Selasa, 16 April 2013

Akal Tak Sehat Tunda Unas


Akal Tak Sehat Tunda Unas
Erwan Widyarto   Jurnalis, Editor Buku tentang Akal Sehat yang terbit April 2013
JAWA POS, 16 April 2013

  
Saat ujian nasional (unas) dimulai, ternyata Mendikbud M. Nuh yang duluan "tidak lulus". Unas SMA/MA/SMK di sebelas provinsi yang mestinya dilaksanakan serentak Senin (15/4) ditunda Kamis (18/4). Penundaan itu disebabkan distribusi soal yang belum beres. "Ini murni masalah teknis. Ada di percetakan. Peristiwa ini force majeure yang harus dicari solusinya. Kami harap masyarakat memahami," jelas Nuh.

Meski Mendikbud meminta masyarakat memahami, akal sehat akan sulit untuk memahami. Unas merupakan program atau proyek yang sudah pasti, dijadwalkan setiap tahun. Para siswa pun -lebih-lebih orang tuanya- sudah sekuat tenaga menyambut hari "istimewa" itu jauh-jauh hari. Tidak hanya dengan ritual intelektual, tapi juga ritual mistis yang tidak masuk akal. Misalnya mandi kembang, pensil diruwat, dan sebagainya (Jawa Pos, 13/4).

Kontrol dan evaluasi bisa dilakukan secara periodik hingga beberapa hari sebelum hari H. Dengan cara berpikir akal sehat semacam itu, kesalahan atau kekurangan bisa dideteksi sejak awal. Karena itu, meletakkan kesalahan yang berupa keterlambatan distribusi hanya di percetakan juga sangat sulit dipahami akal sehat. 

Apalagi dikaitkan dengan force majeure. Tidak ada bencana alam, tidak ada gempa bumi, tidak ada banjir bandang, tidak ada kebakaran hebat di percetakan. Force majeure dalam paham akal sehat merupakan kejadian di luar kendali manusia yang menyebabkan rencana yang telah dibuatnya tidak bisa dilaksanakan. Adakah hal semacam itu dalam pencetakan soal unas? Mendikbud yang justru harus memahami masalah tersebut.

Keterlambatan distribusi ataupun pencetakan soal-soal unas membuktikan cara berpikir para pengambil kebijakan di bidang pendidikan, khususnya dalam pelaksanaan unas, yang ahistoris. Tidak mengenali sejarah unas. Padahal, semua tahu bahwa unas selalu dilaksanakan setiap tahun. Sudah semestinya ada time line atau skedul yang sudah pasti. Ada tahap-tahap yang mesti dilalui, yang mesti dikerjakan. Waktu untuk semuanya sudah diperkirakan. 

Keterlambatan distribusi soal unas yang menyebabkan pengunduran jadwal itu juga membuktikan bahwa para pelaksana unas tidak mengenal geografi Indonesia. Semua tahu bahwa Indonesia adalah negeri yang luas, terdiri atas belasan ribu pulau. Indonesia bukan hanya Jakarta. Tapi, mengapa soal unas disentralisasi di Jakarta atau Jawa saja? Indonesia yang luas ini tidak bisa diselesaikan hanya di Jakarta. Banyak yang sudah membuktikan.

Masyarakat yang berakal sehat sudah tentu bertanya mengapa pencetakan soal unas tidak dibagi-bagi atau disebar di sejumlah daerah. Indonesia yang luas ini dijadikan beberapa rayon atau wilayah. Misalnya enam rayon. Rayon Sumatera dipusatkan di Riau/Medan, rayon Kalimantan di Balikpapan, rayon Sulawesi di Makassar/Manado, rayon Papua di Sorong, rayon Jawa-Bali di Jakarta atau Surabaya, dan rayon Nusa Tenggara di Lombok. Setiap rayon bertanggung jawab untuk sejumlah daerah yang harus dijangkau. Sudah barang tentu range distribusi rayon-rayon itu akan lebih sempit jika dibandingkan dengan dijangkau dari Jakarta. Wilayah yang lebih kecil memungkinkan penanganan distribusi lebih maksimal. Tidak menumpuk di satu percetakan. Waktu yang dibutuhkan pun bisa lebih cepat. Kendali terhadap pencetakan soal juga lebih mudah. Jika terjadi kesalahan atau ada kendala, masalah bisa lebih cepat diatasi. 

Takut kebocoran? Distribusi dan kebocoran soal sering dijadikan satu paket yang menakutkan. Distribusi oleh banyak pihak dikhawatirkan membuka peluang kebocoran soal yang makin besar, maka dipusatkan di Jakarta. Padahal, untuk distribusi, pencetakan, maupun pengawasan kebocoran, ada mekanisme dan prosedur. 

Jika pencetakan dan distribusi disebar ke rayon-rayon, semestinya tinggal melaksanakan prosedur pengamanan yang selama ini dilakukan. Misalnya, ketika pencetakan dipusatkan di Jakarta, prosedur pengamanan untuk mengatasi kebocoran dipercayakan kepada petugas keamanan. Di daerah pun hal seperti itu bisa dijalankan. Jika antisipasi kebocoran dilakukan dengan membentuk gugus tugas khusus di pusat, hal yang sama bisa dibentuk di setiap rayon. Begitu akal sehat mengajarkan.

Penundaan pelaksanaan unas, begitu pula unas-nya, membuat akal sehat semakin sulit menerima. Sudah begitu, banyak sikap skeptis dan tidak masuk akal yang ditunjukkan masyarakat terhadap pelaksanaan unas kali ini. Ada yang menyebut peribahasa panas tiga tahun dihapus hujan tiga hari. Maksudnya, proses belajar mengajar selama tiga tahun yang ditempuh siswa hanya ditentukan oleh tiga hari pelaksanaan unas. Nasib para siswa sepertinya hanya bergantung pada unas. Tak heran, banyak siswa stres, bahkan sampai bunuh diri.

Penundaan pelaksanaan unas di sebelas provinsi sudah barang tentu bukan untuk menunda tingkat stres siswa. Siswa peserta unas bisa jadi semakin stres. Siswa yang sudah ikut unas Senin (15/4) stres karena khawatir nilainya kalah jika dibandingkan dengan yang mengikuti unas tunda (Kamis, 18/4). Potensi kebocoran sangat tinggi. Era teknologi informasi akan bisa dengan cepat menyebarkan soal unas Senin itu kepada mereka yang memulai unas Kamis. Tetapi, peserta unas Kamis (unas tunda) juga tetap stres. Persiapan yang telah mereka lakukan untuk menghadapi unas Senin bisa berantakan. 

Evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan unas semestinya menemukan momentumnya saat ini. Akal sehat sangat sulit memahami penundaan unas. Dan ini bukan force majeure, Pak Menteri. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar