INTERVENSI militer Prancis di Mali tidak juga membuat
konflik di negara Afrika Barat itu mereda. Perserikatan Bangsa-Bangsa
bahkan mencatat sedikitnya 230.000 orang telah mengungsi. Tepatkah
kehadiran militer Prancis di negara bekas jajahannya itu, dan apa
solusi terbaik?
Kekacauan terjadi di Mali pascakudeta militer terhadap
Presiden Amadou Toumani Toure pada 22 Maret 2012. Di utara, muncul kelompok
bersenjata seperti Al Qaeda di Maghribi Islam (AQIM), Gerakan Keesaan dan
Jihad di Afrika Barat (MUJAO), Ansar Dine dan Gerakan Pembebasan Nasional
Azawad (MNLA). Bentrok antara tentara pemerintah dan gerilyawan
utara kemudian terjadi.
Konflik Mali dengan demikian adalah konflik bersenjata
domestik (non-international armed
conflict/NIAC). Karenanya intervensi militer Prancis bukan solusi
tepat, karena justru memicu berbagai problem baru.
Pertama; dunia melihat ketergesa-gesaan Prancis
melakukan serangan tanpa kewenangan yang sah. Sejumlah analisis berkembang
bahwa Prancis ingin tetap menjaga eksistensinya dalam sektor politik dan perekonomian
Mali yang memiliki berbagai sumber alam seperti tambang uranium yang
melimpah, minyak, gas, emas, berlian, dan tembaga.
Prancis mulai melakukan serangan pada 9 Januari 2013
namun baru mendesak pertemuan darurat Dewan Keamanan PBB pada 14 Januari.
Dalam pertemuan itu, memang semua negara anggota Dewan Keamanan menyatakan
dukungan terhadap serangan militer Prancis ke Mali dengan sasaran pasukan
perlawanan Islam.
Intervensi Perancis terbukti tidak menjamin konflik
mereda sehingga masih sulit diduga kapan ketegangan berakhir.
Presiden Prancis Francoise Hollande yang hadir ke Mali (2/2) juga tidak
yakin konflik akan segera mereda. Yang baru kita dengar adalah sebatas
pernyataan Menteri Pertahanan Prancis Jean-Yves Le Drian bahwa ratusan
anggota kelompok Islam militan tewas sejak serangan ke Mali bulan lalu.
Kedua; beberapa persoalan kemanusiaan yang timbul
akibat intervensi. Seorang juru bicara Komite Internasional Palang Merah
Ali Naraghi mengatakan situasi kemanusiaan di Mali "memburuk dengan
cepat". Korban sipil berjatuhan dan pengungsian besar-besaran terjadi
karena tempat tinggal mereka turut jadi sasaran serangan udara 30 jet
tempur Prancis.
Selain itu dunia juga mengkhawatirkan ekses kekejaman
tentara Mali. Pe-nasihat khusus PBB antigenosida Adama Dieng,
memprihatinkan laporan perilaku kekerasan tentara Mali saat menguasai
kembali kawasan utara negara itu.
Merangkul
Semua
Entah karena merasa nyaman dengan kehadiran 4.000
personel Prancis atau alasan lain, tentara Mali diduga merekrut dan mempersenjatai
kelompok milisi dari kawasan selatan untuk membunuh orang-orang Arab dan
etnis Tuareg di kawasan utara.
Tindakan brutal tentara Mali itu terjadi di kota-kota
seperti Sevare, Mopti, Niono, dan kawasan lain yang dilanda pertempuran di
kedua pihak.
Pimpinan Jaksa Penuntut Mahkamah Kejahatan
Internasional (International Criminal
Court/ICC) Fatou Bensouda sudah memperingatan dugaan praktik
kekerasan oleh tentara Mali ini.
Ketiga; keterlibatan Perancis telah mempercepat
internasionalisasi konflik baik dari sisi pihak terlibat maupun dampak.
’’Tajuk Rencana’’ harian ini 6 Februari lalu juga menulis bahwa serangan
Prancis berisiko memicu ketegangan di negara-negara di kawasan akibat
penyeberangan militan ke Aljazair dan Libya. Termasuk dalam konteks ini adalah
bahaya teroris ekstrem yang mengancam akan melancarkan serangan luar ke
Eropa.
Pascaserangan udara Prancis misalnya, milisi Mali
menyandera ratusan warga asing di Aljazair. Di antara sandera itu, terdapat
puluhan warga dari negara-negara Barat. Padahal dalam tipologi konflik
domestik atau internasional akan berimplikasi pada hukum perang/humaniter
yang berlaku, sekaligus pada strategi penyelesaian konflik yang tepat.
Fakta- fakta tersebut menunjukkan bahwa solusi militer
berbahaya. Ia mempertontonkan persekutuan (aliansi militer
Mali-Prancis) yang cenderung sarat kepentingan dan mengabaikan ide keamanan
bersama yang diperjuangkan masyarakat dunia. Uni Internasional Ulama Muslim
misalnya, secara tegas mengutuk intervensi Prancis.
Karenanya solusi politik harus diutamakan sebagai
solusi dan koreksi. Kalaupun ada intervensi, seharusnya berwujud intervensi
kemanusiaan secara multilateral. Kekuatan militer bersama bisa saja
dihadirkan tetapi dalam kerangka penjamin penyelesaian politik.
Langkah-langkah yang lumrah digunakan kemudian adalah
memisahkan kubu bertikai untuk tidak saling menyerang baik dengan gencatan
senjata ataupun pembentukan zona demarkasi (pemisah).
Langkah kedua yaitu mempertemukan pihak bertikai untuk
menegosiasikan penyelesaian damai.
Langkah terakhir adalah membuat permanen suasana damai
dengan membentuk tatanan dan relasi sosial ekonomi politik yang stabil dan
merangkul semua.
Dalam konteks itu, peran organisasi regional Afrika
lebih pantas diberi ruang sebagaimana diusulkan sejak awal konflik.
Cara-cara diplomasi daripada perang seperti kesediaan Presiden
sementara Mali Dioncounda Traore mengadakan pembicaraan dengan
MNLA juga patut didukung. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar