Belum
lekang dari ingatan, penyerbuan LP Cebongan Sleman Yogyakarta dan pengeroyokan
polisi di Medan, Sumatera Utara, kerusuhan dan pembakaran terjadi di Kota
Palopo Sulawesi Selatan, kini polisi menangkap beberapa preman di
Jakarta.
Bersamaan dengan hal tersebut, beberapa demonstrasi terjadi di
Yogyakarta. Mereka menyerukan agar tindak premanisme dapat diberantas.
Pasalnya, aksi preman(isme) tersebut seakan kembali mengoyak ketenteraman
dan kedamaian.
Masifnya
aksi ini pun mengukuhkan banalitas kejahatan. Kejahatan tidak hanya
memenuhi ruang masyarakat sipil. Riuhnya ruang preman(isme) seakan
menimbulkan tanya, mengapa aksi kekerasan yang berujung pada penghilangan
nyawa manusia dan perusakan fasilitas umum terjadi di bumi Nusantara?
Kesepian
Perilaku preman(isme) muncul akibat adanya rasa kesepian dalam seseorang.
Kesepian (loneliness) tidak
identik dengan kesunyian (solitude).
Dalam kesunyian, manusia sesungguhnya menjadi dua, Aku dan Diriku. Hannah
Arendt menyebut keadaan ini sebagai “dua dalam satu” (two in one).
Karena
itu, dalam kesunyian, manusia (Aku) masih mempunyai teman untuk
berdialog, yaitu Diriku. Dialog pada “dua dalam satu” tidak kehilangan
hubungan dengan dunia sesama, karena Diriku merupakan perwakilan dari
dunia. Kesunyian dapat menjadi kesepian, jika Aku ditinggalkan oleh
Diriku.
Dalam kesepian, manusia adalah satu, “Aku
ditinggalkan oleh orang-orang lain”. Hal paling tak tertahankan dalam
kesepian adalah hilangnya jati diri (dalam kesunyian jati diri masih
dapat diwujudkan), serta makin lemahnya identitas dalam kebersamaan.
Hal
ini muncul karena tiadanya suasana memercayai dan dipercayai oleh sesama.
Dalam kesepian, Aku kehilangan teman untuk berdialog, yaitu Diriku;
sehingga manusia dalam kondisi ini akan kehilangan rasa percaya terhadap
pikiran-pikirannya sendiri. Akibat paling menakutkan dari kesepian
adalah, baik diri sendiri, dunia, maupun kemampuan untuk berpikir dan
mengalami, hilang secara bersamaan.
Sebuah kondisi yang jauh dari realitas kemanusiaan. Manusia sebagai
makhluk berpikir. Dengan berpikir manusia dapat disebut manusia.
Begitu Descartes, filsuf kesohor mendaku dalam filsafat manusia.
Sebagai makhluk berpikir, manusia memiliki kebutuhan untuk berpikir
(kebutuhan nalar, meminjam istilah Immanuel Kant). Kebutuhan untuk
berpikir hanya mampu dipenuhi lewat berpikir, bukan lewat pengetahuan.
Dengan
demikian, berpikir berkaitan dengan menarik diri dari dunia ke dalam
kesunyian sehingga tercipta dialog internal antara Aku dan Diriku.
Melalui berpikir, Aku menciptakan ruang bagi Diriku.
Lebih lanjut, pada saat manusia kesepian, satu-satunya hal yang masih
dipercaya adalah kemampuan bernalar secara logis. Padahal, pernyataan
yang logis belum tentu sesuai dengan realitas. Satu-satunya kebenaran
yang masih dapat dipercaya manusia dalam kesepian adalah kaidah-kaidah logika,
yang dianggap tidak dapat sesat, meski dalam kesepian mutlak.
Manusia
dalam kondisi ini mencampuradukkan kebenaran pada tingkat koherensi
dengan kebenaran korespondensi. Kesepian menyebabkan hilangnya akal sehat
maka kebenaran yang sesuai dengan kaidah logika menjadi sandaran
hidupnya, menyebabkan manusia tercabut dari realitas.
Kebenaran seperti itu sebenarnya bersifat hampa karena tidak dapat
mengungkapkan apa-apa. Proses pemikiran yang ditandai dengan kepercayaan
penuh terhadap kaidah logika, menyebabkan manusia merasa tidak memiliki
tempat untuk berlari.
Efek
yang ditimbulkan dari kesepian, dengan mengacu pada perkataan Luther,
adalah menganggap segala sesuatu bersifat buruk. Jadi, dapat kita
simpulkan, orang yang mengalami kesepian sulit melihat sisi positif dari
apa pun (Rieke Diah Pitaloka, 2004).
Keterasingan
Cara pandang negatif terhadap sesuatu mengakibatkan hilangnya akal waras
manusia. Akal waras tertimbun oleh nafsu untuk mengenyahkan orang lain
jika mengganggu aktivitas atau mengusik kelompok tertentu. Manusia
seperti itu menegasikan diri (mengakukan diri) sebagai yang terkuat dan
terhebat. Padahal, apa yang mereka lakukan merupakan pengasingan terhadap
diri sendiri.
Keterasingan menyebabkan manusia lupa akan entitas diri dan lingkungan.
Peng-aku-an yang menghilangkan ke-kita-an ini menyembul ke ruang publik
dan menimbulkan kerusakan.
Kerusakan yang menghancurkan tatanan sosial masyarakat. Kerusakan yang
berujung pada penghilangan nyawa orang lain pun merupakan fakta. Padahal,
menghilangkan nyawa manusia merdeka merupakan perbuatan melanggar hak
asasi manusia (HAM).
Dalam konsepsi HAM, misalnya, Nurcholish Madjid mendedah kisah dramatis
tentang perseteruan Habil dan Qabil. Kisah ini oleh Cak Nur dalam
berbagai kesempatan sering diintroduksi ketika menjelaskan wacana,
perspektif, dan bentuk pelanggaran berat HAM.
Menurutnya, itulah sunnah sayyiah (model buruk) yang dilakukan Qabil,
sekaligus menjadi model pelanggaran berat HAM pertama di muka Bumi. Cak
Nur meyakini bahwa pembunuhan atau penghilangan nyawa merupakan
pelanggaran hak hidup yang dimiliki secara mutlak oleh setiap manusia,
satu hak primordial yang tidak dikaitkan dalam kewajiban apa pun dari
Tuhan.
Karena
itu, prinsip pertama HAM utama adalah hak hidup. Inilah hak yang melekat
pada diri setiap manusia yang mesti dihormati dan dilindungi oleh siapa
pun. Selain itu, membunuh satu manusia berarti membunuh seluruh umat
manusia.
Pada akhirnya, maraknya tindak preman(isme) yang berujung pada kekerasan
dan penghilangan nyawa merupakan potret betapa bangsa Indonesia dalam
keadaan darurat. Darurat premanisme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar