Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tak mampu memperbaiki kesejahteraan
rakyat karena terus dirundung masalah. Kalau pemimpin visioner dan
benar-benar hendak membangun, APBN mestinya mampu memperbaiki
kesejahteraan rakyat dan berkekuatan melengkapi infrastruktur.
Forum Alumni Kelompok Cipayung
mengajak masyarakat untuk mengalihkan perhatian pada persoalan lain yang
tak kalah urgensinya. Mereka mempertanyakan arah dan pemanfaatan kekuatan
APBN. Karena berpendapat bahwa APBN tahun-tahun terakhir tidak lagi pro
rakyat, Forum Alumni Kelompok
Cipayung pun berniat menggugat APBN ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Apakah gugatan akan diterima atau ditolak MK, itu persoalan lain.
Terpenting, semua komponen bangsa, termasuk pemerintah dan DPR, sudah
diingatkan tentang rendahnya efektivitas pengelolaan APBN untuk melayani
kepentingan rakyat dan membangun negara. Sejatinya, visi atau kehendak
pemimpin dalam membangun bangsa akan tercermin pada arah dantujuanAPBN.
Sebab, melalui APBN-lah pemimpin bisa merealisasikan konsep-konsep
pembangunan yang dicanangkannya, merealisasikan janji-janjinya, serta
menunjukkan kepedulian kepada kelompokkelompok warga yang berkekurangan
atau miskin. Singkat kata, APBN adalah mesin ekonomi yang mestinya
dikendalikan seorang pemimpin untuk mencapai kemajuan bangsa, setahap
demi setahap.
Oleh karena itu, pemimpin harus terlibat dan mencermati betul proses
perencanaan dan perumusan APBN. Dia harus yakin betul bahwa visinya
membangun negara dan rakyat dipahami dan dipatuhi secara konsisten oleh
para pembantunya, baik di tingkat maupun di tingkat daerah. Pemahaman dan
kepatuhan yang konsisten itu harus tercermin dari program dan rencana
proyek setiap kementerian dan daerah yang tertuang dalam APBN.
Artinya, jika pemimpin berkehendak kuat mengurangi jumlah warga miskin,
kehendak itu harus tercermin dalam APBN. Lewat APBN pula, rakyat bisa
membaca ambisi pemimpin membangun dan melengkapi infrastruktur diberbagai
daerah; membangun pelabuhan, bandar udara, rel kereta api (KA), hingga
jalan dan irigasi.
Apakah pemimpin bersungguh-sungguh memenuhi dan melindungi kebutuhan
pokok rakyat pun bisa dibaca dari format APBN. Akan sangat merepotkan
jika pemimpin pasif dan nrimodalam perencanaan dan perumusan APBN. Kalau
pasif, berarti dia dalam posisi tidak mengendalikan arah dan tujuan APBN.
Visinya membangun negara dan rakyat belum tentu terakomodasi dalam APBN.
Padahal, prioritas peruntukan atau pemanfaatan kekuatan APBN butuh arahan
dan keputusan seorang pemimpin. Kalau arah dan tujuan APBN di luar
kendali pemimpin, para pembantunya akan merencanakan dan merumuskan APBN
sesuka hati. Risikonya, pemimpin akan kecolongan. Itulah yang terjadi
pada APBN 2013. Presiden jelas-jelas kecolongan.
Februari lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengakui APBN 2013
bermasalah, karena sebagian besar dialokasikan untuk subsidi dan belanja
pegawai. Akibatnya, alokasi anggaran untuk belanja modal dan pembangunan
infrastruktur sangat minim. Dalam APBN tahun berjalan, alokasi anggaran
untuk belanja pegawai mencapai Rp241 triliun. Dari jumlah ini, Rp212 triliun
untuk gaji dan tunjangan pegawai.
Berapa volume anggaran untuk pembangunan infrastruktur? Hanya
dialokasikan Rp216 triliun. Rendahnya pengelolaan anggaran di sejumlah
daerah terbilang sangat memprihatinkan. Sebuah kajian menyebutkan bahwa
tidak kurang dari 302 daerah berani mengalokasikan 50% APBD-nya untuk
belanja pegawai.
Bahkan, terdapat 11 daerah yang sangat berani, karena mengalokasikan
belanja pegawai hingga 70%. Postur anggaran seperti itu bukan hanya tidak
efisien, melainkan sangat tidak sehat, bahkan tidak berkeadilan. Pihak
yang patut dipersalahkan tidak hanya penerima atau pelaksana anggaran.
Mereka juga yang menyetujui dan meloloskan postur anggaran seperti itu.
Makin Lemah
Postur APBN harus ideal dan realistis, sesuai kemampuan keuangan negara.
Pola APBN 2013 tidak boleh berulang, dan karenanya harus dikoreksi.
Bagaimanapun, gelembung anggaran belanja pegawai mencerminkan perilaku
tidak realistis. Kalau postur 2013 dipertahankan, kemampuan APBN untuk
memperbaiki kesejahteraan rakyat dan membangun infrastruktur akan terus
melemah.
Tanpa penggelembungan belanja pegawai pun, daya atau kemampuan APBN sudah
tergerogoti. Utamanya karena beban kewajiban mencicil pokok dan bunga
utang luar negeri plus utang dalam negeri. Beban yang satu ini masih
terbilang besar, karena alokasinya mencapai 25% dari total APBN.
Konstitusi juga mewajibkan APBN menyisihkan 20% untuk sektor pendidikan.
Setelah sektor pendidikan, pemerintah pusat pun masih diwajibkan untuk
mentransfer 30% dari total APBN ke daerah. Artinya, volume anggaran, baik
yang dikelola pusat maupun daerah, masih terbilang cukup besar. Namun,
kekuatan volume anggaran itu tidak efektif karena lemahnya koordinasi
pusat dan daerah, serta faktor ketidaksiapan manajemen pemerintah daerah.
Melemahnya APBN bisa dirasakan masyarakat kebanyakan dari keluhan
pemerintah akan gelembung subsidi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi,
ditambah ketidakmampuan pemerintah pusat-daerah mengoreksi gejolak harga
kebutuhan pokok rakyat. Dengan terjadinya pembengkakan anggaran belanja
pegawai dalam APBN 2013, fungsi APBN dalam mewujudkan kenyamanan hidup
rakyat akan jauh berkurang.
Maka itu, menaikkan harga BBM bersubsidi menjadi pilihan yang sulit
dihindari pusat. Dan, APBN pun sudah tak mampu melakukan intervensi pasar
untuk mengoreksi harga kebutuhan pokok rakyat. Berkait dengan gelembung
belanja pegawai dalam APBN, sudah muncul kesan bahwa telah terjadi
disorientasi dalam proses dan realisasi pembangunan nasional.
Disorientasi arah pembangunan itu ditandai dengan rendahnya efektivitas
pengelolaan anggaran pembangunan. Selain tekanan membayar utang, APBN
sekarang ini terjangkiti dua penyakit akut, yakni penyerapan yang sangat
lamban dan masalah ketidakjelasan prioritas peruntukan. Penyerapan
anggaran yang lamban sudah berlangsung bertahun- tahun. Sudah berulang
kali pula pemerintah didesak untuk meningkatkan efektivitas penyerapan
anggaran.
Namun, hingga tahun anggaran 2012 lalu, tidak ada perbaikan yang
signifikan. Belum lagi persoalan itu dituntaskan, perumusan dan
pengelolaan APBN memunculkan masalah baru, yakni ketidakjelasan prioritas
peruntukan. APBN tahun-tahun terakhir sangat boros untuk belanja rutin
pemerintah pusat, termasuk gaji PNS pusat dan daerah. Dengan posturnya
yang demikian, APBN jelas-jelas tidak prorakyat.
Muncul kesan, prioritas peruntukan APBN lebih untuk melayani dan
meningkatkan kesejahteraan pejabat negara serta PNS, ketimbang upaya
memperbaiki kesejahteraan rakyat. Contoh kasusnya adalah BBM bersubsidi.
BBM bersubsidi sudah berkembang menjadi kebutuhan rutin rakyat. Dalam
mengelola anggaran BBM bersubsidi, pemerintah melakukan begitu banyak
kesalahan dan kesalahan itu selalu berulang setiap tahunnya.
Akibatnya, 30% BBM bersubsidi tidak tepat sasaran karena dicuri. Ketika
volume subsidi menimbulkan masalah bagi APBN, pemerintah menyalahkan
rakyat karena serapan BBM bersubsidi sering melampaui kuota tahun
anggaran. Kalau sekarang volume belanja rutin dalam APBN terus
menggelembung, pemerintah seharusnya berani menyalahkan dirinya sendiri.
Kalau belanja rutin yang besar itu berbuah pada birokrasi negara yang
produktif, barangkali tidak ada masalah. Namun, nyatanya, remunerasi gaji
PNS sekalipun tak bisa menghentikan gelombang korupsi. ● |
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar