Senin, 15 April 2013

Tantangan dan Peluang AEC


Tantangan dan Peluang AEC
Bayu Priawan Djokosoetono  Bendahara Umum
BPP Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) 
KORAN SINDO, 15 April 2013
  

Dalam waktu dekat, negara- negara di kawasan Asia Tenggara akan memasuki fase baru dalam percaturan perekonomian global. 

Tepatnya pada 2015 nanti, ASEAN akan terintegrasi menjadi satu masyarakat ekonomi yang tergabung dalam ASEAN Economic Community (AEC). Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN Ke-19 yang diselenggarakan di Bali tanggal 17 November 2011, para pemimpin negara-negara ASEAN telah merumuskan kesepakatan bersama berupa pencapaian ASEAN Community yang dimulai dengan penerapan ASEAN Economic Community pada 2015. 

ASEAN Community terdiri atas tiga pilar utama yang saling terintegrasi, yakni ASEAN Security Community, ASEAN Economic Community, dan ASEAN Socio-Culture Community. Adapun tujuan dari AEC ini adalah untuk mendorong efisiensi dan daya saing ekonomi di kawasan ASEAN, meliputi empat hal, yaitu menuju single market dan production base, menuju penciptaan kawasan regional ekonomi yang berdaya saing tinggi, menuju satu kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata serta menuju integrasi penuh pada ekonomi global. 

Tentu saja, penerapan AEC ini akan berdampak pada perekonomian negara-negara di kawasan ASEAN. Terbukanya akses-akses ekonomi akan memunculkan persaingan di sektor usaha semakin tinggi. Bukan hanya bersaing di dalam negeri, pengusaha-pengusaha Indonesia akan berhadapan secara langsung dengan pengusaha di tingkat regional. 

Indonesia di Persimpangan Jalan 

Penerapan AEC 2015 meletakkan perekonomian Indonesia di tengah persimpangan. Pertama, jika Indonesia mampu memanfaatkannya, perekonomian Indonesia akan mencapai kejayaan. Kejayaan dalam arti Indonesia sebagai bangsa besar yang berpengaruh dan dihormati dunia, khususnya ASEAN, karena mampu memanfaatkan semangat globalisasi. Artinya, dengan penerapan AEC 2015, terbuka pasar yang lebih luas bagi pengusaha Indonesia. 

Jika pengusaha-pengusaha Indonesia bisa bersaing dengan pengusaha ASEAN, terbuka kemungkinan untuk melakukan ekspansi ke negara tetangga. Persimpangan kedua, perekonomian Indonesia akan terjun bebas. Artinya Indonesia hanya dimanfaatkan sebagai pasar bagi berbagai komoditas barang dan jasa negara-negara ASEAN. Dengan tingkat kondusivitas pertumbuhan perekonomian serta jumlah populasi penduduk terbesar di ASEAN, sangat memungkinkan skenario ini terjadi. 

Pasar domestik Indonesia merupakan pasar yang sangat menggiurkan bagi berbagai produk impor. Melihat realitas tantangan yang dihadapi, Indonesia harus mulai berbenah. Tidak banyak waktu bagi Indonesia untuk memperbaiki daya saing perekonomian nasional. Padahal begitu banyak yang perlu segera dilakukan untuk mengatasi berbagai ketertinggalan, khususnya dalam kecepatan doing business, peraturan dan perundangan, birokrasi, permodalan, infrastruktur, dan kualitas produk. Peningkatan daya saing adalah kebutuhan masa kini yang harus segera dipenuhi. 

Pada 2013 ini ada beberapa tantangan yang dihadapi sektor usaha nasional dalam upaya peningkatan daya saing perekonomian nasional: tarik ulur kenaikan harga BBM bersubsidi, kenaikan tarif dasar listrik, dan kenaikan upah minimum. Belum lagi tarik ulur masalah ketenagakerjaan, tingkat korupsi yang masih tinggi, hingga masalah maraknya pungutan liar. Mau tidak mau, permasalahan tersebut harus segera diatasi. Apalagi pada 2013 ini Indonesia sudah memasuki tahun politik. Seluruh konsentrasi nasional akan terpusat pada proses suksesi nasional yang akan berlangsung pada 2014. 

Namun, tanpa disadari masyarakat umum, seiring berakhirnya pemilu, ada tantangan yang lebih besar, yaitu AEC 2015. Kita berharap, adanya AEC 2015 akan memicu tumbuhnya pengusaha-pengusaha yang bukan hanya mampu bersaing di panggung nasional, tetapi juga mampu bersaing di tataran global. Peluang emas saat ini terpampang di depan mata. Sangat sayang jika peluang emas tersebut tidak bisa dimanfaatkan Indonesia. Saat ini perusahaan nasional sulit meningkatkan daya saing dikarenakan hambatan ekonomi biaya tinggi, iklim investasi yang belum kondusif, serta hambatan kapasitas institusional. 

Padahal peluang emas tersebut seyogianya menjadi faktor pemercepat bagi terwujudnya “Asianisme” yang sudah diprediksi banyak pihak sebelumnya. Asianisme—menggantikan Westernisme—adalah fenomena atau tepatnya zaman di mana perekonomian dunia digerakkan oleh perekonomian di Asia, khususnya Asia Tenggara. Yang perlu dicatat, Asianisme tidak hanya terbatas pada pengertian Asia sebagai pasar, tapi juga Asia sebagai produsen barang dan jasa dengan kualitas dan harga yang sangat kompetitif bagi pasar-pasar negara Barat. 

Sayangnya baru sedikit dari perusahaan Indonesia yang memiliki kemampuan untuk menembus pasar regional dan internasional. Justru yang terjadi sebaliknya. Di pasar dalam negeri sendiri pun produsen nasional kalah bersaing dengan barang dan jasa impor. Hal itu patut disayangkan karena sebelum merambah pasar regional, produsen nasional sebaiknya mendominasi pasar dalam negeri terlebih dahulu. Apalagi mengingat ukuran pasar Indonesia yang begitu besar, setiap produsen nasional memiliki kesempatan untuk mencapai skala ekonomis yang cukup besar sehingga menurunkan ongkos produksi secara signifikan. 

Hal itulah yang dilakukan China secara agresif dalam dua dekade terakhir, khususnya setelah menjadi anggota World Trade Organization (WTO). Akibatnya, perusahaan nasional yang sudah membangun pangsa pasar selama bertahun-tahun justru khawatir pasarnya tergerus dalam sekejap oleh impor dari China yang jauh lebih murah dengan kualitas yang sering kali lebih baik. Oleh karena itu, dalam pandangan saya, dalam menghadapi AEC ada beberapa sektor yang harus dibenahi. Pertama, memberlakukan kebijakan yang tepat untuk meningkatkan daya saing sektor usaha nasional milik negara maupun swasta di seluruh sektor unggulan di seluruh Nusantara. 

Hal ini dapat dilakukan dengan perbaikan indikator doing business dan kepastian hukum. Kedua, penyediaan infrastruktur yang akan memotong praktik ekonomi biaya tinggi. Ketiga, menjaga stabilitas nasional jelang Pemilu 2014 dan menjaga konsistensi kebijakan pasca-2014. Keempat, perumusan kebijakan yang berpihak pada pengusaha pemula dan pengusaha lokal. Kelima, mempermudah akses permodalan. Keenam, melakukan pencitraan Indonesia di berbagai forum internasional. Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan keikutsertaan Indonesia di forumforum internasional. 

Terutama untuk mencitrakan Indonesia sebagai surga investasi. Melihat tantangan demikian, tidak ada kata lain, Indonesia harus segera berbenah. Sebab hal inilah yang akan menentukan langkah Indonesia di AEC 2015. Apakah sebagai pemain ataukah hanya menjadi penonton saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar