisasi kebijakan dan peraturan perundang-undangan, penyelarasan teknis dan prosedur, serta resolusi konflik berdasar prinsip keadilan dan HAM.
Percepatan pengukuhan kawasan hutan dalam konteks pembaruan agraria mesti sejalan dengan arah kebijakan TAP MPR IX Tahun 2001. Dalam kaitan resolusi konflik, strategi penanganan konflik agraria dilakukan melalui pembentukan mekanisme dan kelembagaan khusus. Karena itu, gagasan membentuk Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria perlu dipertimbangkan.
Percepatan pengukuhan kawasan hutan dalam konteks pelaksanaan pembaruan agraria mesti melibatkan masyarakat. Perlu konsultasi publik dengan lembaga atau komunitas masyarakat (adat atau lokal) yang hidupnya bergantung pada hutan atau hidup di kawasan kehutanan. Konsultasi publik ini dibuat berjenjang dari tingkat nasional, regional, dan lokal.
Korupsi sebagai kejahatan luar biasa harus dihadapi secara luar biasa pula. Mencegah korupsi di lapangan agraria dan kekayaan alam (hutan) hendaknya ditempuh dengan menata ulang regulasi dan kelembagaan, serta menghadirkan aparatus yang jujur, bersih, dan mumpuni.
Agar hal itu bermakna, rakyat harus ikut melawan korupsi atas hutan dan kekayaan alam. ”Supersemar Kehutanan” jangan jadi gula-gula politik belaka! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar