Saya sangat geram membaca naskah akademik RUU Perdagangan yang saat
ini sedang dibahas DPR. Dalam naskah akademik (NA) yang disusun Kementerian
Perdagangan itu, kita tidak hanya dapat menyaksikan buruknya apresiasi
Kementerian Perdagangan terhadap Pasal 33 UUD 1945. Dari berbagai paragraf
yang terdapat dalam NA itu, kita dapat menelusuri kecenderungan Kementerian
Perdagangan melecehkan Pasal 33 UUD 1945.
Hebatnya, pelecehan terhadap Pasal 33 UUD 1945 itu vulgar sejak
halaman pertama. Simak, misalnya, Bab I.A.1 butir g mengenai Landasan
Filosofis yang mendasari penyusunan NA itu. Menurut NA tersebut, ”Market
mechanism is the best mechanism for the economy.”
Dengan landasan filosofis yang diadopsi secara mentah-mentah dari
paham ekonomi liberal itu, kandungan berbagai paragraf yang terdapat dalam
NA itu menjadi mudah ditebak. NA RUU Perdagangan tampaknya memang disusun
sebagai bagian dari upaya sistematis untuk menyingkirkan Pasal 33 UUD 1945.
Demokrasi Ekonomi
Gambaran yang lebih jelas mengenai pelecehan Pasal 33 UUD 1945 yang
dilakukan NA RUU Perdagangan itu dapat disimak dalam Bab II dan III. Sebagaimana
dikemukakan oleh NA tersebut, asas-asas yang digunakan dalam menyusun NA
itu antara lain mengacu pada Pasal 33 UUD 1945 (hasil amandemen keempat).
Sehubungan dengan itu, salah satu asas yang digunakan dalam menyusun NA RUU
Perdagangan itu adalah asas demokrasi ekonomi.
Sepintas lalu pencantuman asas demokrasi ekonomi itu memang tampak
heroik. Namun, bila dikaji lebih jauh, akan segera diketahui bahwa tindakan
itu sesungguhnya hanyalah basa-basi.
Sikap basa-basi itu antara lain dapat disimak pada tiadanya definisi
yang jelas. Bahkan, menyimak uraian yang terdapat dalam NA itu, tidak
berlebihan bila ditarik kesimpulan bahwa menurut Kementerian Perdagangan,
demokrasi ekonomi sesungguhnya hanyalah slogan kosong yang tidak jelas
ujung-pangkalnya. Sebagaimana dikemukakannya dalam Bab II butir a,
”Demokrasi ekonomi menganut asas keberpi- hakan pada rakyat, dilakukan oleh
rakyat dan ditujukan untuk rakyat.”
Bandingkanlah uraian itu dengan dua definisi demokrasi ekonomi
berikut. ”Economic democracy is a
socioeconomic philosophy that proposes to shift decision-making power from
corporate shareholders to a larger group of public stakeholders that
includes workers, customers, suppliers, neighbors and the broader public,”
(http://en.wikipedia.org/wiki/Economic_democracy. Diakses pada 31 Januari
2013).
”Economic democracy,
conceptualized in the wake of Rancière as a permanent struggle against the
oligarchy of owners, lies in the coordination of economic action (through
cooperation), workers’ demands (through trade unions) and political action,
since, more than ever, the social power of wealth relies on state power,”
(Rousselière, 2004).
Sejalan dengan kedua definisi demokrasi ekonomi itu, amanat Pasal 33
UUD 1945 untuk melembagakan tiga hal berikut dalam menyelenggarakan
demokrasi ekonomi di Indonesia menjadi mudah dipahami: (1) Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (2)
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan (3) Bumi, air, dan segala
kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
NA RUU Perdagangan itu tampaknya tidak tertarik dengan amanat Pasal
33 Ayat 1, 2, dan 3. Sebab itu, ketika berbicara mengenai peran pemerintah
dalam Bab III.B.3, ia justru memulai uraiannya tentang peran the invisible
hand. Menurut NA itu, ”Dalam ekonomi
pasar, harga merupakan instrumen pada saat bekerjanya invisible hand.
Invisible hand umumnya juga menjamin alokasi yang efisien atas
sumber-sumber daya.”
Liberalisasi Perdagangan
Bertolak belakang dengan sikapnya yang cenderung melecehkan Pasal 33
UUD 1945, sikap NA RUU Perdagangan itu terhadap berbagai kesepakatan
liberalisasi perdagangan internasional cenderung sangat ramah. Pembahasan
tidak hanya dilakukan secara mendalam, tetapi dilakukan dengan penuh
simpati dan penghormatan.
Simak misalnya pembahasan mengenai hierarki berbagai kerja sama
perdagangan internasional sebagaimana dilakukannya dalam Bab III.B.3. Menurut
NA itu, berbagai kerja sama perdagangan internasional yang selama ini
diikuti Indonesia dapat disusun dalam hierarki berikut.
Posisi tertinggi diduduki Organisasi Perdagangan Dunia, disusul oleh
Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC). Di bawah APEC terdapat Forum
Regional ASEAN (ARF) yang bersifat mendukung APEC. Selanjutnya, di bawah
ARF, terdapat ASEAN +3 dan ASEAN +1. Akhirnya, di bawah ASEAN +1, terdapat
berbagai kerja sama perdagangan yang bersifat bilateral.
Menurut NA itu, kerja sama bilateral sesungguhnya memiliki kelemahan.
”Kelemahan kerja sama bilateral
adalah kemungkinan terjadinya Hub-Spokes Problem di mana jumlah komoditas
nasional yang akan diliberalisasikan menjadi jauh lebih banyak ketimbang
bila ia maju atas nama ASEAN. Namun, apabila kerja sama bilateral tidak
dilakukan, negara anggota yang tidak melakukan akan mengalami kerugian
(opportunity cost) karena negara anggota lainnya sudah terlebih dahulu
(first mover advantage) melakukan kerja sama bilateral.”
Sikap hormat berlebihan NA RUU Perdagangan itu terhadap berbagai
kesepakatan liberalisasi perdagangan internasional dapat disimak ketika ia
berbicara mengenai harmonisasi kebijakan perdagangan. Menurut NA itu, ”Pemerintah mengatur perdagangan dengan
tidak melanggar hal-hal yang sudah disepakati dalam perjanjian
internasional: WTO, GATS, ASEAN Economic Community dan lain-lain.”
Betapa sangat ramah sikap NA RUU Perdagangan itu terhadap kesepakatan
liberalisasi perdagangan internasional. Untuk tujuan apakah sesungguhnya
RUU Perdagangan disusun, untuk melaksanakan Pasal 33 UUD 1945 atau untuk
menyingkirkannya? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar