Pemerintah memilih opsi memberlakukan kebijakan dua harga BBM
guna mengurangi beban subsidi APBN. Gagasan itu belum diberlakukan secara
resmi tapi dari berbagai pernyataan pejabat pemerintah melalui media
massa, ada perkiraan harga BBM untuk mobil pribadi diberlakukan tanpa
subsidi, yaitu sekitar Rp 9.500/ liter. Khusus untuk kendaraan umum dan
motor Rp 4.500/ liter.
Kebijakan menaikkan harga tidak dipilih
mengingat mendekati Pileg dan Pilpres 2014. Sejak 2009 sampai 2012, harga
BBM, terutama premium bersubsidi, masih bertahan Rp 4.500 per liter.
Ini berarti secara riil harga turun
mengingat kenaikan harga umum atau inflasi selama 2009-2012 secara
akumulatif sudah mencapai 19%.
Harga BBM yang sangat murah di satu sisi
dan kepesatan pertumbuhan kelas menengah di sisi lain, mengakibatkan
peningkatan konsumsi BBM. Tahun 2009 konsumsi BBM 37 juta kiloliter
dan 2012 menjadi 45 juta kiloliter atau naik 21,6%.
Lonjakan konsumsi itu diperparah oleh
jatah konsumsi BBM bersubsidi, dan dengan demikian subsidi BBM yang
diasumsikan atau dipatok di dalam APBN selalu terlampaui.
Jatah volume BBM bersubsidi di APBN-P
2012 adalah 40 juta kiloliter tetapi realisasinya 45 juta kiloliter.
Akibatnya jatah subsidi BBM membengkak dari Rp 123 triliun pada APBN
2012, menjadi Rp 137,4 triliun pada APBN-P 2012, dan realisasinya Rp
211,9 triliun atau meningkat 72%.
Tidak ditepatinya angka volume dan
subsidi BBM pada APBN akan menurunkan kredibilitas pemerintah. Dunia
usaha dan masyarakat menganggap apa yang direncanakan oleh
pemerintah tak lebih adalah formalitas angka di atas kertas.
Ketidakberanian pemerintah dan DPR
menaikkan harga BBM juga mengakibatkan perekonomian kita mengalami
defisit ganda (defisit fiskal atau APBN dan defisit neraca pembayaran)
yang dalam jangka panjang berbahaya.
Defisit APBN yang antara lain disebabkan
oleh kemembengkakan subsidi BBM menyebabkan pemerintah tak punya ruang
gerak fiskal yang luas guna membangun sesuatu yang lebih produktif,
semisal infrastruktur. Defisit yang terus membengkak juga mengharuskan
pemerintah mencari pembiayaan, baik lewat utang luar negeri ataupun dalam
negeri.
Padahal pembiayaan lewat utang dalam
negeri dengan menerbitkan obligasi akan menimbulkan efek pendesakan
(crowding out). Efek itu terjadi ketika pemerintah menerbitkan obligasi
dan supaya laku maka harus memasang tingkat bunga tinggi. Tingginya suku
bunga obligasi pemerintah akan menyebabkan kenaikan suku bunga pinjaman dan
simpanan.
Efek domino kebijakan itu adalah kenaikan
suku bunga akan mendesak (menurunkan) investasi swasta. Padahal
kemenurunan investasi punya dampak berantai yang panjang, antara lain
meningkatkan angka pengangguran dan tingkat kemiskinan.
Defisit neraca pembayaran juga disumbang
dari BBM karena sebagian besar bahan bakar yang dikonsumsi di dalam
negeri masih diimpor. Kita masih belum bisa mengolah sendiri, dan
produksi minyak terus menurun mengingat sejumlah kilang sudah tua.
Lifting minyak yang dipatok dalam APBN 2012 sebesar 900.000 barel tetapi
realisasinya 830.000 barel. Akibatnya nilai impor migas makin tinggi dan
tahun itu 39 miliar dolar AS atau 22% dari nilai impor.
Defisit neraca pembayaran diperparah oleh
faktor lain yaitu kemenurunan harga komoditas primer di pasaran dunia,
tingginya impor barang-barang modal termasuk pembelian pesawat komersial
akhir-akhir ini, dan tak kompetetifnya kurs rupiah untuk menahan impor
dan mendorong ekspor.
Harga Tunggal
Defisit neraca pembayaran mengakibatkan
beberapa konsekuensi. Pertama; BI harus menguras cadangan devisa untuk
kebutuhan impor. Kemenipisan cadangan devisa akan mendorong kemelemahan
kurs rupiah atau kemenguatan dolar AS menguat. Hal ini akan dilihat
sebagai peluang oleh spekulan untuk memborong dolar. Jika itu terjadi
maka cadangan devisa makin terkuras dan kondisi panik seperti awal
penyebab krisis 1997/1998 kembali terjadi.
Sekain menyebabkan defisit ganda, BBM
bersubsidi ternyata dikonsumsi oleh mereka yang tidak berhak, yaitu
pemilik mobil pribadi. Pemilik mobil pribadi yang merupakan golongan atas
semakin meningkat kemampuan ekonominya. Ini barangkali juga salah satu
penjelasan mengapa ketimpangan ekonomi antargolongan masyarakat di
Indonesia kian meningkat. Ketimpangan ini tercermin dari makin
meningkatnya Indeks Gini yang pada 2011 mencapai 0,41 atau mendekati
batas bahaya 0,5.
Tepatkah kebijakan menerapkan dua harga
BBM? Sepintas inplementasi kebijakan tersebut sederhana. Artinya, jika
yang membeli premium adalah angkutan umum dan motor maka diberlakukan
harga Rp 4.500/ liter, dan bila yang membeli adalah mobil pribadi maka
dikenai harga sekitar Rp 9.500/ liter.
Berdasarkan pengalaman, penerapan dua
harga pada komoditas yang sama berisiko menimbulkan kecurangan. Bisa saja
pemilik mobil pribadi menyuruh orang atau melakukan sendiri pembelian
BBM, dengan modus untuk mendapatkan harga murah, yaitu Rp 4.500/ liter.
Caranya pun beragam, antara lain menggunakan motor bertangki besar dan
dilakukan berulang-ulang.
Karena itu, pemerintah sebaiknya memilih
opsi menaikkan harga BBM yang berlaku secara keseluruhan karena kebijakan
’’satu harga’’ untuk komoditas yang sama itu lebih rasional, dan
implementasi di lapangan juga lebih mudah. Seandainya pemerintah menaikkan
harga menjadi Rp 6.000/liter sudah bisa menghemat subsidi BBM sekitar Rp
30 triliun pada APBN. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar