Selasa, 23 April 2013

Kompleksitas Persoalan BBM


Kompleksitas Persoalan BBM
Sunarsip ; Ekonom The Indonesia Economic Intelligence
KORAN SINDO, 23 April 2013



Kerumitan dalam menentukan harga BBM bersubsidi sesungguhnya hanyalah ujung dari persoalan yang terjadi di sektor permigasan kita. Di belakang masalah ini, terdapat persoalan besar yang sebenarnya lama terjadi, namun tak kunjung dapat di atas. 

Dan belakangan ini, kenapa persoalan harga BBM ini begitu diperdebatkan, saya kira karena persoalan yang terjadi tersebut kini telah terbuka dan diketahui masyarakat, sehingga muncul kesadaran bahwa memang terdapat persoalan besar dari sektor permigasan kita tersebut. Terbukanya persoalan besar di sektor permigasan ini terbaca dari kinerja neraca perdagangan kita. 

Tahun 2012 lalu neraca perdagangan kita mengalami defisit USD1,63 miliar, atau untuk pertama kalinya sejak 1961. Hingga Februari 2013 ini, defisit neraca perdagangan Indonesia telah mencapai USD498 juta dengan rincian defisit Februari 2013 sebesar USD327 juta dan Januari sebesar USD171 juta. Dan penyebab defisit tersebut adalah karena sektor migas, di mana nilai impornya jauh melampaui ekspornya. 

Sejatinya, penurunan kinerja migas ini seharusnya sudah lama diantisipasi. Sejak tahun 2000, perdagangan migas telah memperlihatkan penurunan yang konsisten. Bahkan, khusus untuk perdagangan minyak (minyak mentah/crude dan produk minyak/BBM), sejak tahun 2003 telah mengalami defisit. Dan sesungguhnya, pemerintah memiliki waktu yang cukup untuk mengantisipasi penurunan kinerja migas tersebut agar situasinya tidak semakin memburuk. 

Pemerintah tentunya dapat melakukan berbagai kebijakan untuk mengatasi berbagai hal yang menjadi sumber penyebab defisit tersebut. Pertanyaannya, berbagai hal apa yang sebenarnya menjadi sumber penyebab terjadinya defisit di sektor migas tersebut? Kalau kita membaca data, seperti yang telah saya sampaikan diatas, sesungguhnya neraca minyaklah yang menjadi biang keladi pemburukan kinerja neraca perdagangan migas kita. 

Beruntung, neraca perdagangan gas kita masih mengalami surplus. Selama tahun 2012 lalu, neraca perdagangan gas mengalami surplus sebesar USD1,31 miliar. Sementara itu, kalau cermati neraca minyak kita, yang telah mengalami defisit sejak 2013, ternyata andil defisit terbesar berasal dari impor BBM. Berdasarkan data, pada 2000 impor BBM baru mencapai USD3,49 miliar atau sekitar dua kalinya dari ekspor BBM-nya yang sebesar USD1,65 miliar. 

Namun, impor BBM tersebut terus meningkat, hingga pada akhir 2012 mencapai USD28,68 miliar atau sekitar tujuh kali lipat dibandingkan ekspor BBM-nya yang sebesar USD4,16 miliar, sehingga terjadi defisit sebesar USD23,36 miliar. Di sisi lain, ekspor minyak mentah (crude) tidak mengalami peningkatan secara signifikan. 

Ekspor crude pada tahun 2012 hanya mencapai USD12,29 miliar atau meningkat sekitar dua kalinya dibandingkan ekspor pada 2000 sebesar USD6,09 miliar. Sedangkan impor crude pada 2012 mencapai USD10,80 miliar atau meningkat sekitar empat kalinya dibandingkan impor crude tahun 2000 sebesar USD2,53 miliar.

Nah, perkembangan kinerja ekspor minyak (crude dan BBM) yang tidak terlalu besar, di sisi lain kinerja impor minyak (crude dan BBM) yang melonjak signifikan itulah yang menyebabkan kinerja neraca perdagangan minyak kita mengalami penurunan secara tajam. Dan kalau kita cermati, kinerja ekspor impor BBM inilah yang menjadi sumber utama dibalik menurunnya kinerja neraca perdagangan minyak. 

Kinerja ekspor crude tentunya sangat bergantung pada kemampuan produksi hulu minyak. Seiring dengan adanya penurunan secara alami (natural declining) yang dialami sumur-sumur minyak kita, kinerja hulu minyak dalam beberapa tahun terakhir ini terus merosot. Tahun 2012 lalu, produksi (lifting) crude kita hanya mencapai sekitar 860.000 barel per hari (bph). 

Hingga Maret 2013 ini, produksi (lifting) kita hanya sekitar 830.000–850.000 bph. Kinerja hulu minyak ini masih di bawah target APBN sebesar 900.000 bph. Saya kira, ini adalah sesuatu yang sulit dihindari, mengingat cadangan minyak dari sumur-sumur lama (existing) yang semakin menurun. Kecuali, bila terdapat tambahan produksi yang signifikan, Blok Cepu misalnya yang diperkirakan dapat berproduksi secara optimal pada 2014.

Pemburukan kinerja sektor minyak ini sesungguhnya dapat dicegah atau diminimalkan bila kita bisa mengurangi impor BBM. Sebagaimana kita ketahui, seiring dengan tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi, kebutuhan BBM di dalam negeri juga meningkat. Sayangnya, pemenuhan kebutuhan BBM tersebut sebagian besar dipenuhi melalui impor, bukan oleh BBM hasil olahan kilangkilang di dalam negeri. 

Sebelum tahun 2003, impor BBM kita setiap tahunnya ratarata kurang dari 10% dari produksi BBM kilang Pertamina. Namun, sejak 2003, impor BBM terus meningkat. Pada tahun 2011, Pertamina misalnya, berdasarkan Laporan Tahunan 2011, telah melakukan impor BBM sekitar 157 juta barel (atau sekitar 87% dari produksi BBM dari kilang Pertamina) untuk menutup selisih antara kebutuhan produk BBM dalam negeri sekitar 339 juta barel dan produksi kilang Pertamina yang hanya sekitar 181 juta barel. 

Peningkatan impor BBM ini, tentunya belum memasukkan impor BBM yang dilakukan swasta, yang setiap tahunnya mengalami peningkatan seiring dibukanya keran liberalisasi sektor hilir migas. Pembangunan kilang baru adalah keharusan untuk menjaga ketahanan pasokan BBM dan mengurangi BBM impor. 

Saya berpendapat, agar terdapat insentif bagi investor kilang baru, perlu dirancang suatu kebijakan sektoral yang mewajibkan pedagang BBM (SPBU) untuk membeli BBM dari kilang baru di dalam negeri. Penjual BBM (selain Pertamina) juga perlu diminta memiliki kilang pengolahan sendiri di Indonesia, sebagaimana yang juga diberlakukan oleh Malaysia. 

Tentunya, agar kegiatan pembangunan kilang baru ini menarik investor, juga dibutuhkan adanya insentif fiskal. Kesimpulannya, jelas bahwa persoalan BBM yang dihadapi Indonesia ini sangat kompleks. “Rumitnya” penentuan harga BBM ini, sesungguhnya bukanlah semata untuk menyelamatkan fiskal (APBN) kita. 

Lebih dari itu, karena di dalamnya terdapat persoalan yang mendasar di sektor permigasan. Kebijakan pengurangan subsidi BBM perlu dilakukan. Namun, setelah itu harus segera dibenahi problem mendasar yang ada, baik di sektor hulu maupun hilir migas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar