Selasa, 02 April 2013

Daun-Daun Harapan


Daun-Daun Harapan
Sukardi Rinakit  ;  Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate
KOMPAS, 02 April 2013

  
Kerja Jero Wacik sebagai Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat dan siapa pun dari tim inti yang terlibat dalam pelaksanaan kongres luar biasa partai tersebut di Denpasar, Bali, memang luar biasa. Kongres berlangsung cepat dan tanpa gaduh. Ini menunjukkan tingkat lobi yang efisien dan mumpuni.
Namun, sebagai analis politik, saya tetap lebih suka jika bukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dipilih sebagai Ketua Umum Partai Demokrat (PD). Selain untuk memberi contoh kepada bangsa ini bahwa kesetiaan pada partai berakhir ketika seseorang menjadi presiden, juga agar para kader partai belajar sendiri menyelesaikan konflik.

Dengan demikian, konsolidasi partai akan berjalan secara lebih alamiah dan para kader bisa lebih memahami niat baik SBY untuk mengajarkan kepada mereka bahwa dalam ranah politik sejatinya berlaku adagium nobody is indispensable (tak seorang pun yang tak tergantikan). Di sini, politik bukanlah semata-mata kontestasi kekuasaan, melainkan juga keikhlasan untuk mundur dari panggung. Saya khawatir para kader tidak menangkap pesan SBY itu.

Terlalu Manis

Mencermati dinamika menjelang kongres luar biasa (KLB) dan hasil akhirnya, saya berkesimpulan bahwa dalam hal kaderisasi dan rekrutmen kepemimpinan ternyata selama ini belum tumbuh daun-daun harapan di tubuh PD. Antar-aliran sungai budaya politik di tubuh partai, misalnya aliran Anas Urbaningrum dan Cikeas, masih terbelah. Hanya ada satu ”sodetan” besar yang menghubungkan kedua aliran tersebut dan sekaligus menjadi katup pengaman, yaitu SBY.

Dalam konstruksi politik seperti itu, hasil KLB tampak terlalu manis untuk sebuah konsolidasi internal di PD. Ini disebabkan SBY menjadi faktor dominan, jika tidak boleh disebut tunggal, dalam menutup semua pembelahan yang ada di tubuh partai.

Akan tetapi, daya rekat politik yang bergantung pada satu figur tersebut sebenarnya berbahaya bagi kelangsungan hidup partai. Apa yang tampak terlalu manis di permukaan bisa jadi di dalamnya adalah semu dan fakta pahit, yaitu keretakan yang melembaga. Lebih buruk lagi jika ada kubu yang diam-diam memainkan orkes sakit hati.

Mereka memang tampak manis, gembira, bergoyang, dan menyelaraskan alunan musik seperti dimainkan pimpinan partai. Namun, kalau didalami, kesadaran politik mereka sebenarnya tak lebih dari sekadar memperebutkan kekuasaan, termasuk di dalam partai sendiri. Dengan kesabaran tinggi, mereka menutupi kekecewaan (apa pun sebabnya) dan menunggu saat yang tepat untuk mengambil alih kendali partai. Dalam perspektif politik, fenomena KLB yang terlalu manis harus dimaknai dalam kerangka tersebut.

Sodetan Baru

Sehubungan dengan hal tersebut, tugas utama Syarifuddin Hasan, Marzuki Alie, dan EE Mangindaan, yang masing-masing ditunjuk sebagai Ketua Harian DPP, Wakil Ketua Majelis Tinggi, dan Ketua Harian Dewan Pembina, bukanlah sekadar memutar roda partai guna menghadapi Pemilu 2014. Lebih penting dari itu, mereka harus menjadi ”sodetan-sodetan lain” sehingga orkes sakit hati berhenti dan aliran sungai budaya politik yang ada di partai tidak berubah menjadi ganas manakala SBY mengundurkan diri dari ketua umum.

Kalau soal pemilu, mereka juga tahu bahwa secara prediktif perolehan suara PD nanti, sesuai hasil jajak pendapat beberapa lembaga, adalah merosot. Ini berkaitan dengan sejarah politik Indonesia yang menempatkan figur lebih penting daripada partai. Pamor SBY tidak kuat lagi mengerek elektabilitas PD karena banyak unsur pimpinannya terlibat korupsi.

Kecuali, tentu saja, muncul figur baru yang tak terduga, segar, dan menjadi mimpi bersama seperti SBY dulu. Pendeknya, pemilu legislatif tahun depan memang bukan milik PD. Namun, mereka akan tetap memainkan peran penting, bahkan menentukan, apabila mampu menggalang koalisi dan mengusung tokoh prospektif sebagai calon presiden.

Jika para pemegang kewenangan di PD tidak menyadari fenomena tersebut, berarti mereka telah dimanipulasi oleh virus orkes sakit hati. Mereka ikut bergembira, bergoyang sambil menyanyikan lagu konsolidasi, dan merasa siap menghadapi Pemilu 2014. Padahal, tidak satu bata pun yang mereka letakkan untuk mendirikan katedral (baca: melakukan konsolidasi internal). Akibatnya, tidak tumbuh daun-daun harapan yang menaungi ”katedral” tersebut.

Seribu Sodetan

Tanpa tumbuhnya daun-daun harapan yang dikader secara sistematis, tidak tertutup kemungkinan PD akan dilanda konflik internal menjelang masa jabatan SBY sebagai ketua umum berakhir. Untuk menghindari hal tersebut, kaderisasi efektif dan rekrutmen kepemimpinan yang baik dalam dua tahun ke depan adalah kuncinya.

Sebagai daun-daun harapan, kader-kader yang baik bukan saja bisa menjadi seribu ”sodetan” yang menyatukan kekuatan aliran sungai budaya politik di tubuh partai, melainkan juga pasukan yang mampu melawan politisi lain. Saya memprediksi, pada Pemilu 2014, PD akan bersaing ketat melawan Partai Gerindra dan Hanura. Mereka juga akan berebut partai koalisi agar bisa mengusung calon presiden sendiri. Selebihnya, biarlah sejarah yang mencatat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar