Selasa, 12 Februari 2013

Paradoks Partai Demokrat


Paradoks Partai Demokrat
M Alfan Alfian ;   Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
SINDO, 12 Februari 2013


Gejolak politik yang terjadi di internal Partai Demokrat (PD) kembali menyita perhatian khalayak setelah Ketua Dewan Pembina dan sekaligus Ketua Majelis Tinggi Partai Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) turun tangan mengambil alih kepemimpinan PD.

Adapun Anas Urbaningrum, sang ketua umum PD, posisinya seperti “diambangkan”. Ia tetap menjabat sebagai wakil ketua Majelis Tinggi, tetapi diminta untuk fokus pada kasus dugaan korupsi yang menimpanya. Ini artinya secara politik Anas “diasingkan” dan pengaruh politik Anas “dikebiri”. Cara SBY mengatasi konflik internal tetap akan menjadi bahan publik untuk menilai menarik-tidaknya PD.Ia bukan semata-mata urusan internal, melainkan berkat media massa menjadi perhatian khalayak. 

Kebijakan SBY menegaskan kuatnya personalisasi politik ketimbang institusionalisasi partai. Di PD hal itu dimungkinkan karena desain kepolitikannya sudah demikian paradoks, terutama ketika entitas Dewan Pembina dan Majelis Tinggi dimunculkan. Apa kemanfaatan nomenklatur-nomenklatur itu bagi kualitas demokrasi internal partai? Bukankah ia dapat ditafsirkan sekadar memberi peluang sentralitas pengaruh SBY di internal PD, termasuk membayang-bayangi siapa pun ketua umumnya? 

Karena itu, pengambilalihan kepemimpinan PD oleh SBY tidak sepenuhnya mengherankan walaupun segera tampak rancu. Kerancuan itu terutama terletak pada tidak ada aturan baku yang tertuang dalam AD/ART PD bahwa ketua Majelis Tinggi bisa mengambil alih kekuasaan partai. Majelis Tinggi berwenang mengambil keputusan strategis terkait calon presiden dan wakil presiden, calon pemimpin DPR dan MPR, calon partai-partai koalisi, dan calon anggota legislatif (Pasal 13 AD/ART). 

Terlepas dari kritik bahwa SBY yang juga seorang presiden telah menyita waktu dan konsentrasinya mengurus partai, eksperimen “solusi dan opsi” yang dilakukannya jauh dari konteks penguatan kualitas demokrasi internal partai. Sepertinya SBY dan didukung politisi senior PD lebih suka menerapkan paradigma “political bosism” yang mempertegas sentralitas personal dalam suatu sistem yang tidak sepenuhnya demokratis. 

Walaupun tetap dengan mempertimbangkan aspek keputusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), SBY tampak kurang sabar dan memberi kesan buruk kepada Anas ketika ia diminta fokus dalam menghadapi “dugaan korupsi”. Meskipun terjadi kesimpangsiuran pemberitaan media massa,KPK menyangkal telah menetapkan Anas sebagai tersangka. Karena itu, justru yang menonjol adalah kuatnya kepentingan politik untuk menyudutkan Anas. 

Gaya demikian meninggalkan empati dan dapat ditafsirkan bahwa memang Anas secara sistematis sudah diemohi SBY. Namun, betapapun Anas “mengambang”, ia belum “titik” atau selesai karier politiknya. Ia masih punya legitimasi sebagai ketua umum hasil kongres yang sah. 

Kebijakan SBY memang sangat berdampak penyempitan ruang manuver Anas. Justru ketika itu terjadi, Anas harus bijak menyikapi keadaan. Resistensi yang frontal, selain dinilai tidak cukup bijak, itu juga bisa menjadi bumerang bagi dirinya. Bagaimanapun pesan-pesan bahwa Anas “terzalimi” sudah demikian ditangkap publik. Resistensinya harus elegan. 

Dari Hegemoni ke Dominasi 

Penandatanganan pakta integritas para ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) se-Indonesia atas permintaan SBY di Cikeas merupakan manifestasi dominasi pengaruh politik SBY. Ia telah mereduksi pengaruh politiknya dari hegemonik ke dominatif. Peran hegemonik sesungguhnya lebih elegan karena selain menunjukkan kelasnya sebagai politisi, juga terkait posisi politik lainnya sebagai presiden. 

Meskipun ia mengurus partai di hari libur, ia tetaplah tidak meredakan kritik bahwa Presiden tidak memberi contoh yang baik karena politiknya partisan dan tidak 100% berpikir dan bekerja untuk rakyat. Dengan kata lain, ketika SBY mengambil alih kepemimpinan PD, pola dominasi yang mengemuka itu justru menyisakan masalah pada sisi etis rangkap jabatan dan berkonsekuensi “turun kelas” ketokohan politiknya. 

Personalisasi politik SBY yang dipertegas dengan pola penyelesaian masalah dengan pendekatan dominatif itu membuat beban politik SBY bertambah berat.Tidak saja ia akan dihadapkan pada ihwal teknis internal kepartaian, tetapi juga menumbuhkan citra PD sebagai “partai robotik” yang “berdisiplin militer” di mana politisinya terbatasi kebebasan politiknya. Pemusatan pengaruh pada sosok SBY saat ini tidak akan memunculkan efek yang sama dibandingkan ketika PD hadir dan menggebrak dunia politik Indonesia.

SBY telah berada di ujung kekuasaannya sebagai presiden. Konstitusi membatasi periodisasi kepresidenannya. Meskipun telah menjabat presiden dua kali, secara umum prestasi pemerintahannya tidak ada yang dipersepsi publik sebagai “luar biasa”. Inilah yang membuat kesuksesan yang sama susah diraih. Anjloknya elektabilitas PD memang disebabkan banyaknya kasus korupsi politisi PD yang ditangani KPK.SBY,Anas, dan politisi PD banyak yang merasa digantung nasibnya oleh KPK.

Dalam situasi seperti itu, justru yang menonjol kepermukaan konflik antarfaksi, yang bahkan mengerucut pada faksi Anas versus anti-Anas atau Cikeas.Ini tentu merugikan PD mengingat partai apa pun membutuhkan soliditas dan stabilitas. Solusi dan opsi yang diambil SBY yang dimaksudkan menata soliditas dan stabilitas itu justru bisa berisiko sebaliknya. 

Hikmah 

Di tengah-tengah risiko seperti itu,Anas bisa tampil elegan dalam proses pengelolaan konflik internal partainya sehingga arah konflik tidak “zero sum game”. Bagaimanapun di balik kepemimpinannya yang tenang, ia punya basis massa tersendiri. Muaranya, upaya penyelamatan partai bisa dilakukan bersama-sama, tidak saling menyalahkan dan tersulut kepanikan. Solusi “PD tanpa Anas” belum tentu memecahkan permasalahan mendasar partai ini. 

Kompetisi politik demikian ketat saat ini. Pilihan politik publik beragam. PD telah diberi kesempatan sedemikian rupa pada berbagai pemilu. Kalau salah kelola, prospek partai ini justru tambah suram. Model SBY memecahkan persoalan internal PD menyisakan pertaruhan bagi masa depannya. Masa depan PD perlu diselamatkan, tetapi tetap dengan cara-cara yang elegan dan demokratis. 

Tetapi, problem mendasar PD sesungguhnya bagaimana ia mampu menumbuhkan budaya demokrasi yang baik dan memantapkan diri sebagai partai modern yang terinstitusionalisasi dan tidak bergantung satu kekuatan besar.Dalam hal ini PD harus melakukan reformasi dan demokratisasi internal dengan mendesain ulang konstitusi partainya. Demokrasi politik selalu tercipta dari prinsip “checks and balances”. 

Realitas faksional merupakan hal yang tidak harus dipaksa homogen dan memusat karena dua hal ini wajah lain dari otoritarianisme politik. Institusionalisasi politik jauh lebih penting ketimbang orientasi kekuasaan. Sayang sekali, manakala partai berkuasa rapuh institusinya. Wallahua’lam. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar