Dalam
waktu dekat, negara- negara di kawasan Asia Tenggara akan memasuki fase
baru dalam percaturan perekonomian global.
Tepatnya pada
2015 nanti, ASEAN akan terintegrasi menjadi satu masyarakat ekonomi yang
tergabung dalam ASEAN Economic
Community (AEC). Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN Ke-19 yang
diselenggarakan di Bali tanggal 17 November 2011, para pemimpin negara-negara
ASEAN telah merumuskan kesepakatan bersama berupa pencapaian ASEAN Community yang dimulai
dengan penerapan ASEAN Economic
Community pada 2015.
ASEAN Community terdiri atas tiga pilar
utama yang saling terintegrasi, yakni ASEAN
Security Community, ASEAN Economic Community, dan ASEAN Socio-Culture Community. Adapun tujuan dari AEC ini
adalah untuk mendorong efisiensi dan daya saing ekonomi di kawasan ASEAN,
meliputi empat hal, yaitu menuju single
market dan production base,
menuju penciptaan kawasan regional ekonomi yang berdaya saing tinggi,
menuju satu kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata serta menuju
integrasi penuh pada ekonomi global.
Tentu saja,
penerapan AEC ini akan berdampak pada perekonomian negara-negara di
kawasan ASEAN. Terbukanya akses-akses ekonomi akan memunculkan persaingan
di sektor usaha semakin tinggi. Bukan hanya bersaing di dalam negeri,
pengusaha-pengusaha Indonesia akan berhadapan secara langsung dengan
pengusaha di tingkat regional.
Indonesia di Persimpangan Jalan
Penerapan AEC
2015 meletakkan perekonomian Indonesia di tengah persimpangan. Pertama,
jika Indonesia mampu memanfaatkannya, perekonomian Indonesia akan
mencapai kejayaan. Kejayaan dalam arti Indonesia sebagai bangsa besar
yang berpengaruh dan dihormati dunia, khususnya ASEAN, karena mampu
memanfaatkan semangat globalisasi. Artinya, dengan penerapan AEC 2015,
terbuka pasar yang lebih luas bagi pengusaha Indonesia.
Jika
pengusaha-pengusaha Indonesia bisa bersaing dengan pengusaha ASEAN,
terbuka kemungkinan untuk melakukan ekspansi ke negara tetangga.
Persimpangan kedua, perekonomian Indonesia akan terjun bebas. Artinya
Indonesia hanya dimanfaatkan sebagai pasar bagi berbagai komoditas barang
dan jasa negara-negara ASEAN. Dengan tingkat kondusivitas pertumbuhan
perekonomian serta jumlah populasi penduduk terbesar di ASEAN, sangat
memungkinkan skenario ini terjadi.
Pasar
domestik Indonesia merupakan pasar yang sangat menggiurkan bagi berbagai
produk impor. Melihat realitas tantangan yang dihadapi, Indonesia harus
mulai berbenah. Tidak banyak waktu bagi Indonesia untuk memperbaiki daya
saing perekonomian nasional. Padahal begitu banyak yang perlu segera
dilakukan untuk mengatasi berbagai ketertinggalan, khususnya dalam
kecepatan doing business, peraturan dan perundangan, birokrasi,
permodalan, infrastruktur, dan kualitas produk. Peningkatan daya saing
adalah kebutuhan masa kini yang harus segera dipenuhi.
Pada 2013 ini
ada beberapa tantangan yang dihadapi sektor usaha nasional dalam upaya
peningkatan daya saing perekonomian nasional: tarik ulur kenaikan harga
BBM bersubsidi, kenaikan tarif dasar listrik, dan kenaikan upah minimum.
Belum lagi tarik ulur masalah ketenagakerjaan, tingkat korupsi yang masih
tinggi, hingga masalah maraknya pungutan liar. Mau tidak mau,
permasalahan tersebut harus segera diatasi. Apalagi pada 2013 ini
Indonesia sudah memasuki tahun politik. Seluruh konsentrasi nasional akan
terpusat pada proses suksesi nasional yang akan berlangsung pada 2014.
Namun, tanpa
disadari masyarakat umum, seiring berakhirnya pemilu, ada tantangan yang
lebih besar, yaitu AEC 2015. Kita berharap, adanya AEC 2015 akan memicu
tumbuhnya pengusaha-pengusaha yang bukan hanya mampu bersaing di panggung
nasional, tetapi juga mampu bersaing di tataran global. Peluang emas saat
ini terpampang di depan mata. Sangat sayang jika peluang emas tersebut
tidak bisa dimanfaatkan Indonesia. Saat ini perusahaan nasional sulit
meningkatkan daya saing dikarenakan hambatan ekonomi biaya tinggi, iklim
investasi yang belum kondusif, serta hambatan kapasitas institusional.
Padahal
peluang emas tersebut seyogianya menjadi faktor pemercepat bagi
terwujudnya “Asianisme” yang sudah diprediksi banyak pihak sebelumnya.
Asianisme—menggantikan Westernisme—adalah fenomena atau tepatnya zaman di
mana perekonomian dunia digerakkan oleh perekonomian di Asia, khususnya
Asia Tenggara. Yang perlu dicatat, Asianisme tidak hanya terbatas pada
pengertian Asia sebagai pasar, tapi juga Asia sebagai produsen barang dan
jasa dengan kualitas dan harga yang sangat kompetitif bagi pasar-pasar
negara Barat.
Sayangnya
baru sedikit dari perusahaan Indonesia yang memiliki kemampuan untuk
menembus pasar regional dan internasional. Justru yang terjadi
sebaliknya. Di pasar dalam negeri sendiri pun produsen nasional kalah
bersaing dengan barang dan jasa impor. Hal itu patut disayangkan karena
sebelum merambah pasar regional, produsen nasional sebaiknya mendominasi
pasar dalam negeri terlebih dahulu. Apalagi mengingat ukuran pasar
Indonesia yang begitu besar, setiap produsen nasional memiliki kesempatan
untuk mencapai skala ekonomis yang cukup besar sehingga menurunkan ongkos
produksi secara signifikan.
Hal itulah
yang dilakukan China secara agresif dalam dua dekade terakhir, khususnya
setelah menjadi anggota World Trade
Organization (WTO). Akibatnya, perusahaan nasional yang sudah
membangun pangsa pasar selama bertahun-tahun justru khawatir pasarnya
tergerus dalam sekejap oleh impor dari China yang jauh lebih murah dengan
kualitas yang sering kali lebih baik. Oleh karena itu, dalam pandangan
saya, dalam menghadapi AEC ada beberapa sektor yang harus dibenahi.
Pertama, memberlakukan kebijakan yang tepat untuk meningkatkan daya saing
sektor usaha nasional milik negara maupun swasta di seluruh sektor
unggulan di seluruh Nusantara.
Hal ini dapat
dilakukan dengan perbaikan indikator doing business dan kepastian hukum.
Kedua, penyediaan infrastruktur yang akan memotong praktik ekonomi biaya
tinggi. Ketiga, menjaga stabilitas nasional jelang Pemilu 2014 dan
menjaga konsistensi kebijakan pasca-2014. Keempat, perumusan kebijakan
yang berpihak pada pengusaha pemula dan pengusaha lokal. Kelima,
mempermudah akses permodalan. Keenam, melakukan pencitraan Indonesia di
berbagai forum internasional. Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan
keikutsertaan Indonesia di forumforum internasional.
Terutama
untuk mencitrakan Indonesia sebagai surga investasi. Melihat tantangan
demikian, tidak ada kata lain, Indonesia harus segera berbenah. Sebab hal
inilah yang akan menentukan langkah Indonesia di AEC 2015. Apakah sebagai
pemain ataukah hanya menjadi penonton saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar