Pidato
Megawati Soekarnoputeri saat menghadiri deklarasi calon gubernur-wakil
gubernur Jawa Tengah dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP),
Ganjar Pranowo-Heru Sudjatmoko, di Stadion Manahan Solo, 14 April luar
biasa bergelegar dan penuh pesan politik yang patut diulas.
Setelah sekian lama, inilah pidato Megawati yang cukup berbobot,
memberikan motivasi, dan berisi substansi politik etik yang dalam.
Mungkin
secara gramatikal pidato itu tidak serapi dan “secanggih” Susilo Bambang
Yudhoyono atau Aburizal Bakri ketika berkomunikasi di hadapan massa
partainya, yang diketahui selalu tak lepas dari naskah atau teleprompter.
Namun inilah komunikasi yang cerdas, menyampaikan pesan dengan tepat
tanpa birokratisasi linguistik yang memberatkan.
Pidato itu menjadi “momen kebenaran” yang memang sedang ditunggu di Jawa
Tengah. Bagaimana tidak, proses pencalonan gubernur-wakil gubernur Jawa
Tengah dianggap penuh trik dan cukup menguras energi sehingga tak urung
melahirkan friksi di internal PDIP.
Dimulai
dengan pemecatan Bibit Waluyo selaku gubernur petahana yang “lompat
pagar”. Bibit yang pada Pilkada 2008 maju sebagai calon PDIP kini
menggunakan perahu partai lain yang cukup besar (Demokrat, PAN, Golkar)
untuk Pilkada 2013.
Demikian pula majunya Don Murdono, bupati Sumedang yang juga ketua DPC
PDIP Sumedang. Ia awalnya digadang-gadang sebagai kandidat wakil
gubernur, pada akhirnya merasa kecewa dengan putusan DPP PDIP. Ia
kemudian merapat ke Hadi Prabowo, yang tidak lain adalah sekda petahana
untuk menjadi pasangan wakil gubernur. Pasangan ini diusung partai
menengah (PKB, PKS, PKNU, Gerindra, dan Hanura).
Ini seperti batu karang yang mengadang sebelum berlabuh. Di samping harus
mengalahkan dua petahana dan kekuatan partai koalisi pendukung lawan,
PDIP harus mampu mengonsolidasikan kekuatan suaranya agar tidak terpecah
ke “kader-kader tidak resmi” tersebut. Politik penggembosan harus
dicermati sejak awal agar partai banteng moncong putih ini tidak
benar-benar kurus saat hari H, sehingga dengan mudah tersembelih.
Dengan bahasa terang Megawati “mengejek” sikap Bibit yang disebut bukan
kader tulen. “Aku ya ngerti kowe
seko ngendi” (aku tahu kamu berasal dari mana).
Megawati
pun tak kurang menyindir politik survelensi Presiden SBY. Mega mengaku
setiap gerak-geriknya telah dipantau oleh intel dan dalam satu menit
pasti sudah masuk laporan (ke istana). Ini persis pengalaman Megawati
diinteli pada masa Soeharto.
Ia pun mengkritik kebijakan pemerintah yang tidak bisa mengendalikan
harga-harga barang akibat politik impor yang dilakukan. “Ojo ngapusi!” (jangan berbohong);
gramatologi yang menelanjangi bahwa politik yang sedang berjalan selama
ini berikat pada ketidakjujuran dan sekadar pencitraan.
Dalam
pidatonya, Megawati berkali-kali menyentil Babinsa (Bintara Pembinaan
Desa): unsur militer Koramil yang bekerja di desa/kelurahan, yang dituduh
selama ini telah bekerja untuk mengarahkan suara pada pasangan tertentu.
Tanpa disebut eksplisit, pengetahuan publik akan tahu anak panah pesan
sedang mengarah kepada Bibit Waluyo yang di masa aktif militer pernah menjabat
panglima komando strategis Angkatan Darat (pangkostrad) dan pangdam.
Kita
belum tahu apakah fenomena politisasi Babinsa itu benar-benar terjadi
secara masif di lapangan atau hanya kasus. Namun, strategi retorika itu
telah menjerat ingatan publik pada bayang-bayang politik kotor Orde Baru.
Publik juga belum lupa, sekuat apa pun politisasi Orde Baru, PDIP tetap
bertahan dan menjadi pemenang pada Pemilu 1999.
Kalimat-kalimatnya meluncur sederhana dan sebagian menggunakan bahasa Jawa ngoko. Ini tak lain agar parole politiknya mendekat ke
pikiran dan batin kader terbawah. Meskipun demikian, kosakata yang
dipilih mampu menggiring publik pada pemikiran asosiatif tertentu.
Secara
semiotis, pidato Megawati memberikan kode (encoding) dan memengaruhi pengetahuan publik akan kengerian
kondisi krisis yang berkelanjutan akibat politik salah urus (signifikansi
dan refleksi pesan politik).
Harga-harga
barang yang tidak dapat dikendalilan pemerintah, korupsi, money politic, dan berpolitik
tanpa karakter nasionalisme akan membawa demokrasi pada situasi defisit.
Muara dari pesan ini adalah katastrofi: akan terjelang kiamat politik
jika salah pilih pada momen elektoral ini. Dampak buruknya bukan hanya di
Jawa Tengah, tapi juga secara nasional.
Dalam pidato Megawati tak lupa mengambil referensi ayahnya-Bung Karno,
yang menyatakan secara historis Jawa Tengah adalah pusat kekuatan politik
nasionalis. Menguasai politik Jawa Tengah maka akan mudah menguasai
politik nasional. Ia yakin benar PDIP akan menjadi kekuatan utama dan
bersaing dengan ketat dengan kekuatan politik baru lainnya untuk
memenangi pilkada.
Dikuasai PDIP
Secara statistik, dari 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah, 17 bupati/wali
kota dan 24 ketua DPRK dikuasai PDIP. Memang suara di parlemen provinsi
PDIP bukanlah mayoritas tunggal, tapi tak ada yang melebihi suara mereka.
Dengan menguasai 23 dari 100 kursi di DPRD Jawa Tengah, PDIP juga bukan
lawan medioker.
Dengan
basis politik loyalis yang cukup mengakar, mereka percaya diri menang,
meskipun calon usungan kalah populis dibandingkan kader lain seperti
Rustiningsih yang saat ini menjabat wakil gubernur.
Ganjar Pranowo memang dikenal sebagai kader elite di DPP PDIP yang
cerdas, komunikatif, dan muda, tapi ia tetaplah tokoh nasional yang lebih
dekat ke Lenteng Agung (kantor DPP PDIP) dibandingkan ke Brigjen Katamso
(kantor DPD PDIP Jawa Tengah). Yang menguntungkan adalah pembawaannya
yang santun, tidak grasa-grusu, memenuhi persyaratan ideal sebagai
pemimpin solonan.
Demikian
pula, Heru Sudjatmoko, yang meskipun menjabat sebagai bupati Purbalingga,
tapi secara historis kalah populis dibandingkan Don Murdono, yang telah
menjabat sebagai bupati Sumedang selama dua periode. Pada masa-masa
represi Orde Baru, Don telah menjadi pemimpin PDIP Jawa Tengah, sehingga
dianggap lebih menguasai peta politik bumi Diponegoro itu.
Mungkin inilah energi komunikasi terbesar yang pernah diperlihatkan
Megawati selama beberapa tahun belakangan ini untuk menyolidkan barisan
Marhaenis sejati serta merebut simpati massa mengambang dan pemilih muda
dalam memenangi pilkada.
Ingat,
ketika PDIP dianggap sebagai kuda hitam pada Pilkada Jawa Barat dan
Sumatera Utara, mereka malah bisa menembus dua besar. Tentu dengan
potensi yang jauh lebih signifikan di Jawa Tengah, PDIP tidak akan merasa
puas menjadi runner up.
Namun, mereka perlu kerja keras, bukan hanya bergantung pada pidato ketua
umumnya. Dengan niatan menegakkan etika politik, PDIP harus konsisten
memenangi pilkada dengan cara dan strategi “lurus”, tanpa perlu berbohong
(mboten ngapusi) dan memainkan
politik uang (mboten korupsi)
seperti tagline kandidat ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar