Kebutuhan Alquran setiap
tahunnya di Indonesia sekitar dua juta eksemplar. Hal ini diukur dari kriteria
keluarga prasakinah. Permasalahannya ialah siapa dan bagaimana mencetak
atau menggandakan Alquran di Indonesia? Di negara-negara Islam lain,
khususnya di kawasan Timur Tengah, umumnya dicetak oleh percetakan negara,
seperti Saudi Arabia, Kuwait, Suriah, Uni Emirat Arab, Mesir, dan Sudan.
Para pekerja yang sedang haid
dialihkan ke divisi yang tidak bersentuhan langsung dengan mushaf Alquran.
Atas dasar ini, Pak Maftuh Basyuni ketika menjabat menteri Agama menggagas
pabrik percetakan mushaf Alquran dan sekarang sudah beroperasi di Ciawi. Sayang
sekali masih berskala kecil sehingga belum bisa bersaing dengan percetakan
besar dan masih kesulitan juga ikut tender.
Idealnya, Alquran dipisahkan
dengan barang cetakan lain karena kekhususan yang dimilikinya. Alquran
sebagai Kalamullah, Firman Tuhan, dalam keyakinan umat Islam harus
dimuliakan. Bukan saja dalam bentuk mengamalkan ajaran-ajarannya, tetapi
termasuk akhlak terhadap Alquran. Di antara akhlak kita terhadap Alquran
tidak boleh disentuh sebelum dalam keadaan bersih, sebagaimana firman
Allah, "La yamassahu illa
al-muthahharun. (Jangan
menyentuhnya sebelum dalam keadaan bersih)."
Imam Syafi'i memahaminya
sebelum bewudhu. Orang yang batal wudhunya disarankan berwudhu, baru
kembali menyentuh mushaf Alquran. Orang dalam keadaan janabah dan perempuan
menstruasi tidak diperkenankan menyentuh mushaf Alquran. Mereka bisa
membaca ayat-ayat Alquran yang mereka hafal.
Kalangan ulama Hanafiah membolehkan perempuan haid menyentuh mushaf karena
kata al-muthahharun dalam ayat di atas dimaknainya bersih secara batin.
Jika ada orang yang sangat rindu membaca Alquran, tetapi masih sedang
menjalani haid maka ada minoritas ulama membolehkannya.
Alquran juga tidak bisa
diletakkan sembarang tempat. Harus disimpan dan ditempatkan di tempat yang
lebih tinggi, tidak boleh ditindih oleh buku-buku atau benda-benda lain.
Memegangnya pun dianjurkan dengan tangan kanan.
Penyimpanannya juga harus di tempat yang bersih, tidak boleh di tempat yang
kotor.
Jika ditemukan robekan Alquran
atau Alquran yang sudah rusak, sebagian ulama menyarankannya agar dibakar,
mencontoh mushaf-mushaf pada zaman Utsman bin Affan yang sudah tidak
digunakan lagi pascaunifikasi kodifikasi Alquran. Itu lebih baik daripada
berseliweran di mana-mana dan mungkin di tempat sampah, apalagi diinjak-injak.
Bagaimana hukumnya orang-orang
non-Muslim menyentuh mushaf Alquran? Kalangan ulama ada yang membolehkan
selama tujuannya baik, seperti memindahkan ke tempat lebih terhormat,
membaca dan mengkajinya untuk menemukan kebenaran sejati, serta mengoleksinya
sepanjang diperlakukan secara wajar sebagai kitab suci.
Sebagian lagi ulama yang tidak
membolehkannya dengan alasan mereka dapat dikategorikan sebagai najis
dengan menunjuk QS at-Taubah [9]: 28, "Innamal
musyrikina najasun (Sesungguhnya
orang-orang musyrik itu najis)."
Ayat ini mereka pahami tidak
layak bagi non-Muslim menyentuh mushaf Alquran. Ini sama sekali bukan
persoalan rasialisme keagamaan, tetapi memang tuntunannya seperti itu.
Pikiran ini juga bisa mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya,
jika terjadi salah cetak pada mushaf Alquran, lantas pencetaknya perusahaan
non-Muslim bisa menimbulkan persoalan lebih rumit, mungkin yang tidak bisa
diselesaikan hanya dengan meminta maaf.
Dalam posisi penulis selaku
dirjen Bimas Islam, terutama mungkin subjek- tivitas saya yang mengambil
spesialisasi ulumul Qur'an, rektor Institut Perguruan Tinggi Ilmu Alquran
Jakarta, dan wakil direktur Pusat Studi Alquran, pernah mengusulkan kepada
Pak Menag ketika itu kalau bisa ada regulasi khusus tentang pencetakan
Alquran. Tetapi, beliau dengan arif menjawab pelaksanaan tender diatur oleh
keppres, tentu kedudukannya lebih tinggi daripada kepmenag.
Beliau menceritakan, pernah
juga penggandaan Alquran dimenangkan perusahaan milik seorang haji, tetapi
kemudian disubkontrakkan lagi kepada orang lain, jadi kemahalannya menjadi
dua kali. Semenjak itu, saya sependapat dengan beliau, kembali kepada
peraturan yang ada, siapa pun yang memenangkan tender, dialah yang paling
berhak mengerjakannya. Mungkin untuk sementara, kita bisa berpegang kepada
prinsip akhaf al-dhararain atau irtikab al-dhararain, kalau tidak
ada jalan lain maka kita sepantasnya memilih risiko paling minim.
Penerbitan atau percetakan
mushaf Alquran di Indonesia masih ditangani oleh swasta. Proyek pengadaan
dan penggandaan mushaf Alquran tidak ada regulasi khusus. Siapa saja yang
memenangkan tender, dialah yang berhak mencetaknya, tanpa memilah agama,
jenis kelamin, dan status khusus yang akan terlibat di dalam percetakan
itu.
Amat memilukan hati sebagai
seorang Muslim, menyaksikan halaman-halaman Alquran yang bermasalah
dibiarkan berseliweran di sekitar mesin cetak Al- quran, terkadang ada yang
diinjak-injak sebelum dikumpulkan di tempat sampah, dijahit oleh
orang-orang yang memamerkan aurat, mungkin juga sedang janabah, menstruasi,
atau tidak layak menyentuh Alquran.
Alquran berada di bawah
tumpukan buku-buku lain di dalam gudang sempit, bahkan dijadikan dalam dus
dijadikan anak tangga untuk mengambil barang- barang di atasnya. Belum
lagi, dus-dus Alquran dilempar-lempar dari atas mobil atau dari atas kapal
yang memuatnya. Sudah saatnya penggandaan Alquran segera dicetak oleh
negara atau kalau belum mampu, diberikan regulasi khusus.
Tidak Etis
Alquran sebagai kitab suci dan
Kalamullah, dijamah oleh tangan-tangan tidak bersih, tidak suci, dan
diperlakukan sebagai buku-buku biasa. Mulai dari pembuatan software,
patron, pencetakan, penjilidan, penjahitan, penyusunan, pengemasan, sampai
pada pendistribusian, idealnya dikerjakan oleh tangan-tangan khusus demi
kemuliaan Alquran.
Sangat naif Indonesia dengan
penduduk Muslim terbesar di dunia, tidak memiliki percetakan khusus atau
sistem regulasi khsusus penggandaan Alquran. Perhatian saya seperti
ini sama sekali tidak ada tujuan lain, kecuali lii'lai Kalimatillah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar