Selasa, 19 Februari 2013

Pilkada Langsung versus Pilihan DPRD


Pilkada Langsung versus Pilihan DPRD
J Kristiadi Peneliti Senior CSIS
KOMPAS, 19 Februari 2013


Dewasa ini pemerintah dan DPR sedang membahas secara serentak tiga rancangan undang-undang yang berkaitan dengan desentralisasi: (1) RUU Pemilihan Kepala Daerah, (2) RUU tentang Revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan (3) RUU Desa. Kehadiran tiga regulasi tersebut sangat penting dan mendesak berdasarkan beberapa alasan sebagai berikut.

Pertama, desentralisasi sebagai bagian dari struktur kekuasaan di daerah yang telah diberikan kewenangan besar sejak reformasi belum memberikan manfaat yang signifikan bagi masyarakat banyak. Kedua, bahkan setelah kepala daerah dipilih secara langsung (pilkada) tahun 2005, yang menggantikan pemilihan oleh DPRD, tingkat efektivitas pemerintahan daerah rata-rata masih rendah. Ketiga, pilkada langsung sangat mahal sehingga mengakibatkan pemborosan anggaran negara dan merebaknya politik uang. Karena itu, tujuan utama RUU Pilkada antara lain untuk meningkatkan efektivitas pemerintahan daerah dan mencegah korupsi politik.

Beberapa isu yang dianggap krusial dalam RUU Pilkada dikelompokkan dalam beberapa kluster: (1) pemilihan gubernur dipilih oleh DPRD provinsi, bupati/wali kota tetap dipilih secara langsung, (2) pemilihan gubernur dan bupati/wali kota tidak satu paket, (3) politik dinasti dan pengalaman dalam jabatan publik, (4) penyelesaian hukum kasus sengketa pilkada, (5) pilkada serentak, dan (6) dana pilkada.

Isu yang dianggap paling krusial adalah apakah pemilihan gubernur secara langsung atau oleh DPRD provinsi? Perdebatan yang berkembang adalah cara pemilihan mana yang dianggap lebih legitimate dari yang lain. Jawabannya tentu tidak sederhana. Untuk lebih mudahnya, mungkin terlebih dahulu dapat dikemukakan bahwa yang disebut legitimasi politik dapat dimaknai sebagai keabsahan kekuasaan, pengaruh, kewenangan, dan sejenisnya yang sumbernya diterima dan diakui masyarakat.

Dalam perspektif sejarah, sumber kekuasaan bermacam-macam. Pada zaman prasejarah, kekuatan fisik dapat menjadi sumber legitimasi, sebagaimana muncul dalam mitos Yunani, dalam tokoh Hercules, Samson, dan sebagainya. Legitimasi juga dapat diperoleh dari keturunan, etnisitas, ras, dan sebagainya. Dalam politik modern, sumber legitimasi tatanan kekuasaan beradab dan demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Artinya, siapa pun yang berkuasa harus mendapat mandat dari rakyat. Oleh karena itu, demokrasi modern adalah demokrasi perwakilan.

Namun, harus diingat, meskipun wakil rakyat dipilih oleh rakyat, tidak berarti kedaulatan rakyat tidak terserap habis (terabsorb) oleh anggota parlemen. Rakyat masih menyisakan kedaulatan yang dapat dijadikan kekuatan tanding untuk mengontrol para wakil rakyat. Ekspresi tersebut berada dalam ranah publik (civil society) dalam bentuk opini publik, berbagai organisasi non-negara, dan sebagainya.

Efektivitas Kinerja

Dalam konteks Indonesia, para pendiri negara merumuskan dalam sila keempat: kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan. Maknanya, negara Indonesia adalah negara demokrasi perwakilan. Hal itu perlu ditegaskan agar tidak rancu bahwa pemilihan langsung dianggap tabu karena bertentangan dengan Pancasila. Oleh sebab itu, dari perspektif elektoral-prosedural, antara pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat dan dipilih oleh DPRD sama legitimate-nya. Perbedaan tingkat keabsahan justru terletak pada efektivitas kinerja pemerintahan daerah. Dengan demikian, mengobati penyakit rendahnya efektivitas pemerintahan bukan dengan perspektif pemilihan gubernur langsung atau tidak, melainkan dengan meningkatkan kualitas kandidat kepala daerah. Hal itu berarti pendidikan kader partai politik menjadi suatu keniscayaan.

Demikian pula tudingan bahwa pilkada langsung menjadi sumber korupsi politik juga tidak terlalu tepat. Sebab, asal penyalahgunaan kekuasaan adalah aturan main dalam kompetisi politik yang tidak adil. Artinya, parpol yang telanjur menjadi besar mempunyai akses terhadap kekayaan negara, sebanding dengan kekuasaan yang dimiliki. Semakin besar kekuasaan, semakin besar akses mereka terhadap kekayaan negara dan semakin besar pula potensi kemampuan mengekstrak kekayaan negara untuk kepentingan politik mereka.

Maka, kunci utama mengurangi secara drastis korupsi politik adalah regulasi yang transparan mengenai sumber keuangan partai dan dana kampanye. Pertanggungjawaban juga harus jelas dan rinci, misalnya pengeluaran dana partai harus dapat dibuktikan dengan penerimaan dan sumber penyumbang juga harus jelas. Tak kalah penting, sanksi tegas bagi pelanggar harus dicantumkan secara eksplisit dalam regulasi tersebut.

Akhirnya, pembahasan ketiga RUU tersebut sebaiknya dilakukan dengan komprehensif. Dengan demikian, berbagai isu yang bisa diakomodasi di UU lain tak harus dipaksakan masuk dalam UU yang tidak memungkinkan mencantumkan pasal tersebut. Ke depan yang harus dilakukan adalah kemampuan negara (pemerintah dan DPR) membuat politik perundang-undangan yang jelas. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar