DINAMIKA parpol menjelang Pemilihan Gubernur (Pilgub)
Jawa Timur, 29 Agustus 2013, sungguh menarik untuk dicermati. Tren yang
mengemuka dalam tiga kali perhelatan pilgub sebelumnya menempatkan PKS
sebagai pemenang, mengungguli partai-partai besar lain. Namun, PDIP
memiliki catatan khusus. Sebelumnya, banyak pengamat mengunggulkan PDIP
karena selain calon-calon yang diajukan bukanlah calon sembarangan.
"Jokowi effect" juga
diharapkan mampu mengatrol dukungan.
Namun, mengapa sang banteng ketaton dengan basis massa yang militan itu kini
seolah kehilangan tanduk? Apakah "luka" kekalahan ini bisa
membangkitkan banteng ketaton yang mengamuk sehingga membukukan skor
kemenangan?
Dalam pilgub Jatim, hingga saat ini calon pasangan
gubernur dan wakilnya yang telah mengemuka masih hanya Soekarwo-Saifullah
Yusuf, sang incumbent (Karsa jilid II). Adapun beberapa nama
calon lain yang telah beredar di publik, antara lain, Khofifah Indar
Parawansa (lawan petahana dalam Pilgub Jatim 2008), Bambang D.H. (wakil
wali kota Surabaya), Sirmadji Tjondropragolo (ketua PDIP Jatim), Djarot
Saiful Hidayat (mantan wali kota Blitar) dan M.H. Said Abdullah (DPR RI
dari PDIP dapil Madura).
Di antara semua nama itu, hanya Khofifah yang telah
melakukan pendekatan kepada masyarakat untuk revans melawan Karsa II
dengan dukungan dari PKB, pemenang ketiga Pileg 2009. PDIP sendiri hingga
saat ini belum menampakkan siapa bakal calon yang diusung. Padahal,
sederet nama yang telah cukup dikenal publik di atas adalah kader-kader
paling menonjol di PDIP.
Sosialisasi ke pemilih di luar kandang tentu memerlukan
waktu. PDIP, pemenang kedua Pemilu 2009, musti bergerak lebih cepat untuk
menentukan calon yang diusung dalam pilgub. Tiga fase sosialisasi, yakni
dikenal, disukai, dan dipilih, membutuhkan waktu yang tidak pendek.
Sebagaimana terlihat dalam tren dua pilgub sebelumnya (Jabar dan Sumut),
kekalahan PDIP tak lepas dari penentuan dan pendaftaran calon yang mepet
saat injury time.
Tenggat antara penutupan pendaftaran calon di KPU dan
hari H pemilihan hanya tiga bulan. Akibatnya, konsolidasi internal untuk
mengompakkan dukungan terhadap calon yang bersangkutan menjadi kurang
maksimal. Terlebih bila ada riak-riak kecemburuan dari calon lain yang
tidak direstui. Menjadi "efek turunan" apabila sosialisasi
eksternal ke masyarakat juga tidak berjalan maksimal. Kekalahan pasangan
Rieke-Teten dalam pilgub Jabar dan Effendi Simbolon-Jumiran Abdi (ESJA)
dalam pilgub Sumut tentu tak lepas dari mepetnya waktu mereka untuk
berkampanye.
Di sisi lain, perlu dipertimbangkan pula perihal
elektabilitas para calon. Majunya kembali duet incumbent menjadi
tantangan PDIP yang tak kalah berat. Di antara semua nama di luar duet
itu, tentu Khofifah yang paling potensial mampu menyaingi petahana. Pilgub
Jatim 2008 menjadi catatan penting ketika Khofifah mampu memaksa duet
Karsa menguras energi hingga titik suara penghabisan.
PDIP mesti menghitung waktu untuk mengambil keputusan
perihal siapa pasangan calon yang direkomendasikan. Ada dua skenario yang
bisa dijadikan opsi. Yaitu, PDIP memutuskan mengambil langkahpassionate politics atau rational electoral.
Passionate politics yang
berarti berpolitik dengan hasrat dan kehendak sendiri tanpa terlalu ambil
pusing untuk mempertimbangkan lingkungan sekitar. Pokoknya mengajukan
kader sendiri tanpa harus mempertimbangkan tingkat elektabilitasnya
dibandingkan dengan calon-calon lain. Proses kaderisasi partai
diutamakan. Dalam skenario ini PDIP hendaknya segera menentukan siapa
kader partai yang paling layak dicalonkan sebagai calon gubernur. Adapun
calon wakil bisa dikoalisikan dengan partai-partai lain.
Kemudian, rational electoral yaitu berpolitik dengan mempertimbangkan
kemungkinan-kemungkinan kalkulatif-rasional untuk menang dalam momen electoral. Tentu dalam skenario ini siapa pun calonnya akan
didukung sepenuhnya asal ada kemungkinan untuk menang. Variabel
elektabilitas paling penting. PDIP dalam hal ini dapat menempuh dua
alternatif langkah politik, yaitu merapat kepada calon incumbent atau
merapat kepada Khofifah berikut PKB sebagai partai pengusung. Duet Karsa
II jelas musykil dimasuki.
Alhasil, baik passionate politics maupun rational electoral tentu memiliki kelebihan dan kekurangan
masing-masing. Dalam arti proses pilgub merupakan ajang pertarungan untuk
memperebutkan kekuasaan berikut sumber-sumber material di dalamnya. Di
sisi lain, proses pertarungan untuk memperebutkan kekuasaan itu hendaknya
masih bersandar pada koridor untuk mempertahankan idealisme partai.
Mampukah banteng yang ketaton di
dua pilgub lain ini menyeruduk untuk menang? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar