Sungguh
kesedihan menghujam, tragedi itu telah membuat upaya merekat damai di
bumi semakin rumit. Campuraduk rasa yang tak bisa diwakili kata-kata,
teriring doa, semoga mereka yang menjadi korban mendapat kasih dari-Nya.
Semoga, kekejian seperti ini jangan pernah terekam lagi dalam sejarah.
Tidak belaskasih, walau pun tak mewakili, kata itu
menyematkan kegeraman di dalam diri sebagai manusia berakal sehat atas
tragedi bom yang terjadi di Boston, Amerika Serikat, Senin waktu
setempat, Selasa (16/4) waktu Indonesia. Boston Marathon sendiri, tadinya
jadi salah satu agenda maraton yang ingin saya ikuti untuk kegiatan amal:
berlari untuk berbagi. Namun, karena ada kegiatan lain, agenda tersebut
dibatalkan. Ada rasa syukur menyelinap karena diselamatkan oleh Sang
Pencipta. Namun, rasa sedih ini lebih kuat hinggap, apalagi jika ingat,
bahwa para pelari maupun pengunjung yang hadir menjadi suporter, mereka
semua ikut datang untuk satu tujuan damai.
Batin ini pun bertanya, mengapa hal ini masih terjadi? Rasanya
tak masuk akal ketika itu terjadi. Korban bom Boston adalah
manusia-manusia tak berdosa, yang sama sekali tak mengerti soal politik
atau berbagai hal yang melatari peristiwa itu.
Mereka adalah pelari, dan para suporter sedang memberi
semangat kepada siapa pun pelari yang mencapai garis finish. Tanpa
pandang ras, agama, atau status ekonomi. Derajat kemanusiaan semakin
mendekati keagungannya.
Teror itu telah menodai niat tulus kemanusiaan.
Pengingkaran hakikat kemanusiaan, karena ketika kewelasasihan lintas
batas tengah diaktualkan, kekejian dihororkan. Universalitas kebaikan
yang tengah diperjuangkan ditantang antitesis bernama kebencian.
Apapun alasannya, tak sebiji zarah pun kebenarannya.
Jelasnya, pelakunya tengah menyebarkan pesan kekerasan yang harus
dilawan. Karena mereka tengah menyebar teror, ketakutan dan kebencian.
Energi negatif yang terus menyebarkan api kemarahan, sedikit demi sedikit
menghapus kedamaian.
Bukankah kita ini menginginkan perdamaian? Harap itu
semakin tegas karena dunia kita, sebagaimana dikatakan Thomas L Friedman,
telah menjadi datar, tanpa batas. Dunia yang kita tempati ini, telah
semakin sesak dan panas. Tak sekedar semakin tingginya emisi karbon dan
berkurangnya hutan hijau, teror bom sebagai pemantik, panasnya planet
kecil ini semakin tinggi derajatnya. Belum lagi jumlah penduduk yang
mengisinya.
Tahun 2007, United Nations Population Division
melaporkan dan memperhitungkan, jika tahun 2050, diperkirakan bumi akan
diisi oleh 9,2 miliar manusia. Thoraya Ahmed Obaid meramalkan bahwa pada
tahun 2030, diperkirakan ada kebutuhan sekitar 500 ribu kota kecil untuk
tempat tinggal manusia secara global. Konsekuensinya akan terjadi
peningkatan konsumsi sumber daya energi, makanan dan air serta terjadinya
migrasi penduduk antar kota dan antar negara. Thoraya pun mengaku jika
sesungguhnya persoalan itu sangat menakutkan.
Saat ini, Friedman menyebutkan tengah terjadi
kemiskinan energi. Ada jurang perbedaan antara belahan dunia yang serba
berenergi listrik dan kekurangan pasokan listrik. Kondisi ini yang
disebut era energy-climate.
Begitulah Friedman meramalkan dalam bukunya yang berjudul: 'Hot, Flat and Crowded.'
Jean Baudrillard bahkan mengingatkan, teror kini
semakin tanpa batas demografis. Efeknya meluas karena televisi dan media
komunikasi-informasi terlibat sebagai katalisator penyebarnya. Mereka,
kaum teroris, berpahamkan ideologi yang menghalalkan penggunaan
kekerasan, menimbulkan efek teror (rasa takut), demi tujuan ekonomi,
ideologi dan agama yang salah kaprah.
Sinergi Global
Terorisme hanya lahir dalam dunia yang dipenuhi dengan
ketidakadilan dimana teror menjadi metode perlawanan dan ungkapan marah
si lemah ketika melawan si kuat atau sebaliknya, ketika yang kuat
menindas yang lemah.
Meski demikian, gerakan melawan terorisme idealnya
tidak dilakukan dengan melakukan teror balik. Walaupun ada adagium tak
ada damai tanpa pedang ditangan yang adil, keinginan bersama untuk damai
akan menjadi kekuatan sosial yang besar, mendesak semua penghalang,
kekuatan anti kedamaian.
Terkait upaya menuntaskan tragedi Boston tersebut,
Presiden Amerika Serikat Barack Obama sendiri menegaskan, akan segera
mengungkap dan menangkap pelakunya. Menurutnya, para agen FBI yang berada
di garda depan menyelamatkan para korban, melawan para setan dunia
bernama terorisme adalah bangsa Amerika sejati yang dengan percaya diri,
penuh welasasih dan tanpa rasa takut. Sebuah tantangan baru di negeri
adikuasa tersebut, ketika mereka baru saja menyepakati program melawan
kekerasan dan pembunuhan, seperti tragedi Sandy Hook.
Saya kira, manusia sejati juga demikian, penuh
kemurahatian, peduli dan dengan gairah tinggi melayani sesamanya. Karena
itu, berbagai gerakan perdamaian yang tumbuh pada berbagai kelompok
sosial di hampir seluruh negara harus disinergikan. Menjadi gerakan
global, gerakan perdamaian bisa dilakukan pada hal sederhana, namun
dilakukan bersama, bersinergi dan saling mendukung satu sama lain.
Gerakan lain yang tak kalah pentingnya adalah menguatkan pilar sosial
kemasyarakatan yang komunitas mandiri, sejahtera dan berkeadilan. Peran
kewirausahaan sosial menjadi ujung tombak gerakannya.
Kami sendiri, memiliki program berlari untuk berbagi.
Donasi disampaikan ke berbagai yayasan dan komunitas untuk memberdayakan
komunitas sosial. Ada ribuan keluarga yang telah merasakan hasilnya.
Akses kepada pendidikan, sosial dan kesehatan mulai diraih dengan mudah.
Begitu pun kemandirian ekonomi, bantuan modal usaha benar-benar
menjadikan banyak keluarga berdaya.
Pada upaya jangka panjang, transformasi nilai budaya
antar generasi, pendidikan perdamaian adalah solusi lainnya. Generasi
muda akan menjadi pilar gerak di masa depan. Semangat perdamaian yang
dijadikan nilai hidup keseharian akan menjadikan mereka agen perdamaian
yang aktif dan mengglobal.
Merumuskan ulang konsep teologi, peran agamawan menjadi
penting. Mereka lah yang paling bertanggungjawabkan untuk menyebarluaskan
gagasan perdamaian, duduk bersama, mengembangkan dialog dan mengukuhkan
paradigma agama sebagai penyebar damai.
Jika pilar pranata sosial itu semuanya telah dikuatkan,
maka upaya preventif untuk menjadikan planet bumi ini aman dan damai akan
semakin mendekati kenyataan. Mari bergandengan tangan, tak hanya sebatas
gerakan lokal, namun bersama seluruh komunitas global. Jika pun harus
dibuatkan momentum, mari berlari untuk perdamaian. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar