Selasa, 02 April 2013

RUU Keamanan Nasional


RUU Keamanan Nasional
Bambang Kesowo  ; Pengajar Sekolah Pascasarjana Fakultas Hukum UGM
KOMPAS, 02 April 2013


Ketika DPR mengembalikan RUU Keamanan Nasional kepada Presiden SBY dengan permintaan untuk lebih disempurnakan, sejumlah pertanyaan merebak. Adakah yang salah dalam RUU itu? Atau, DPR sekadar ingin menunjukkan bahwa DPR tidak begitu saja mengikuti kemauan Presiden?

Pertanyaan serupa bermunculan seiring dengan berbagai desakan, terutama dari kalangan tertentu, untuk menolak RUU tadi. Namun, ketika Presiden begitu determinan dan mengirimkannya kembali ke DPR dengan permintaan agar DPR terlebih dahulu membahasnya, orang berpikir pasti ada sesuatu yang penting yang diharapkan dari kehadiran RUU itu nantinya. Baik dari segi politik maupun hukum, pengaturan soal keamanan nasional sebenarnya memang penting dan perlu!

Masa kini dan nanti pun—ketika kita menabalkan diri dan pikiran, atau ketika para pendiri negara merancang bahwa tujuan kemerdekaan adalah membentuk negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur, dan menegaskan tugas pemerintahan negara yang dibentuk adalah untuk antara lain melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, soal keamanan bagi segenap bangsa dan negara sesungguhnya merupakan kebutuhan bangsa dan negara itu sendiri.

Penyelenggaraan fungsi keamanan adalah kebutuhan utama bangsa dan negara, di samping memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia. Hal itu tersurat dengan amat jelas dalam Pembukaan UUD sejak 1945. Karena itu, tidak perlu bersusah-payah mencari padanan atau acuan dengan konsep national security dari negara lain.

Segenap bangsa, seluruh rakyat, warga negara, dan pribadi memerlukan perlindungan jaminan keamanan terhadap hak-haknya yang asasi, hak-hak politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Bahkan, juga keamanan mereka sebagai satu entitas, eksistensi mereka sebagai satu bangsa. Begitu pula, negara memerlukan keamanan, memerlukan jaminan bahwa ia mampu menjaga dan mempertahankan eksistensinya, menjaga keamanan dirinya dari apa pun dan dari mana pun asalnya, eksternal dan internal. Negara membutuhkan jaminan keamanan agar selalu mampu menyelenggarakan tugas dan fungsinya, yakni mewujudkan tujuan pembentukannya.

Kalau semua jujur dan mau berpikir tenang, sesungguhnya pengaturan jaminan itulah yang justru sedari awal mesti kita wujudkan. Di sektor negara, harus diakui bahwa setelah lebih dari setengah abad usia NKRI, pengaturan untuk mewujudkan jaminan sebagai jabaran cita itu belum kita wujudkan. 

Sejumlah UU seperti Pertahanan Negara, TNI, dan Kepolisian lahir bukan karena jabaran tadi, tetapi karena doktrin dan kuasa politik yang senyatanya mengendalikan pikir dan kebutuhan dalam praktik kehidupan masa lalu. UU Anti Tindak Pidana Korupsi, UU Anti Teror, UU Intelijen, dan lain-lain yang selama ini ada di sektor publik justru semestinya menjadi jabaran dari UU Keamanan Nasional, dan bukan sebaliknya.

Jaminan Keamanan Bagi Rakyat

Bagaimana dengan pengaturan jaminan keamanan bagi segenap bangsa/rakyat/ warga negara/pribadi? Pengaturan dalam UU Pemilu, Kepartaian, Keormasan, KUHP dan KUHAP, KUH Perdata, Perkawinan, Haki, dan pengaturan di bidang usaha, serta perlindungan hak-hak yang asasi sifatnya, bagaimanapun juga telah ada. Dengan segala kekuranglengkapan atau kekurangsempurnaannya—dan dengan tetap memperhatikan sejarah, pengalaman kolektif kita serta dinamika dalam kehidupan kebangsaan, pengaturan yang hakikatnya memberi jaminan keamanan tersebut telah ada. Namun, terlepas dari semua alasan dan kondisionalitas yang menjelaskan keberadaannya, ataupun dari segi logika dan disiplin pikir, sebenarnya juga jelas itu semua adalah dan semestinya merupakan jabaran konsepsi keamanan yang harus diberikan negara kepada bangsa/rakyat, warga negara, dan pribadi-pribadi yang ada di dalamnya.

Lantas, jika harus demikian, mengapa begitu banyak pihak menolak RUU tersebut? Apakah ada masalah teknis perumusan dalam RUU yang menimbulkan tafsir dan atau kekhawatiran tentang lingkup jangkauannya? Ataukah, pengalaman dan sentimen sosial-politik masa lalu yang memunculkan keraguan atau bahkan kecurigaan terhadap RUU ini? Tampaknya demikian bila kita teliti menelaah RUU dan pola pikir yang melatarbelakanginya. Alih-alih menjadi penjabaran dari konsepsi keamanan nasional dari UUD yang sesungguhnya memang penting dan perlu, telaah terhadap rumusan demi rumusan dalam RUU berikut naskah akademik yang melandasinya mengantar kita kepada beberapa hal yang membuat kita tercenung.

Pertama, RUU yang seharusnya berisi jabaran pertama terhadap citra perlindungan bangsa dan negara ternyata lebih mengesankan sebagai instrumen teknis untuk mengatasi gangguan terhadap keamanan, stabilitas keamanan, dan kepentingan nasional. Kebutuhan instrumen legal untuk mengatasi gangguan keamanan terasa lebih mewarnai RUU Kamnas. Gangguan keamanan ini termasuk yang berasal dari kelompok bersenjata, tindakan teror, atau tindakan pengacauan dan tindak kriminal lain yang mengguncang keseimbangan dalam masyarakat, mengganggu ketenteraman umum, atau ancaman terhadap pribadi, yang dari pengalaman dan kosakata kontemporer dirangkum sebagai gangguan terhadap stabilitas, ketertiban, dan keamanan umum, atau terhadap kelancaran pembangunan.

Kedua, pemikiran yang terfokus pada kebutuhan instrumen legal untuk mengatasi ancaman dan gangguan keamanan serta pembangunan tampaknya telah secara spesifik mendorong penyisipan akumulatif serta pengacuan terhadap sejumlah peraturan perundang-undangan tentang pertahanan negara, TNI, Kepolisian RI, terorisme, keadaan kedaruratan, dan lain-lain yang selama ini dirasa akan menakutkan sebagian kalangan masyarakat.

Fokus terhadap penanganan ancaman dan gangguan keamanan yang terlalu kasatmata pada saat yang sama juga menghadirkan pertanyaan dari sisi perundang-undangan. Mengapa RUU Kamnas yang semestinya menjadi jabaran utama dari konsep perlindungan dan keamanan bagi bangsa dan negara malah terbalik seakan akan merupakan ”penarikan/pengangkatan” berbagai norma dalam banyak UU yang seharusnya justru menjadi derivat (R)UU Kamnas?

Soal Kamnas dan RUU Kamnas tak perlu harus selalu disintesiskan dengan pengaturan keadaan darurat dan penahapannya. Penanganan gangguan keamanan tak selalu harus menghadirkan penahapan keadaan darurat. Mungkin ada kaitannya, tetapi tak selalu harus dikaitkan. Soal kedaruratan dalam suatu negara dan penahapannya adalah kasus atau peristiwa yang spesifik/istimewa, dan memerlukan pengelolaan khusus yang sejajar dengan tiap penahapan di dalamnya. Begitu pula, RUU Kamnas tidak perlu harus selalu dikaitkan dengan soal bencana. Bukankah soal keamanan tidak selalu harus ada dan seiring dengan bencana, dan begitu juga sebaliknya?

Tak Fokus

Pencampuradukan di atas tidak hanya menjadikan RUU Kamnas tak fokus, tetapi juga memunculkan beban yang berat. Oleh perancangnya, RUU Kamnas seolah dimaksudkan seperti pengaturan sapu jagat untuk mengatasi ancaman dan gangguan terhadap keamanan itu sendiri. Keamanan seyogianya diberi pemahaman yang lebih luas dan ”sejuk” dari sekadar soal ancaman dan gangguan serta tindakan teknis untuk mengatasinya. Keamanan tampaknya mesti diberi konotasi awal sebagai perlindungan dan rasa aman/sejahtera walau di ujung lain juga bermakna pertahanan dan penindakan. Perumusannya lebih baik dibuat fokus dan tidak melebar hingga memberi pintu masuk berbagai argumentasi yang bisa-bisa hanya membuat semuanya bingung dan prosesnya lama. Lantas, bagaimana sebaiknya?

RUU Kamnas yang sejatinya penting dan perlu, dan sewajarnya didukung semua elemen bangsa tanpa kecuali, tidak semestinya bermuatan begitu luas hingga soal-soal ”cabang” tadi. Norma pokok yang semestinya diteguhkan sebagai hak negara untuk melindungi diri dan eksistensinya dari ancaman—baik dari luar maupun dari dalam, dan yang menjamin negara agar selalu mampu menyelenggarakan fungsi dan tujuannya—itulah yang harus menjadi materi muatan substantif. Demikian pula, kewajiban negara menyelenggarakan jaminan terhadap hak-hak asasi, hak-hak sosial-budaya-politik bangsa/rakyat/ warga negara atau pribadi-pribadi di dalamnya (termasuk keikutsertaan mereka dalam bela negara).

Di sektor negara, sejumlah peraturan perundang-undangan seperti Pertahanan Negara, TNI, Polri, Keadaan Darurat, Anti-teror, dan Anti-narkoba adalah penjabaran, dan semestinya merupakan derivat dari UU Kamnas; bukan sebaliknya, dan bukan pula harus menjadi UU yang sejajar dengan perundang-undangan sektoral tersebut. Bahkan, sudah semestinya jika semua peraturan perundang-undangan tersebut disesuaikan dengan (R)UU Kamnas.

Diperlukan sikap luwes pemerintah untuk bersedia dan terbuka menata ulang konsepsi itu. Menteri Pertahanan secara terbuka menyatakan bahwa RUU tersebut terbuka untuk penyempurnaan. Pikiran dan hati yang dingin serta sikap kenegarawanan semua pihak diperlukan untuk bersama-sama memperbaiki tanpa mempersoalkan menang-kalah. Secara politik, juga sudah waktunya partai-partai politik yang selama ini berkoalisi sebagai pendukung kritis pemerintah menunjukkan peran yang lebih konkret untuk menyelesaikan RUU Kamnas itu. Bukankah yang akan dijabarkan adalah soal yang prinsip, yang utama, dan yang justru langsung dari pokok pikiran dalam UUD, dan semestinya sudah dilakukan dulu-dulu? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar