Selasa, 02 April 2013

CSR untuk Pembangunan Jakarta


CSR untuk Pembangunan Jakarta
Jalal  ;   Aktivis Lingkar Studi Corporate Social Responsibility (CSR)
KORAN TEMPO, 02 April 2013

  
Salah satu wacana yang secara konsisten digelontorkan oleh Gubernur DKI Jakarta, Jokowi, sejak pertama kali diberi mandat untuk memimpin Jakarta adalah bagaimana tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) dapat menyumbang pada pembangunan di Ibu Kota.
Tempo baik versi online maupun cetak adalah salah satu media massa yang terus memberitakan mengenai hal ini. Pada Februari lalu, Tempo melaporkan bahwa sang Gubernur telah mendapatkan bantuan perusahaan untuk penataan pedagang kaki lima (14/2), menjanjikan kemudahan perizinan perusahaan yang ber-CSR (15/2), menyelesaikan seluruh kebutuhan penghuni Rusun Marunda lewat bantuan perusahaan (21/2), serta mendapatkan bantuan teknologi untuk memanen air hujan (27/2).
Pada Maret lalu, berita soal ini dimulai dengan imbauan kepada perusahaan untuk membeli lahan di hulu sungai untuk kemudian dihijaukan (4/3), disusul oleh bantuan dari sebuah perusahaan kesehatan untuk membiayai sistem peningkatan kesehatan (15/3), wacana mengenai pembiayaan perusahaan untuk lelang jabatan di lingkup pemerintah daerah DKI (21/3), kehendak untuk mencari bantuan perusahaan guna mendukung transportasi dan konsumsi calon jemaah haji DKI (26/3), imbauan agar perusahaan yang relatif dekat dengan wilayah rawan kebakaran bisa menyumbangkan sumber dayanya untuk peningkatan layanan pemadam kebakaran (29/3), dan yang terakhir adalah pernyataan Jokowi bahwa CSR adalah kewajiban menurut regulasi dan harapan agar perusahaan di Jakarta memanfaatkannya untuk mendukung pembangunan (29/3).
Ada banyak hal yang sangat menarik dari berita-berita tersebut. Walaupun Jokowi tak pernah secara tegas menyatakan bagaimana pemahamannya soal CSR, berbagai ujaran dan langkah yang diambilnya menunjukkan bahwa ia sangat berbeda sikap terhadap CSR dibandingkan dengan kebanyakan politikus dan pemimpin daerah lain. Meski demikian, sikap Jokowi terhadap CSR juga bukannya tanpa celah untuk dikritik.
Beberapa hal yang dapat dinyatakan sebagai keunggulan Jokowi terkait CSR adalah sebagai berikut. Pertama, Jokowi tidak menentukan besaran sumber daya finansial perusahaan yang dipergunakan untuk ber-CSR sebagai proporsi atas keuntungan atau penjualan. Hal ini sangat berbeda dengan kebanyakan politikus di tingkat nasional maupun lokal yang terus-menerus menginginkan adanya aturan besaran "dana CSR" dari keuntungan perusahaan. Padahal seluruh pakar CSR telah sepakat sejak dulu bahwa sumber daya finansial untuk ber-CSR tak bisa dihitung dari keuntungan perusahaan, melainkan harus dihitung sebagai bagian dari investasi (Kang dan Wood, 1995).
Kedua, Jokowi juga tak pernah menyatakan hendak memasukkan dana CSR sebagai bagian dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Sedangkan sebagian besar pemimpin daerah yang melihat potensi sumber daya perusahaan ini cenderung memaksakan perpindahannya ke dalam kas daerah. Apa yang dilakukan oleh kebanyakan kepala daerah itu sesungguhnya bertentangan dengan UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang bersifat eksklusif, melarang pemungutan apa pun yang tidak ada di dalam UU tersebut. Juga, UU Perseroan Terbatas serta PP Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) menegaskan bahwa tanggung jawab tersebut sepenuhnya berada di tangan perusahaan, sehingga sumber dayanya tak bisa diserahkan kepada pihak lain.
Ketiga, terdapat kesesuaian antara bisnis inti perusahaan dan apa yang mereka lakukan untuk membantu pemerintah daerah serta masyarakat DKI. Dalam membereskan masalah kampung kumuh dan Rusun Marunda, Jokowi terutama menggandeng perusahaan properti. Sedangkan dalam program perbaikan sistem kesehatan, perusahaan di bidang kesehatan-lah yang diajak. Menurut banyak pakar, kesesuaian dengan bisnis inti adalah salah satu komponen pokok dalam bentuk CSR yang strategis (Werther dan Chandler, 2010; Sirsly dan Lamertz, 2008).
Keempat, perspektif geografis ditegaskan oleh Jokowi sebagai unsur yang penting dalam ber-CSR. Dalam kasus penanganan kebakaran, imbauan ditujukan kepada perusahaan yang beroperasi di wilayah yang relatif dekat dengan wilayah rawan kebakaran. Di sisi lain, perspektif yang lebih luas digunakan ketika mengimbau perusahaan untuk membeli lahan di daerah tangkapan air untuk dihijaukan. Kedua hal ini menunjukkan pemahaman yang sangat baik terhadap bagaimana kaitan antara ruang dan penyelesaian masalah keberlanjutan (Whitehead, 2007).
Kelima, Jokowi juga menunjukkan hal yang tak pernah ditunjukkan oleh pemimpin daerah mana pun, yaitu penyataan bahwa perusahaan yang ber-CSR akan diberikan insentif berupa kemudahan perizinan. Hal ini tidak hanya sejalan dengan PP TJSL, tapi juga menunjukkan pemahaman atas sisi lain dari tanggung jawab, yaitu hak, sebagaimana tergambar dalam konsep corporate citizenship (Matten dan Crane, 2003). Sementara itu, di banyak tempat, perusahaan mengeluhkan bahwa, ketika mereka sudah menjalankan seluruh tanggung jawabnya, hak-hak mereka tetap saja tidak dipenuhi oleh pemerintah daerah.
Meski demikian, Jokowi serta jajaran di bawahnya masih perlu membenahi beberapa hal. Bagaimanapun, Jokowi masih terlalu kerap mereduksi CSR sebagai sekadar dana perusahaan, padahal seharusnya ia bisa mendorong perusahaan di Jakarta untuk menjalankan tanggung jawab penuh atas dampak?positif dan negatif?yang mereka timbulkan, sebagaimana pengertian CSR yang sebenarnya. Dengan setengah bercanda Jokowi juga kerap melontarkan kebutuhan untuk pelaksanaan kegiatan CSR secara cepat, padahal terdapat aturan untuk memasukkan detail kegiatan dan anggaran dalam rencana kerja dan anggaran tahunan perusahaan.
Kalau memang hendak memanfaatkan CSR secara optimal untuk pembangunan Jakarta, Jokowi sebaiknya membuat forum perencanaan pembangunan yang melibatkan seluruh perusahaan yang beroperasi di Jakarta. Melalui forum itu, Jokowi bisa memaparkan seluruh kebutuhan pembangunan di Jakarta, termasuk yang bisa dilakukan oleh perusahaan. Sebaiknya paparan itu dilakukan sekitar bulan Agustus atau September, sehingga perusahaan kemudian bisa memasukkan kegiatan dan sumber daya yang dibutuhkannya untuk tahun mendatang. Dengan demikian, kontribusi perusahaan bisa optimal, dan tertib administrasi bisa ditegakkan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar