Tanggal 11 Maret 2013 di depan
Presiden SBY, 12 kementerian dan lembaga menandatangani Nota Kesepakatan
Bersama tentang Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan Indonesia.
Nota kesepakatan bersama (NKB)
12 kementerian dan lembaga itu lahir di bawah supervisi Komisi
Pemberantasan Korupsi dan Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan
Pengendalian Pembangunan. Ini angin segar di tengah degradasi kualitas
lingkungan akibat kerusakan hutan, konflik sosial dan struktural akibat
salah urus kebijakan kehutanan, serta ketimpangan akibat ketidakadilan
penguasaan tanah dan kekayaan alam lain.
Meski layak diapresiasi, NKB ini
perlu dicegah dari politisasi. Efektivitas NKB juga perlu dicermati mengingat
tahun politik 2013 dan Pemilu 2014.
Rencana Aksi Bersama
Kejelasan agenda dan kegiatan
yang dijalankan menyusul terbitnya NKB bergantung pada rencana aksi
bersamanya. Rencana aksi bersama ini rasanya perlu diletakkan dalam
konteks pelaksanaan ”Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam”
sebagaimana dimandatkan TAP MPR IX Tahun 2001.
Penataan kehutanan sangat
strategis mengingat 70 persen daratan kita masuk kategori kawasan hutan.
Penataan menyeluruh dan mendasar menjadi langkah strategis pembaruan
agraria. Secara legal formal, kawasan hutan seluas 135,5 juta hektar
kenyataannya sulit dinyatakan bebas konflik. Sejauh ini, baru 14,24 juta
hektar (10,9 persen kawasan hutan) yang dikukuhkan sebagai kawasan hutan
tetap.
Merujuk data Kementerian Kehutanan
dan BPS (2007, 2009), 31.957 desa berinteraksi dengan hutan dan 71,06
persennya menggantungkan hidup pada hutan. Menurut CIFOR (2006), 15
persen dari 48 juta orang yang tinggal di dalam dan sekitar hutan adalah
masyarakat miskin. Dalam Renstra Kemenhut 2010-2014, tahun 2003 ada 10,2
juta orang miskin di sekitar wilayah hutan (Lampiran 3 NKB).
Sinergi para pihak sangat vital.
Dalam hal ini, keduabelas kementerian/lembaga yang menandatangani NKB
(Kemendagri, Kemenkumham, Kemenkeu, Kementerian ESDM, Kementan, Kemenhut,
Kementerian PU, Kementerian LH, Kementerian PPN/Bappenas, BPN, BIG, dan
Komnas HAM) harus benar-benar responsif dan bekerja nyata menyukseskan
NKB.
Tiga Prasyarat
Ada tiga prasyarat pokok sukses
pembaruan agraria (termasuk penataan hutan), yakni arahan dan
kepemimpinan langsung Presiden, keterlibatan aktif semua kementerian dan
lembaga terkait, dan peran masyarakat.
Secara filosofis dan yuridis,
percepatan pengukuhan kawasan hutan hendaknya diarahkan untuk memastikan
penguasaan dan pengusahaan hutan sehingga sungguh menjadi bagian dari
perwujudan spirit ideologis Pancasila dan Konstitusi, yakni keadilan
sosial dan kemakmuran rakyat. Tujuan yang ingin dicapai NKB adalah
meningkatkan kerja sama dan koordinasi dalam percepatan pengukuhan kawasan
hutan serta meningkatkan kerja sama dan koordinasi dalam mendorong
percepatan pembangunan nasional dan pencegahan korupsi (Pasal 1).
Tiga agenda utamanya adalah
harmonisasi kebijakan dan peraturan perundang-undangan, penyelarasan
teknis dan prosedur, serta resolusi konflik berdasar prinsip keadilan dan
HAM.
Percepatan pengukuhan kawasan
hutan dalam konteks pembaruan agraria mesti sejalan dengan arah kebijakan
TAP MPR IX Tahun 2001. Dalam kaitan resolusi konflik, strategi penanganan
konflik agraria dilakukan melalui pembentukan mekanisme dan kelembagaan
khusus. Karena itu, gagasan membentuk Komisi Nasional untuk Penyelesaian
Konflik Agraria perlu dipertimbangkan.
Percepatan pengukuhan kawasan
hutan dalam konteks pelaksanaan pembaruan agraria mesti melibatkan
masyarakat. Perlu konsultasi publik dengan lembaga atau komunitas
masyarakat (adat atau lokal) yang hidupnya bergantung pada hutan atau
hidup di kawasan kehutanan. Konsultasi publik ini dibuat berjenjang dari
tingkat nasional, regional, dan lokal.
Korupsi sebagai kejahatan luar
biasa harus dihadapi secara luar biasa pula. Mencegah korupsi di lapangan
agraria dan kekayaan alam (hutan) hendaknya ditempuh dengan menata ulang
regulasi dan kelembagaan, serta menghadirkan aparatus yang jujur, bersih,
dan mumpuni.
Agar hal itu bermakna, rakyat
harus ikut melawan korupsi atas hutan dan kekayaan alam. ”Supersemar
Kehutanan” jangan jadi gula-gula politik belaka! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar