Jumat, 08 Februari 2013

Stop Dualisme Jabatan


Stop Dualisme Jabatan
Abdullah Hanif ;  Analis Politik Magister UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
SUARA KARYA, 07 Februari 2013


Meskipun pemilu masih sekitar satu tahun lagi, namun aromanya sudah mulai terasa saat ini. Sinyalemen tersebut muncul dari pernyataan Presiden SBY tentang kinerja menteri menjelang pemilu, belum lama ini.

Menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pada tahun 2014 akan banyak pejabat pemerintahan berperan ganda. Di satu sisi mereka harus bertanggung jawab terhadap pemerintah, dan di sisi lain, loyalitasnya dituntut untuk dapat berkontribusi terhadap partai, guna mempersiapkan diri menuju Pemilu 2014. Bahkan secara tegas SBY menyatakan, menteri dalam kabinetnya yang ingin konsen pada partainya diminta untuk mengundurkan diri. (Vivanews, 28/1)

Imbauan SBY ini kiranya patut diapresiasi dan diacungi jempol. Kita tentu tidak ingin para menteri dan pejabat pemerintahan lainnya lari dari tanggung jawabnya sebagai pelayan rakyat. Atau, bahkan jangan sampai kedudukan prestisius kementerian dipolitisasi karena justru akan mereduksi fungsi lembaga kementerian sendiri.

Di sisi lain, statemen SBY tersebut juga bisa menjadi bumerang bagi dirinya. Kita tentu belum lupa bagaimana SBY terpaksa turun gunung ketika gonjang-ganjing di tubuh Partai Demokrat tak kunjung usai. Bahkan, ia sempat menghelat dua kali pertemuan besar untuk mengakhiri konflik tersebut. Konflik PD yang saat ini memanas tampaknya juga bakal membuat SBY kembali turun tangan.

Dalam konteks ini, campur tangan SBY tentunya akan mengurangi intensitas kinerjanya. Secara logika matematis hal ini tidak bisa dipungkiri. Akan lebih ironis lagi jika kondisi ini berlarut-larut hingga menjelang Pilpres 2014. Apalagi, masa kepemimpinannya hanya menyisakan waktu satu tahun.

Nah, jika kondisi ini terulang, maka imbauan SBY di atas justru akan menjadi bumerang. Hasilnya, rakyat makin tidak percaya dengan kepemimpinannya. Namun sekali iktikad baik SBY tersebut patut kita dukung. Jangan sampai para menteri mereduksi posisi strategisnya.

Selama ini seorang politisi sekaligus pejabat publik, termasuk menteri dan pejabat legislatif, setiap hari hanya disibukkan persoalan partai. Bisa kita lihat di media massa, hampir 80 persen jika melakukan dialog dengan pejabat publik malah menyoal kebijakan partai. Bukan memperbincangkan urusan negara yang kian memprihatinkan kondisinya.

Padahal mustinya antara politik dan rakyat menjalin relasi yang bersifat simbiosis-mutualisme. Menurut Vie George Paul Wilding (1992), suatu hubungan timbal balik akan dirasakan oleh masyarakat dan negara dalam melakukan proses politiknya, apabila proses politik tak sekedar mencerminkan para elite strategis negara itu saja. Lebih dari itu, harus ada kesediaan untuk mencerminkan kehendak masyarakat, walau mungkin kehendak itu secara relatif dipandang menghalangi proses politik yang seharusnya.

Dualisme jabatan memicu inkonsistensi dalam bekerja sebagai penyelenggara negara. Salah satu jalan keluar yang sering diwacanakan adalah agar para elite partai yang diangkat sebagai pejabat publik di lingkungan eksekutif - khususnya - memilih salah satu: menjadi pejabat publik atau pengurus partai. Jika tidak, hampir dipastikan kinerja pemerintahan, baik di pusat maupun daerah, akan terganggu oleh konflik kepentingan para politikus yang merangkap sebagai pejabat publik.

Memang, gagasan ini sudah lama mengemuka namun kurang direspon positif. DPR pun selaku penyusun UU tak bergeming sedikit pun mengapresiasi usulan ini. Ada indikasi pembusukan menyelimuti polemik ini. Diduga kuat elit politik di pemerintahan adalah mesin ATM berjalan yang mampu memberikan pundi-pundi melimpah bagi pemasukan partai. Maka, tidak heran jika semakin hari kian banyak pejabat publik yang dicekal KPK dan dibui.

Sistem politik seperti ini kian diperparah saat momentum pemilu tiba. Pejabat publik akan disibukkan berkampanye untuk mendongkrak popularitas partai masing-masing. Karena, hal ini tidak melanggar UU. Pasal 85 UU No 10 Tahun 2008 hanya mengatur bahwa para pejabat tersebut bisa turut serta berkampanye sepanjang tidak menggunakan fasilitas yang terkait jabatannya dan dapat mengambil cuti di luar tanggungan negara.

Bahkan lebih ironis lagi momentum menjelang pemilu dengan sistem seperti ini akan melahirkan banyak koruptor. Pasalnya, mereka membutuhkan dana besar untuk menghadapi Pemilu 2014, dan dana partai pun tentu tidak mencukupi untuk dijadikan bekal. Salah satu solusinya adalah memanfaatkan jabatannya prestisiusnya.

Tidak lucu juga jika SBY dan pejabat publik lainnya ramai-ramai cuti meninggalkan tanggung jawabnya. Bisa dibayangkan efeknya, rapat di Senayan sepi karena ditinggal kampanye. Kalau sudah begini pastinya tugas negara pun bisa terbengkelai. Akhirnya rakyat lagi yang kena batunya. Naasnya, tidak ada satu pun UU yang mengatur sanksi pelanggaran ini.

Kader-kader partai yang duduk di lembaga legislatif dan eksekutif secara berjamaah menjarah uang negara. Dalam konteks inilah, teori konspirasi berpeluang besar terjadi. Konspirasi dan tipu daya kebijakan serta pengalokasian anggaran melalui jabatan dimainkan sedemikian rupa secara apik. Persentase kue bagian pelicin juga telah dipersiapkan matang.

Maka, pernyataan antisipatif Presiden SBY patut dijadikan bahan koreksi bagi para elite bangsa dan para politisi yang sekaligus merangkap sebagai pejabat publik. Pun sudah semestinya mereka lebih serius mengurusi pekerjaan masing-masing menjelang akhir jabatan. Dengan demikian, mereka akan lebih fokus mengemban amanah publik hingga akhir periode. Bahkan, mereka akan memiliki jasa sekaligus dikenang masyarakat sebagai pejabat yang husnul khotimah. Bukan pejabat yang suul khotimah. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar