Kamis, 18 April 2013

Ekses Dua Harga BBM


Ekses Dua Harga
Nugroho SBM   Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Undip Semarang
SUARA MERDEKA, 17 April 2013

  
Pemerintah memilih opsi memberlakukan kebijakan dua harga BBM guna mengurangi beban subsidi APBN. Gagasan itu belum diberlakukan secara resmi tapi dari berbagai pernyataan pejabat pemerintah melalui media massa, ada perkiraan harga BBM untuk mobil pribadi diberlakukan tanpa subsidi, yaitu sekitar Rp 9.500/ liter. Khusus untuk kendaraan umum dan motor Rp 4.500/ liter.
Kebijakan menaikkan harga tidak dipilih mengingat mendekati Pileg dan Pilpres 2014. Sejak 2009 sampai 2012, harga BBM, terutama premium bersubsidi, masih bertahan Rp 4.500 per liter.
Ini berarti secara riil harga turun mengingat kenaikan harga umum atau inflasi selama 2009-2012 secara akumulatif sudah mencapai 19%.

Harga BBM yang sangat murah di satu sisi dan kepesatan pertumbuhan kelas menengah di sisi lain, mengakibatkan peningkatan  konsumsi BBM. Tahun 2009 konsumsi BBM 37 juta kiloliter dan 2012 menjadi 45 juta kiloliter atau naik 21,6%.

Lonjakan konsumsi itu diperparah oleh jatah  konsumsi BBM bersubsidi, dan dengan demikian subsidi BBM yang diasumsikan atau dipatok di dalam APBN selalu terlampaui.

Jatah volume BBM bersubsidi di APBN-P 2012 adalah 40 juta kiloliter tetapi realisasinya 45 juta kiloliter. Akibatnya jatah subsidi BBM membengkak dari Rp 123 triliun pada APBN 2012, menjadi Rp 137,4 triliun pada APBN-P 2012, dan realisasinya Rp 211,9 triliun atau meningkat 72%.
Tidak ditepatinya angka volume dan subsidi BBM pada APBN akan menurunkan kredibilitas pemerintah. Dunia usaha dan masyarakat  menganggap apa yang direncanakan oleh pemerintah tak lebih adalah formalitas angka di atas kertas.

Ketidakberanian pemerintah dan DPR menaikkan harga BBM juga mengakibatkan perekonomian kita mengalami defisit ganda (defisit fiskal atau APBN dan defisit neraca pembayaran) yang dalam jangka panjang berbahaya.

Defisit APBN yang antara lain disebabkan oleh kemembengkakan subsidi BBM menyebabkan pemerintah tak punya ruang gerak fiskal yang luas guna membangun sesuatu yang lebih produktif, semisal infrastruktur. Defisit yang terus membengkak juga mengharuskan pemerintah mencari pembiayaan, baik lewat utang luar negeri ataupun dalam negeri.

Padahal pembiayaan lewat utang dalam negeri dengan menerbitkan obligasi akan menimbulkan efek pendesakan (crowding out). Efek itu terjadi ketika pemerintah menerbitkan obligasi dan supaya laku maka harus memasang tingkat bunga tinggi. Tingginya suku bunga obligasi pemerintah akan menyebabkan kenaikan suku bunga pinjaman dan simpanan.

Efek domino kebijakan itu adalah kenaikan suku bunga akan mendesak (menurunkan) investasi swasta. Padahal kemenurunan investasi punya dampak berantai yang panjang, antara lain meningkatkan angka pengangguran dan tingkat kemiskinan.

Defisit neraca pembayaran juga disumbang dari BBM karena sebagian besar bahan bakar yang dikonsumsi di dalam negeri masih diimpor. Kita masih belum bisa mengolah sendiri, dan produksi minyak terus menurun mengingat sejumlah kilang sudah tua. Lifting minyak yang dipatok dalam APBN 2012 sebesar 900.000 barel tetapi realisasinya 830.000 barel. Akibatnya nilai impor migas makin tinggi dan tahun itu 39 miliar dolar AS atau 22% dari nilai impor.

Defisit neraca pembayaran diperparah oleh faktor lain yaitu kemenurunan harga komoditas primer di pasaran dunia, tingginya impor barang-barang modal termasuk pembelian pesawat komersial akhir-akhir ini, dan tak kompetetifnya kurs rupiah untuk menahan impor dan mendorong ekspor.

Harga Tunggal

Defisit neraca pembayaran mengakibatkan beberapa konsekuensi. Pertama; BI harus menguras cadangan devisa untuk kebutuhan impor. Kemenipisan cadangan devisa akan mendorong kemelemahan kurs rupiah atau kemenguatan dolar AS menguat. Hal ini akan dilihat sebagai peluang oleh spekulan untuk memborong dolar. Jika itu terjadi maka cadangan devisa makin terkuras dan kondisi panik seperti awal penyebab krisis 1997/1998 kembali terjadi.

Sekain menyebabkan defisit ganda, BBM bersubsidi ternyata dikonsumsi oleh mereka yang tidak berhak, yaitu pemilik mobil pribadi. Pemilik mobil pribadi yang merupakan golongan atas semakin meningkat kemampuan ekonominya. Ini barangkali juga salah satu penjelasan mengapa ketimpangan ekonomi antargolongan masyarakat di Indonesia kian meningkat. Ketimpangan ini tercermin dari makin meningkatnya Indeks Gini yang pada 2011 mencapai 0,41 atau mendekati batas bahaya 0,5.

Tepatkah kebijakan menerapkan dua harga BBM? Sepintas inplementasi kebijakan tersebut sederhana. Artinya, jika yang membeli premium adalah angkutan umum dan motor maka diberlakukan harga Rp 4.500/ liter, dan bila yang membeli adalah mobil pribadi maka dikenai harga sekitar Rp 9.500/ liter.

Berdasarkan pengalaman, penerapan dua harga pada komoditas yang sama berisiko menimbulkan kecurangan. Bisa saja pemilik mobil pribadi menyuruh orang atau melakukan sendiri pembelian BBM, dengan modus untuk mendapatkan harga murah, yaitu Rp 4.500/ liter. Caranya pun beragam, antara lain menggunakan motor bertangki besar dan dilakukan berulang-ulang.

Karena itu, pemerintah sebaiknya memilih opsi menaikkan harga BBM yang berlaku secara keseluruhan karena kebijakan ’’satu harga’’ untuk komoditas yang sama itu lebih rasional, dan implementasi di lapangan juga lebih mudah. Seandainya pemerintah menaikkan harga menjadi Rp 6.000/liter sudah bisa menghemat subsidi BBM sekitar Rp 30 triliun pada APBN. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar