Rabu, 03 April 2013

Banteng Ketaton yang Lambat Nyeruduk


Banteng Ketaton yang Lambat Nyeruduk
Fahrul Muzaqqi ;   Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP Unair
JAWA POS, 03 April 2013

  
DINAMIKA parpol menjelang Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Timur, 29 Agustus 2013, sungguh menarik untuk dicermati. Tren yang mengemuka dalam tiga kali perhelatan pilgub sebelumnya menempatkan PKS sebagai pemenang, mengungguli partai-partai besar lain. Namun, PDIP memiliki catatan khusus. Sebelumnya, banyak pengamat mengunggulkan PDIP karena selain calon-calon yang diajukan bukanlah calon sembarangan. "Jokowi effect" juga diharapkan mampu mengatrol dukungan. 

Namun, mengapa sang banteng ketaton dengan basis massa yang militan itu kini seolah kehilangan tanduk? Apakah "luka" kekalahan ini bisa membangkitkan banteng ketaton yang mengamuk sehingga membukukan skor kemenangan?

Dalam pilgub Jatim, hingga saat ini calon pasangan gubernur dan wakilnya yang telah mengemuka masih hanya Soekarwo-Saifullah Yusuf, sang incumbent (Karsa jilid II). Adapun beberapa nama calon lain yang telah beredar di publik, antara lain, Khofifah Indar Parawansa (lawan petahana dalam Pilgub Jatim 2008), Bambang D.H. (wakil wali kota Surabaya), Sirmadji Tjondropragolo (ketua PDIP Jatim), Djarot Saiful Hidayat (mantan wali kota Blitar) dan M.H. Said Abdullah (DPR RI dari PDIP dapil Madura). 

Di antara semua nama itu, hanya Khofifah yang telah melakukan pendekatan kepada masyarakat untuk revans melawan Karsa II dengan dukungan dari PKB, pemenang ketiga Pileg 2009. PDIP sendiri hingga saat ini belum menampakkan siapa bakal calon yang diusung. Padahal, sederet nama yang telah cukup dikenal publik di atas adalah kader-kader paling menonjol di PDIP.

Sosialisasi ke pemilih di luar kandang tentu memerlukan waktu. PDIP, pemenang kedua Pemilu 2009, musti bergerak lebih cepat untuk menentukan calon yang diusung dalam pilgub. Tiga fase sosialisasi, yakni dikenal, disukai, dan dipilih, membutuhkan waktu yang tidak pendek. Sebagaimana terlihat dalam tren dua pilgub sebelumnya (Jabar dan Sumut), kekalahan PDIP tak lepas dari penentuan dan pendaftaran calon yang mepet saat injury time. 

Tenggat antara penutupan pendaftaran calon di KPU dan hari H pemilihan hanya tiga bulan. Akibatnya, konsolidasi internal untuk mengompakkan dukungan terhadap calon yang bersangkutan menjadi kurang maksimal. Terlebih bila ada riak-riak kecemburuan dari calon lain yang tidak direstui. Menjadi "efek turunan" apabila sosialisasi eksternal ke masyarakat juga tidak berjalan maksimal. Kekalahan pasangan Rieke-Teten dalam pilgub Jabar dan Effendi Simbolon-Jumiran Abdi (ESJA) dalam pilgub Sumut tentu tak lepas dari mepetnya waktu mereka untuk berkampanye.

Di sisi lain, perlu dipertimbangkan pula perihal elektabilitas para calon. Majunya kembali duet incumbent menjadi tantangan PDIP yang tak kalah berat. Di antara semua nama di luar duet itu, tentu Khofifah yang paling potensial mampu menyaingi petahana. Pilgub Jatim 2008 menjadi catatan penting ketika Khofifah mampu memaksa duet Karsa menguras energi hingga titik suara penghabisan.

 

PDIP mesti menghitung waktu untuk mengambil keputusan perihal siapa pasangan calon yang direkomendasikan. Ada dua skenario yang bisa dijadikan opsi. Yaitu, PDIP memutuskan mengambil langkahpassionate politics atau rational electoral.

Passionate politics yang berarti berpolitik dengan hasrat dan kehendak sendiri tanpa terlalu ambil pusing untuk mempertimbangkan lingkungan sekitar. Pokoknya mengajukan kader sendiri tanpa harus mempertimbangkan tingkat elektabilitasnya dibandingkan dengan calon-calon lain. Proses kaderisasi partai diutamakan. Dalam skenario ini PDIP hendaknya segera menentukan siapa kader partai yang paling layak dicalonkan sebagai calon gubernur. Adapun calon wakil bisa dikoalisikan dengan partai-partai lain.

Kemudian, rational electoral yaitu berpolitik dengan mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan kalkulatif-rasional untuk menang dalam momen electoral. Tentu dalam skenario ini siapa pun calonnya akan didukung sepenuhnya asal ada kemungkinan untuk menang. Variabel elektabilitas paling penting. PDIP dalam hal ini dapat menempuh dua alternatif langkah politik, yaitu merapat kepada calon incumbent atau merapat kepada Khofifah berikut PKB sebagai partai pengusung. Duet Karsa II jelas musykil dimasuki. 

Alhasil, baik passionate politics maupun rational electoral tentu memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dalam arti proses pilgub merupakan ajang pertarungan untuk memperebutkan kekuasaan berikut sumber-sumber material di dalamnya. Di sisi lain, proses pertarungan untuk memperebutkan kekuasaan itu hendaknya masih bersandar pada koridor untuk mempertahankan idealisme partai. Mampukah banteng yang ketaton di dua pilgub lain ini menyeruduk untuk menang?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar