Kerumitan
dalam menentukan harga BBM bersubsidi sesungguhnya hanyalah ujung dari
persoalan yang terjadi di sektor permigasan kita. Di belakang masalah
ini, terdapat persoalan besar yang sebenarnya lama terjadi, namun tak
kunjung dapat di atas.
Dan belakangan ini, kenapa persoalan harga BBM ini begitu diperdebatkan,
saya kira karena persoalan yang terjadi tersebut kini telah terbuka dan
diketahui masyarakat, sehingga muncul kesadaran bahwa memang terdapat
persoalan besar dari sektor permigasan kita tersebut. Terbukanya
persoalan besar di sektor permigasan ini terbaca dari kinerja neraca
perdagangan kita.
Tahun 2012 lalu neraca perdagangan kita mengalami defisit USD1,63 miliar,
atau untuk pertama kalinya sejak 1961. Hingga Februari 2013 ini, defisit
neraca perdagangan Indonesia telah mencapai USD498 juta dengan rincian
defisit Februari 2013 sebesar USD327 juta dan Januari sebesar USD171
juta. Dan penyebab defisit tersebut adalah karena sektor migas, di mana
nilai impornya jauh melampaui ekspornya.
Sejatinya, penurunan kinerja migas ini seharusnya sudah lama
diantisipasi. Sejak tahun 2000, perdagangan migas telah memperlihatkan
penurunan yang konsisten. Bahkan, khusus untuk perdagangan minyak (minyak
mentah/crude dan produk minyak/BBM), sejak tahun 2003 telah mengalami
defisit. Dan sesungguhnya, pemerintah memiliki waktu yang cukup untuk
mengantisipasi penurunan kinerja migas tersebut agar situasinya tidak
semakin memburuk.
Pemerintah tentunya dapat melakukan berbagai kebijakan untuk mengatasi
berbagai hal yang menjadi sumber penyebab defisit tersebut.
Pertanyaannya, berbagai hal apa yang sebenarnya menjadi sumber penyebab
terjadinya defisit di sektor migas tersebut? Kalau kita membaca data,
seperti yang telah saya sampaikan diatas, sesungguhnya neraca minyaklah
yang menjadi biang keladi pemburukan kinerja neraca perdagangan migas kita.
Beruntung, neraca perdagangan gas kita masih mengalami surplus. Selama
tahun 2012 lalu, neraca perdagangan gas mengalami surplus sebesar USD1,31
miliar. Sementara itu, kalau cermati neraca minyak kita, yang telah
mengalami defisit sejak 2013, ternyata andil defisit terbesar berasal
dari impor BBM. Berdasarkan data, pada 2000 impor BBM baru mencapai
USD3,49 miliar atau sekitar dua kalinya dari ekspor BBM-nya yang sebesar
USD1,65 miliar.
Namun, impor BBM tersebut terus meningkat, hingga pada akhir 2012
mencapai USD28,68 miliar atau sekitar tujuh kali lipat dibandingkan
ekspor BBM-nya yang sebesar USD4,16 miliar, sehingga terjadi defisit
sebesar USD23,36 miliar. Di sisi lain, ekspor minyak mentah (crude) tidak mengalami peningkatan
secara signifikan.
Ekspor crude pada tahun 2012 hanya mencapai USD12,29 miliar atau
meningkat sekitar dua kalinya dibandingkan ekspor pada 2000 sebesar
USD6,09 miliar. Sedangkan impor crude
pada 2012 mencapai USD10,80 miliar atau meningkat sekitar empat kalinya
dibandingkan impor crude tahun
2000 sebesar USD2,53 miliar.
Nah, perkembangan kinerja ekspor minyak (crude dan BBM) yang tidak terlalu besar, di sisi lain kinerja
impor minyak (crude dan BBM)
yang melonjak signifikan itulah yang menyebabkan kinerja neraca
perdagangan minyak kita mengalami penurunan secara tajam. Dan kalau kita
cermati, kinerja ekspor impor BBM inilah yang menjadi sumber utama
dibalik menurunnya kinerja neraca perdagangan minyak.
Kinerja ekspor crude tentunya sangat bergantung pada kemampuan produksi
hulu minyak. Seiring dengan adanya penurunan secara alami (natural declining) yang dialami
sumur-sumur minyak kita, kinerja hulu minyak dalam beberapa tahun
terakhir ini terus merosot. Tahun 2012 lalu, produksi (lifting) crude kita hanya mencapai sekitar 860.000 barel per hari
(bph).
Hingga Maret 2013 ini, produksi (lifting)
kita hanya sekitar 830.000–850.000 bph. Kinerja hulu minyak ini masih di
bawah target APBN sebesar 900.000 bph. Saya kira, ini adalah sesuatu yang
sulit dihindari, mengingat cadangan minyak dari sumur-sumur lama (existing) yang semakin menurun.
Kecuali, bila terdapat tambahan produksi yang signifikan, Blok Cepu
misalnya yang diperkirakan dapat berproduksi secara optimal pada 2014.
Pemburukan kinerja sektor minyak ini sesungguhnya dapat dicegah atau
diminimalkan bila kita bisa mengurangi impor BBM. Sebagaimana kita
ketahui, seiring dengan tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi, kebutuhan
BBM di dalam negeri juga meningkat. Sayangnya, pemenuhan kebutuhan BBM
tersebut sebagian besar dipenuhi melalui impor, bukan oleh BBM hasil
olahan kilangkilang di dalam negeri.
Sebelum tahun 2003, impor BBM kita setiap tahunnya ratarata kurang dari
10% dari produksi BBM kilang Pertamina. Namun, sejak 2003, impor BBM
terus meningkat. Pada tahun 2011, Pertamina misalnya, berdasarkan Laporan
Tahunan 2011, telah melakukan impor BBM sekitar 157 juta barel (atau
sekitar 87% dari produksi BBM dari kilang Pertamina) untuk menutup
selisih antara kebutuhan produk BBM dalam negeri sekitar 339 juta barel
dan produksi kilang Pertamina yang hanya sekitar 181 juta barel.
Peningkatan impor BBM ini, tentunya belum memasukkan impor BBM yang
dilakukan swasta, yang setiap tahunnya mengalami peningkatan seiring
dibukanya keran liberalisasi sektor hilir migas. Pembangunan kilang baru
adalah keharusan untuk menjaga ketahanan pasokan BBM dan mengurangi BBM
impor.
Saya berpendapat, agar terdapat insentif bagi investor kilang baru, perlu
dirancang suatu kebijakan sektoral yang mewajibkan pedagang BBM (SPBU)
untuk membeli BBM dari kilang baru di dalam negeri. Penjual BBM (selain
Pertamina) juga perlu diminta memiliki kilang pengolahan sendiri di
Indonesia, sebagaimana yang juga diberlakukan oleh Malaysia.
Tentunya, agar kegiatan pembangunan kilang baru ini menarik investor, juga
dibutuhkan adanya insentif fiskal. Kesimpulannya, jelas bahwa persoalan
BBM yang dihadapi Indonesia ini sangat kompleks. “Rumitnya” penentuan
harga BBM ini, sesungguhnya bukanlah semata untuk menyelamatkan fiskal
(APBN) kita.
Lebih dari itu, karena di dalamnya terdapat persoalan yang mendasar di
sektor permigasan. Kebijakan pengurangan subsidi BBM perlu dilakukan.
Namun, setelah itu harus segera dibenahi problem mendasar yang ada, baik
di sektor hulu maupun hilir migas. ● |
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar