Kamis, 18 April 2013

Berlari untuk Kedamaian


Berlari untuk Kedamaian
Sandiago S Uno   Komunitas Berlari Untuk Berbagi
DETIKNEWS, 17 April 2013


Sungguh kesedihan menghujam, tragedi itu telah membuat upaya merekat damai di bumi semakin rumit. Campuraduk rasa yang tak bisa diwakili kata-kata, teriring doa, semoga mereka yang menjadi korban mendapat kasih dari-Nya. Semoga, kekejian seperti ini jangan pernah terekam lagi dalam sejarah.

Tidak belaskasih, walau pun tak mewakili, kata itu menyematkan kegeraman di dalam diri sebagai manusia berakal sehat atas tragedi bom yang terjadi di Boston, Amerika Serikat, Senin waktu setempat, Selasa (16/4) waktu Indonesia. Boston Marathon sendiri, tadinya jadi salah satu agenda maraton yang ingin saya ikuti untuk kegiatan amal: berlari untuk berbagi. Namun, karena ada kegiatan lain, agenda tersebut dibatalkan. Ada rasa syukur menyelinap karena diselamatkan oleh Sang Pencipta. Namun, rasa sedih ini lebih kuat hinggap, apalagi jika ingat, bahwa para pelari maupun pengunjung yang hadir menjadi suporter, mereka semua ikut datang untuk satu tujuan damai.

Batin ini pun bertanya, mengapa hal ini masih terjadi? Rasanya tak masuk akal ketika itu terjadi. Korban bom Boston adalah manusia-manusia tak berdosa, yang sama sekali tak mengerti soal politik atau berbagai hal yang melatari peristiwa itu.

Mereka adalah pelari, dan para suporter sedang memberi semangat kepada siapa pun pelari yang mencapai garis finish. Tanpa pandang ras, agama, atau status ekonomi. Derajat kemanusiaan semakin mendekati keagungannya.

Teror itu telah menodai niat tulus kemanusiaan. Pengingkaran hakikat kemanusiaan, karena ketika kewelasasihan lintas batas tengah diaktualkan, kekejian dihororkan. Universalitas kebaikan yang tengah diperjuangkan ditantang antitesis bernama kebencian.

Apapun alasannya, tak sebiji zarah pun kebenarannya. Jelasnya, pelakunya tengah menyebarkan pesan kekerasan yang harus dilawan. Karena mereka tengah menyebar teror, ketakutan dan kebencian. Energi negatif yang terus menyebarkan api kemarahan, sedikit demi sedikit menghapus kedamaian.

Bukankah kita ini menginginkan perdamaian? Harap itu semakin tegas karena dunia kita, sebagaimana dikatakan Thomas L Friedman, telah menjadi datar, tanpa batas. Dunia yang kita tempati ini, telah semakin sesak dan panas. Tak sekedar semakin tingginya emisi karbon dan berkurangnya hutan hijau, teror bom sebagai pemantik, panasnya planet kecil ini semakin tinggi derajatnya. Belum lagi jumlah penduduk yang mengisinya. 

Tahun 2007, United Nations Population Division melaporkan dan memperhitungkan, jika tahun 2050, diperkirakan bumi akan diisi oleh 9,2 miliar manusia. Thoraya Ahmed Obaid meramalkan bahwa pada tahun 2030, diperkirakan ada kebutuhan sekitar 500 ribu kota kecil untuk tempat tinggal manusia secara global. Konsekuensinya akan terjadi peningkatan konsumsi sumber daya energi, makanan dan air serta terjadinya migrasi penduduk antar kota dan antar negara. Thoraya pun mengaku jika sesungguhnya persoalan itu sangat menakutkan.

Saat ini, Friedman menyebutkan tengah terjadi kemiskinan energi. Ada jurang perbedaan antara belahan dunia yang serba berenergi listrik dan kekurangan pasokan listrik. Kondisi ini yang disebut era energy-climate. Begitulah Friedman meramalkan dalam bukunya yang berjudul: 'Hot, Flat and Crowded.'

Jean Baudrillard bahkan mengingatkan, teror kini semakin tanpa batas demografis. Efeknya meluas karena televisi dan media komunikasi-informasi terlibat sebagai katalisator penyebarnya. Mereka, kaum teroris, berpahamkan ideologi yang menghalalkan penggunaan kekerasan, menimbulkan efek teror (rasa takut), demi tujuan ekonomi, ideologi dan agama yang salah kaprah.

Sinergi Global

Terorisme hanya lahir dalam dunia yang dipenuhi dengan ketidakadilan dimana teror menjadi metode perlawanan dan ungkapan marah si lemah ketika melawan si kuat atau sebaliknya, ketika yang kuat menindas yang lemah.

Meski demikian, gerakan melawan terorisme idealnya tidak dilakukan dengan melakukan teror balik. Walaupun ada adagium tak ada damai tanpa pedang ditangan yang adil, keinginan bersama untuk damai akan menjadi kekuatan sosial yang besar, mendesak semua penghalang, kekuatan anti kedamaian.

Terkait upaya menuntaskan tragedi Boston tersebut, Presiden Amerika Serikat Barack Obama sendiri menegaskan, akan segera mengungkap dan menangkap pelakunya. Menurutnya, para agen FBI yang berada di garda depan menyelamatkan para korban, melawan para setan dunia bernama terorisme adalah bangsa Amerika sejati yang dengan percaya diri, penuh welasasih dan tanpa rasa takut. Sebuah tantangan baru di negeri adikuasa tersebut, ketika mereka baru saja menyepakati program melawan kekerasan dan pembunuhan, seperti tragedi Sandy Hook.

Saya kira, manusia sejati juga demikian, penuh kemurahatian, peduli dan dengan gairah tinggi melayani sesamanya. Karena itu, berbagai gerakan perdamaian yang tumbuh pada berbagai kelompok sosial di hampir seluruh negara harus disinergikan. Menjadi gerakan global, gerakan perdamaian bisa dilakukan pada hal sederhana, namun dilakukan bersama, bersinergi dan saling mendukung satu sama lain. Gerakan lain yang tak kalah pentingnya adalah menguatkan pilar sosial kemasyarakatan yang komunitas mandiri, sejahtera dan berkeadilan. Peran kewirausahaan sosial menjadi ujung tombak gerakannya.

Kami sendiri, memiliki program berlari untuk berbagi. Donasi disampaikan ke berbagai yayasan dan komunitas untuk memberdayakan komunitas sosial. Ada ribuan keluarga yang telah merasakan hasilnya. Akses kepada pendidikan, sosial dan kesehatan mulai diraih dengan mudah. Begitu pun kemandirian ekonomi, bantuan modal usaha benar-benar menjadikan banyak keluarga berdaya.

Pada upaya jangka panjang, transformasi nilai budaya antar generasi, pendidikan perdamaian adalah solusi lainnya. Generasi muda akan menjadi pilar gerak di masa depan. Semangat perdamaian yang dijadikan nilai hidup keseharian akan menjadikan mereka agen perdamaian yang aktif dan mengglobal.

Merumuskan ulang konsep teologi, peran agamawan menjadi penting. Mereka lah yang paling bertanggungjawabkan untuk menyebarluaskan gagasan perdamaian, duduk bersama, mengembangkan dialog dan mengukuhkan paradigma agama sebagai penyebar damai.

Jika pilar pranata sosial itu semuanya telah dikuatkan, maka upaya preventif untuk menjadikan planet bumi ini aman dan damai akan semakin mendekati kenyataan. Mari bergandengan tangan, tak hanya sebatas gerakan lokal, namun bersama seluruh komunitas global. Jika pun harus dibuatkan momentum, mari berlari untuk perdamaian. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar