"Organisasi pemda belum menganut
asas yang mengedepankan miskin struktur tapi kaya fungsi"
PEMIMPIN selalu lahir dari situasi krisis dan kekacauan (riot)
karena itu diperlukan kemampuan untuk mempersatukan seluruh elemen bangsa
ini, dan itu butuh sosok negarawan yang teruji integritasnya. Banyak
pemimpin hidup berkelimpahan tetapi tidak mempunyai, apalagi meyakini makna
atau nilai (meaning) hidup yang harus diperjuangkan.
Bagaimana jika kekosongan eksistensial ini
melanda kepemimpinan birokrasi. Mungkinkah seorang pemimpin dapat
mereformasi atas dasar fundamen moral dan etika dalam tubuh birokrasi? Tak
sedikit sumber daya, dana, pikiran, dan tenaga yang dicurahkan untuk
mewujudkan reformasi birokrasi namun belum dapat mengubah kinerja dan
organisasi pemerintah, sesuai dengan tuntutan reformasi.
Realitasnya, hingga kini belum dapat
diwujudkan kinerja pemerintahan yang bersih (clean government), budaya organisasi dan tata kelola pemerintah
yang baik (good governance)
berjalan lamban, dan pelayanan prima (excellence of service) masih belum optimal.
Pertanyaan lain, mengapa reformasi
birokrasi tak segera dapat diwujudkan? Padahal birokrasi adalah salah satu
penggerak reformasi yang sangat penting. Birokrasi memang sudah melakukan
perubahan tetapi baru pada tingkat permukaan. Yang berubah hanyalah
nomenklatur (nama) lembaga-lembaga birokrasi.
Reformasi birokrasi yang sesungguhnya belum
dilakukan secara sistematis dan terukur. Berbagai indikator menunjukkan
bahwa reformasi birokrasi belum terlaksana dengan baik, (LGSP, 2008).
Kemerebakan kasus korupsi merupakan salah satu indikasi bahwa reformasi
birokrasi belum dilaksanakan secara konsisten.
Di sisi lain, restrukturisasi di berbagai lembaga
pemerintahan tidak memberikan gambaran bahwa reformasi birokrasi sebagai
alat untuk peningkatan efisiensi dan efektivitas pembangunan dan
pemerintahan. Dengan kata lain, restrukturisasi birokrasi tidak sepenuhnya
mendukung tujuan reformasi birokrasi. Apakah kondisi seperti ini dapat
dimaknai sebagai buah reformasi?
Fakta membuktikan bahwa hingga kini pemilu
yang diberi predikat sebagai indikator implementasi demokrasi selalu
berakhir dengan ”kericuhan”. Lebih dari 50% pilkada berakhir dengan protes,
demonstrasi, kekerasan, dan perusakan. Prinsip kebersamaan yang harus
ditegakkan menjadi terabaikan. Hal ini mengakibatkan moral dan etika
politik birokrasi gagal membawa transformasi nilai-nilai menuju cita-cita
reformasi.
Kita perlu menelusuri persoalan besar yang
menghambat laju reformasi. Pertama; implikasi proses demokrasi, yakni
perilaku berdemokrasi justru melanggar atau berlawanan dengan nilai-nilai
demokrasi, seperti kemunculan kerusuhan, huru-hara, demonstrasi, yang
notabene melahirkan budaya politik mobokrasi.
Kaya Fungsi
Semua berdalih tindakan apa pun adalah
pembenaran demi demokrasi, perilaku demoralisasi tanpa mengedepankan etika.
Euforia demokrasi memicu demoralisasi dan etika politik demokrasi yang
tidak mendasarkan pada prinsip-prinsip kerakyatan, keadilan, dan hak
asasi. Inikah wujud integrasi tanpa inteligensia?
Kedua; budaya kepemimpinan. Perubahan
sosial era reformasi yang begitu cepat juga dapat dirasakan betapa absurd
kondisi nilai-nilai budaya bangsa yang makin rentan dan mudah terkikis
sehingga harmoni kehidupan bernegara dan bermasyarakat tidak dapat
diwujudkan secara sehat.
Demoralisasi etika politik birokrasi sangat
bergantung pada para pemimpin, disorientasi mindset dari paham sentralistik
ke desentralisasi, dan kemunculan budaya etnosentrisme dan egosentrisme
mengancam kesatuan NKRI. Di tangan pemimpin yang berkarakter dan
bermartabatlah, budaya dan etika organisasi pemerintahan dapat
diselamatkan, jika mampu membangun perubahan nilai-nilai, semisal
mengurangi budaya birokrasi dari elitis ke egaliter (merakyat) dan budaya
birokratis ke humanis.
Ketiga; tata pamong organisasi
pemerintahan. Membangun budaya organisasi tata kelola pemerintahan
yang sehat sesuai tuntutan reformasi adalah membangun organisasi yang
ramping, dan SDM berkinerja sesuai dengan kompetensi. Faktanya, hingga
sekarang organisasi pemda belum menganut asas organisasi yang mengedepankan
miskin struktur tapi kaya fungsi.
Dengan jumlah yang terlalu besar,
organisasi birokrasi menjadi tidak efisien. Birokrasi juga tidak efektif,
tidak objektif, menjadi tidak terkontrol bila berhadapan dengan kritik,
serta tidak mengabdi pada kepentingan umum. Birokrasi tak lagi menjadi alat
rakyat tetapi menjadi instrumen penguasa dan sering tampil sangat
otoritatif dan represif.
Kini saatnya para pemimpin melakukan
kontemplasi total melalui introspeksi dan retrospeksi tentang kebijakan
yang telah, sedang, dan dirancang dalam mewujudkan otonomi daerah.
Paradigma seharusnya juga sudah berubah dari gaya sentralistik ke
desentralisasi, dari menguasai ke melayani, dari lambat ke cepat, dari
seram ke ramah, dari otoriter ke egaliter, dan seterusnya.
Karena itu, perlu redefinisi, reorientasi,
dan revitalisasi perilaku pimpinan birokrasi, yakni pimpinan politik yang
berorientasi pada kepentingan negara, bangsa, dan masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar