Saat ujian nasional (unas) dimulai, ternyata
Mendikbud M. Nuh yang duluan "tidak lulus". Unas SMA/MA/SMK di
sebelas provinsi yang mestinya dilaksanakan serentak Senin (15/4) ditunda
Kamis (18/4). Penundaan itu disebabkan distribusi soal yang belum beres.
"Ini murni masalah teknis. Ada di percetakan. Peristiwa ini force majeure yang harus dicari solusinya.
Kami harap masyarakat memahami," jelas Nuh.
Meski Mendikbud meminta masyarakat memahami, akal sehat
akan sulit untuk memahami. Unas merupakan program atau proyek yang sudah
pasti, dijadwalkan setiap tahun. Para siswa pun -lebih-lebih orang
tuanya- sudah sekuat tenaga menyambut hari "istimewa" itu
jauh-jauh hari. Tidak hanya dengan ritual intelektual, tapi juga ritual
mistis yang tidak masuk akal. Misalnya mandi kembang, pensil diruwat, dan
sebagainya (Jawa Pos, 13/4).
Kontrol dan evaluasi bisa dilakukan secara periodik
hingga beberapa hari sebelum hari H. Dengan cara berpikir akal sehat
semacam itu, kesalahan atau kekurangan bisa dideteksi sejak awal. Karena
itu, meletakkan kesalahan yang berupa keterlambatan distribusi hanya di
percetakan juga sangat sulit dipahami akal sehat.
Apalagi dikaitkan dengan force majeure. Tidak ada
bencana alam, tidak ada gempa bumi, tidak ada banjir bandang, tidak ada
kebakaran hebat di percetakan. Force majeure dalam paham akal sehat
merupakan kejadian di luar kendali manusia yang menyebabkan rencana yang
telah dibuatnya tidak bisa dilaksanakan. Adakah hal semacam itu dalam
pencetakan soal unas? Mendikbud yang justru harus memahami masalah
tersebut.
Keterlambatan distribusi ataupun pencetakan soal-soal
unas membuktikan cara berpikir para pengambil kebijakan di bidang
pendidikan, khususnya dalam pelaksanaan unas, yang ahistoris. Tidak
mengenali sejarah unas. Padahal, semua tahu bahwa unas selalu
dilaksanakan setiap tahun. Sudah semestinya ada time line atau skedul yang sudah pasti.
Ada tahap-tahap yang mesti dilalui, yang mesti dikerjakan. Waktu untuk
semuanya sudah diperkirakan.
Keterlambatan distribusi soal unas yang menyebabkan
pengunduran jadwal itu juga membuktikan bahwa para pelaksana unas tidak
mengenal geografi Indonesia. Semua tahu bahwa Indonesia adalah negeri
yang luas, terdiri atas belasan ribu pulau. Indonesia bukan hanya
Jakarta. Tapi, mengapa soal unas disentralisasi di Jakarta atau Jawa
saja? Indonesia yang luas ini tidak bisa diselesaikan hanya di Jakarta.
Banyak yang sudah membuktikan.
Masyarakat yang berakal sehat sudah tentu bertanya
mengapa pencetakan soal unas tidak dibagi-bagi atau disebar di sejumlah
daerah. Indonesia yang luas ini dijadikan beberapa rayon atau wilayah.
Misalnya enam rayon. Rayon Sumatera dipusatkan di Riau/Medan, rayon
Kalimantan di Balikpapan, rayon Sulawesi di Makassar/Manado, rayon Papua di
Sorong, rayon Jawa-Bali di Jakarta atau Surabaya, dan rayon Nusa Tenggara
di Lombok. Setiap rayon bertanggung jawab untuk sejumlah daerah yang
harus dijangkau. Sudah barang tentu range distribusi rayon-rayon itu akan
lebih sempit jika dibandingkan dengan dijangkau dari Jakarta. Wilayah
yang lebih kecil memungkinkan penanganan distribusi lebih maksimal. Tidak
menumpuk di satu percetakan. Waktu yang dibutuhkan pun bisa lebih cepat.
Kendali terhadap pencetakan soal juga lebih mudah. Jika terjadi kesalahan
atau ada kendala, masalah bisa lebih cepat diatasi.
Takut kebocoran? Distribusi dan kebocoran soal sering
dijadikan satu paket yang menakutkan. Distribusi oleh banyak pihak
dikhawatirkan membuka peluang kebocoran soal yang makin besar, maka
dipusatkan di Jakarta. Padahal, untuk distribusi, pencetakan, maupun
pengawasan kebocoran, ada mekanisme dan prosedur.
Jika pencetakan dan distribusi disebar ke rayon-rayon,
semestinya tinggal melaksanakan prosedur pengamanan yang selama ini
dilakukan. Misalnya, ketika pencetakan dipusatkan di Jakarta, prosedur
pengamanan untuk mengatasi kebocoran dipercayakan kepada petugas
keamanan. Di daerah pun hal seperti itu bisa dijalankan. Jika antisipasi
kebocoran dilakukan dengan membentuk gugus tugas khusus di pusat, hal yang
sama bisa dibentuk di setiap rayon. Begitu akal sehat mengajarkan.
Penundaan pelaksanaan unas, begitu pula unas-nya,
membuat akal sehat semakin sulit menerima. Sudah begitu, banyak sikap
skeptis dan tidak masuk akal yang ditunjukkan masyarakat terhadap pelaksanaan
unas kali ini. Ada yang menyebut peribahasa panas tiga tahun dihapus
hujan tiga hari. Maksudnya, proses belajar mengajar selama tiga tahun
yang ditempuh siswa hanya ditentukan oleh tiga hari pelaksanaan unas.
Nasib para siswa sepertinya hanya bergantung pada unas. Tak heran, banyak
siswa stres, bahkan sampai bunuh diri.
Penundaan pelaksanaan unas di sebelas provinsi sudah
barang tentu bukan untuk menunda tingkat stres siswa. Siswa peserta unas
bisa jadi semakin stres. Siswa yang sudah ikut unas Senin (15/4) stres
karena khawatir nilainya kalah jika dibandingkan dengan yang mengikuti
unas tunda (Kamis, 18/4). Potensi kebocoran sangat tinggi. Era teknologi
informasi akan bisa dengan cepat menyebarkan soal unas Senin itu kepada
mereka yang memulai unas Kamis. Tetapi, peserta unas Kamis (unas tunda)
juga tetap stres. Persiapan yang telah mereka lakukan untuk menghadapi
unas Senin bisa berantakan.
Evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan unas
semestinya menemukan momentumnya saat ini. Akal sehat sangat sulit
memahami penundaan unas. Dan ini bukan force majeure, Pak
Menteri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar