Rabu, 03 April 2013

Menagih Janji Intelektual


Menagih Janji Intelektual
Ahmad Sahidah ;   Dosen Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia asal Jogjakarta
JAWA POS, 03 April 2013

  
SEJATINYA kaum intelektual mempunyai tanggung jawab untuk menjadi mercusuar atas silang sengkarut masalah di negeri ini. Lebih jauh, mereka harus mewujudkan pemikiran menjadi tindakan, setidak-tidaknya memberi ilham kepada orang ramai untuk menerjemahkan gagasannya dalam kegiatan konkret. Betapa pun kaum terpelajar terbelah dalam pelbagai organisasi yang berbasis ideologi, mereka tidak bisa mengingkari kehadiran sarjana lain untuk bersama-sama mengurai karut-marut ekonomi, politik, dan sosial masyarakat untuk menemukan konsensus minimal. 

José Ferrater Mora, filsuf Catalan Spanyol, lebih memahami sosok intelektual itu dengan kegiatan yang dilakoni, misalnya menulis esai, ulasan buku, sajak, novel, atau simfoni. Selain itu, mereka mengajar di lembaga pendidikan, menemukan teorema baru, sebuah teori baru tentang struktur kromosom atau enzim, sebuah isotop uranium atau litium baru. Tambahan lagi, mereka memberi kuliah, menghadiri kongres atau pertemuan, menandatangani manifesto atau menolak melakukannya. Yang pertama dan utama, mereka yang terlibat pembicaraan tentang tugas kaum intelektual dalam perubahan sosial. 

Secara lugas, intelektual harus menempatkan diri dalam komunitas tempat mereka hidup dan berkarya. Mereka menempatkan diri sebagai bagian dari tantangan intelektual dunia (universal). Isu global hari ini terkait dengan ancaman perubahan iklim, terorisme, kerusakan lingkungan, dan bencana alam. 

Nah, untuk menghadapi perubahan yang cepat, dengan diilhami gagasan Mora itu, para intelektual muslim harus bahu-membahu dengan penganut agama lain untuk mengentaskan masalah bersama dan memandang tantangan itu secara menyeluruh. Bagaimanapun, pendidikan masyarakat menjadi penentu akhir dari sikap khalayak terhadap gagasan perubahan. 

Tanpa pengetahuan yang sahih, banyak orang akan mudah terbujuk untuk menyelesaikan masalah dengan jalan pintas, tanpa memandang jauh ke depan. Dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, sejatinya seluruh perjuangan atas agama dialamatkan kepada mereka yang terpinggirkan, tak mendapatkan pelayanan kesehatan dan kesempatan pendidikan yang memadai. 

Tentang Telunjuk Asing 

Bagaimanapun, pelaku kekerasan itu tidak bisa disemati gelar intelektual. Sebab, mereka memiliki gelar sarjana, tetapi gagal memahami pengetahuan bahwa perubahan itu lahir dari kesadaran untuk perbaikan, bukan perusakan. Jelas, di dalam Al A'raf 56-58 Tuhan melarang manusia berbuat kerusakan di atas bumi. Tanpa memperhatikan dengan sungguh-sungguh terhadap ajaran Tuhan itu sendiri, mereka yang terperangkap dalam gerakan teror hanya akan menuai penolakan dari seluruh umat dan mati sia-sia. 

Namun, pada waktu yang sama kita juga menuntut peran intelektual sejati negeri ini untuk mendorong pemerintah memberikan kepercayaan kepada aparat untuk menumpas tanpa ragu kelompok "martir" dan tentara yang ringan "tangan" serta tidak menyeret tentara dan polisi ke arena politik. 

Lebih jauh dari itu, pemerintah harus kembali memikirkan kerja sama penumpasan teror dengan negara-negara Barat, misalnya Amerika dan Australia, karena dua yang terakhir adalah bagian dari negara teror yang harus dilawan oleh negara-negara berkembang. Selagi kerja sama itu dilanggengkan, kelompok-kelompok baru di tanah air akan terus bermunculan untuk melawan negaranya sendiri karena dianggap sebagai bagian dari musuh bersama dari saudaranya yang ditindas di Afghanistan, Iraq, Syria, dan Libya. 

Untuk itu, kita memerlukan suara intelektual sejati yang tidak membenarkan kekerasan dan pada waktu yang sama berani mengatakan tidak pada uluran tangan Paman Sam untuk menjadi mitra di negeri ini. Sebab, sejatinya kehadirannya hanya akan menambahkan bensin pada api kemarahan banyak orang. 

Noam Chomsky, intelektual ternama, juga mengkritik campur tangan Amerika dalam menumpas terorisme di negara-negara berkembang karena didasarkan pada keterlibatan tidak tulus dan menangguk keuntungan di air keruh. Pandangan orang ramai pun telah mengemuka bahwa negeri McDonald's itu telah melakukan standar ganda dalam menyikapi pelanggaran hak asasi manusia di seantero dunia. 

Melibatkan negara adikuasa dalam penumpasan teroris dalam negeri hanya akan menyuburkan perlawanan dari banyak pihak. Tentu saja kita harus berani mengambil sikap terhadap bantuan lunak agensi Amerika melalui kegiatan sosial yang menjerat. Sejak dulu, campur tangan negara Barack Obama itu memberangus kebebasan kita untuk menentukan nasib sendiri. 

Sudah saatnya intelektual negeri ini mendorong republik ini untuk tidak ikut telunjuk Amerika Serikat dalam bidang keamanan dalam negeri. Membiarkan tangan-tangan jahat turut serta dalam pengurusan kepemerintahan, kaum intelektual secara sadar telah membiarkan negara kita ini menjadi buah catur yang bisa seenaknya digertak, didikte, dan diarahkan oleh kemauan Washington.

Pengalaman buruk diperlakukan secara tidak adil terkait dengan penanaman modal, seperti Freeport, Newmont, dan Exxon, seharusnya menyadarkan pemangku kepentingan negara ini untuk menimbang bekerja sama dengan Negeri Paman Sam pada masa yang akan datang dan lebih melirik kekuatan ekonomi lain, misalnya Tiongkok, India, Brasil, dan Rusia, untuk menjadi mitra sejajar. Adakah kaum intelektual telah memenuhi panggilan itu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar