Meskipun pemilu masih sekitar
satu tahun lagi, namun aromanya sudah mulai terasa saat ini. Sinyalemen
tersebut muncul dari pernyataan Presiden SBY tentang kinerja menteri
menjelang pemilu, belum lama ini.
Menurut Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY), pada tahun 2014 akan banyak pejabat pemerintahan
berperan ganda. Di satu sisi mereka harus bertanggung jawab terhadap
pemerintah, dan di sisi lain, loyalitasnya dituntut untuk dapat
berkontribusi terhadap partai, guna mempersiapkan diri menuju Pemilu 2014.
Bahkan secara tegas SBY menyatakan, menteri dalam kabinetnya yang ingin
konsen pada partainya diminta untuk mengundurkan diri. (Vivanews, 28/1)
Imbauan SBY ini kiranya patut
diapresiasi dan diacungi jempol. Kita tentu tidak ingin para menteri dan
pejabat pemerintahan lainnya lari dari tanggung jawabnya sebagai pelayan
rakyat. Atau, bahkan jangan sampai kedudukan prestisius kementerian
dipolitisasi karena justru akan mereduksi fungsi lembaga kementerian
sendiri.
Di sisi lain, statemen SBY
tersebut juga bisa menjadi bumerang bagi dirinya. Kita tentu belum lupa
bagaimana SBY terpaksa turun gunung ketika gonjang-ganjing di tubuh Partai
Demokrat tak kunjung usai. Bahkan, ia sempat menghelat dua kali pertemuan
besar untuk mengakhiri konflik tersebut. Konflik PD yang saat ini memanas
tampaknya juga bakal membuat SBY kembali turun tangan.
Dalam konteks ini, campur
tangan SBY tentunya akan mengurangi intensitas kinerjanya. Secara logika
matematis hal ini tidak bisa dipungkiri. Akan lebih ironis lagi jika
kondisi ini berlarut-larut hingga menjelang Pilpres 2014. Apalagi, masa
kepemimpinannya hanya menyisakan waktu satu tahun.
Nah, jika kondisi ini
terulang, maka imbauan SBY di atas justru akan menjadi bumerang. Hasilnya,
rakyat makin tidak percaya dengan kepemimpinannya. Namun sekali iktikad
baik SBY tersebut patut kita dukung. Jangan sampai para menteri mereduksi
posisi strategisnya.
Selama ini seorang politisi
sekaligus pejabat publik, termasuk menteri dan pejabat legislatif, setiap
hari hanya disibukkan persoalan partai. Bisa kita lihat di media massa,
hampir 80 persen jika melakukan dialog dengan pejabat publik malah menyoal
kebijakan partai. Bukan memperbincangkan urusan negara yang kian
memprihatinkan kondisinya.
Padahal mustinya antara
politik dan rakyat menjalin relasi yang bersifat simbiosis-mutualisme. Menurut
Vie George Paul Wilding (1992), suatu hubungan timbal balik akan dirasakan
oleh masyarakat dan negara dalam melakukan proses politiknya, apabila
proses politik tak sekedar mencerminkan para elite strategis negara itu
saja. Lebih dari itu, harus ada kesediaan untuk mencerminkan kehendak
masyarakat, walau mungkin kehendak itu secara relatif dipandang menghalangi
proses politik yang seharusnya.
Dualisme jabatan memicu
inkonsistensi dalam bekerja sebagai penyelenggara negara. Salah satu jalan
keluar yang sering diwacanakan adalah agar para elite partai yang diangkat
sebagai pejabat publik di lingkungan eksekutif - khususnya - memilih salah
satu: menjadi pejabat publik atau pengurus partai. Jika tidak, hampir
dipastikan kinerja pemerintahan, baik di pusat maupun daerah, akan
terganggu oleh konflik kepentingan para politikus yang merangkap sebagai
pejabat publik.
Memang, gagasan ini sudah lama
mengemuka namun kurang direspon positif. DPR pun selaku penyusun UU tak
bergeming sedikit pun mengapresiasi usulan ini. Ada indikasi pembusukan
menyelimuti polemik ini. Diduga kuat elit politik di pemerintahan adalah
mesin ATM berjalan yang mampu memberikan pundi-pundi melimpah bagi
pemasukan partai. Maka, tidak heran jika semakin hari kian banyak pejabat
publik yang dicekal KPK dan dibui.
Sistem politik seperti ini
kian diperparah saat momentum pemilu tiba. Pejabat publik akan disibukkan
berkampanye untuk mendongkrak popularitas partai masing-masing. Karena, hal
ini tidak melanggar UU. Pasal 85 UU No 10 Tahun 2008 hanya mengatur bahwa
para pejabat tersebut bisa turut serta berkampanye sepanjang tidak
menggunakan fasilitas yang terkait jabatannya dan dapat mengambil cuti di
luar tanggungan negara.
Bahkan lebih ironis lagi
momentum menjelang pemilu dengan sistem seperti ini akan melahirkan banyak
koruptor. Pasalnya, mereka membutuhkan dana besar untuk menghadapi Pemilu
2014, dan dana partai pun tentu tidak mencukupi untuk dijadikan bekal.
Salah satu solusinya adalah memanfaatkan jabatannya prestisiusnya.
Tidak lucu juga jika SBY dan
pejabat publik lainnya ramai-ramai cuti meninggalkan tanggung jawabnya.
Bisa dibayangkan efeknya, rapat di Senayan sepi karena ditinggal kampanye.
Kalau sudah begini pastinya tugas negara pun bisa terbengkelai. Akhirnya
rakyat lagi yang kena batunya. Naasnya, tidak ada satu pun UU yang mengatur
sanksi pelanggaran ini.
Kader-kader partai yang duduk
di lembaga legislatif dan eksekutif secara berjamaah menjarah uang negara.
Dalam konteks inilah, teori konspirasi berpeluang besar terjadi. Konspirasi
dan tipu daya kebijakan serta pengalokasian anggaran melalui jabatan
dimainkan sedemikian rupa secara apik. Persentase kue bagian pelicin juga
telah dipersiapkan matang.
Maka, pernyataan antisipatif
Presiden SBY patut dijadikan bahan koreksi bagi para elite bangsa dan para
politisi yang sekaligus merangkap sebagai pejabat publik. Pun sudah
semestinya mereka lebih serius mengurusi pekerjaan masing-masing menjelang
akhir jabatan. Dengan demikian, mereka akan lebih fokus mengemban amanah
publik hingga akhir periode. Bahkan, mereka akan memiliki jasa sekaligus
dikenang masyarakat sebagai pejabat yang husnul khotimah. Bukan pejabat yang suul khotimah. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar