Senin, 11 Februari 2013

Mutiara dalam Sampah Politik


Mutiara dalam Sampah Politik
M Sobary ;   Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia
SINDO, 11 Februari 2013


Sastrawan terkemuka kita, Gerson Poyk, yang cerpen cerpennya tampak cerdas dan mengejutkan, penuh kegetiran dan ironi, tapi juga optimisme menghadapi kehidupan dunia yang fana ini pada tahun 1970-an pernah menulis cerpen bagus Mutiara di Tengah Sawah yang lebih memantapkan namanya sebagai sastrawan.
Cerpen itu sudah lama menghilang dari peredaran. Dicari di pasaran, di tokotoko buku loak yang paling loak sekalipun sudah tak bisa ditemukan. Di negeri kita yang ruwet dan gelap, “mutiara” seperti ini pun dibiarkan hilang. Detail-detail persisnya saya tak ingat, tapi cerpen ini berkisah tentang seorang guru muda yang setiap hari bertugas dan harus menyeberangi sebatang sungai tanpa jembatan. Dia harus menyeberang dalam arti sebenarnya. Maka, sepatu dilepas, baju dan celana panjangnya juga dilepas.

Untuk menghindari agar tak kebanyakan beban yang dibawa selama menyeberang, sepasang sepatu itu lebih dulu dilempar ke seberang sana— seperti biasanya—dan dia hanya tinggal “menyelamatkan” baju dan celana agar tidak basah. Biasanya, begitu tiba di seberang, dia mengenakan kembali celana dan baju di dekat sepatu itu tergeletak, baru kemudian mengenakan sepatu itu kembali. Maka lengkap kembalilah penampilannya sebagai guru. Tapi pada hari itu, lama dia berusaha untuk menemukan sepatunya yang “menyeberang” lebih dulu.

Di sawah itu kebetulan ada seorang gadis jelita,yang lalu ia tanya sedang mencari apa. Si gadis kemudian ganti bertanya kepada tokoh yang selalu menyeberang sungai itu: “Kau mencari apa?” “Mencari sepatu,” jawab si tokoh. “Mencari sepatu kok di sawah,bukan di toko?” Gadis itu cantik—setidaknya menurut ukuran estetika Gerson—dan kecantikan itu yang disebutnya dengan ungkapan metaforis sebagai “mutiara di tengah sawah”.

Gerson tak membuat penilaian apa pun sesudah itu kecuali kekaguman anak muda kepada gadis jelita. Tapi kita tahu: Gerson sedang mengemukakan sebuah ironi tentang mutiara, yang semestinya dipajang di tempat gemerlap, tapi mutiara yang ini terbenam dalam kebersahajaannya: di tengah sawah.

Sejak kurang lebih dua puluh tahun terakhir ini bangsa Indonesia sedang mencari pemimpin. Tiap kali kita jatuh kecewa. Ketika dulu dalam kegundahan perasaan yang tertekan oleh hadirnya penguasa otoriter, kita mendambakan tokoh demokratis yang membebaskan kita semua. Maka, ketika kita mendengar ada tokoh alternatif, kita semua penuh harap.

Tokoh itu disebut dengan ideologi politik Jawa: satrio piningit, yaitu satria yang sedang disembunyikan, sedang dipingit, untuk diwejang dan digembleng dengan segenap ilmu kesaktian kanuragan, kekuatan jasmaniah, maupun ilmu kewaskitaan, ilmu rohaniah, yang diperlukan seorang pemimpin yang harus memiliki citra kesempurnaan hidup, yang tak ada bandingannya. Mungkin semua orang membayangkan,namanya saja satrio piningit, maka dia pasti hebat secara lahir maupun batin.Tak ada orang sehebat itu di seluruh negeri ini. Dengan kesaktiannya itu semua permasalahan ruwet yang kita hadapi bersama akan dengan mudah diatasi.

Diam-diam kita lalu berharap, bakal ada momentum bagi seluruh bangsa untuk hidup nyaman,tenang, dan tenteram. Satrio piningit itu pasti bisa diandalkan untuk menata hidup kita sebagai bangsa yang kaya akan sumber daya alam maupun sumber daya insani. Kemakmuran, ketenteraman ibaratnya hanya tinggal di depan mata. Tapi kita tertipu oleh keindahan kata-kata dan ideologi selangit, yang tak bersentuhan dengan bumi. Apa yang ideal, indah, dan memikat tak terwujud sama sekali.

Kita dihadapkan pada ketidakjelasan yang nyata. Problem bertumpuk-tumpuk dan tak tersentuh. Negara berada di bawah tukang doa, tukang mantra, dan tukang merumuskan diskursus ruwet untuk dibikin menjadi lebih ruwet. Para ahli, yang berseliweran di Istana, dikumpulkan semua untuk diajak merumuskan persoalan bangsa dengan menggunakan pendekatan antardisiplin ilmu yang berbeda.

Sesudah masalah ruwet terumuskan dengan baik dan menjadi semakin ruwet, turunlah perintah: mari kita endapkan . Maksudnya, kita peti es-kan saja masalah itu dan jangan dipikirkan lagi. Kecuali kalau ada huru-hara yang mengacaukan ketenteraman. Dalam hal itu, masalah bisa dibuka kembali.

Negeri ini sebenarnya aula besar, tempat para pemimpin belajar—bukan bekerja—menerapkan kemampuan dan kompetensi ilmiah masingmasing. Dan kita tahu tak ada juara. Semua pada level “sedang belajar”. Dan kita, seluruh bangsa, sedang berharap tanpa ada realisasi. Kita menantikan datangnya pemimpin bangsa, yang benar-benar memimpin agar negara ini makin maju dan rakyat makin sejahtera. Kita tak makin pandai berdebat di televisi tak menjadi soal.

Kita tak pandai membuat kalimat, puisi, tembang-tembang, pidato-pidato tak menjadi soal. Sebuah bangsa miskin tak bisa diubah menjadi lebih baik hanya semata dengan pidato dan artikulasi ilmiah. Kita memerlukan tokoh-tokoh tulen yang bisa bekerja dengan cekatan untuk mengatasi keruwetan hidup.Tokoh dari Makassar, yang namanya bisa diringkas menjadi “JK”, membuktikan kemampuan dan ketulusannya.Tapi negeri ini memang aneh. Kita terjebak pada prosedur partai politik.

Yang tak punya dukungan partai hilanglah dia dalam kegelapan dan bebusukan sampah-sampah politik.Apa maksudnya sampah politik? Debat. Kalimat. Argumen. Kalau ada televisi gila yang mengadu tokoh-tokoh untuk berdebat tanpa solusi, itu disebut hebat sekali. Maka, tak mengherankan, para pemilih—terutama ibuibu yang kekanak-kanakan dan wawasan politiknya terbatas pada mengagumi jambul dan tata bahasa—gegap gempita memilih popularitas, kerapian, dan kesopanan seperti orang hendak memilih pangeran yang sempurna dandanannya.

Dan kemudian kecewa lagi. Dua tahun terakhir ini sudah mulai lagi kesibukan memikirkan pemimpin. Semua tahu, yang dirindukan tokoh yang memiliki ketegasan. Tapi, sudah mulai tampak lagi gejala mencemaskan: orang hanya terpesona pada popularitas para calon. Kita terancam gagal. Kita terancam untuk wajib memperpanjang rasa kecewa. Orang masih mendambakan tentara, yang bukan asal tentara. Tentu ada yang antitentara. Tapi di tengah kegelapan ini gagasan terus berputar. Mbak Mega masih moncer. Pak “JK” masih memancarkan pesona.

Sutiyoso, yang disebut dengan gelar Jakarta Bang Yos, pelan-pelan muncul ke permukaan seperti tamu yang dilupakan. Tapi dia muncul dengan sikapnya dan dengan cara Jawanya yang tak mudah diduga. Dia mengingatkan pada kita: jangan lupa, saya masih ada.

Mungkin mereka ini mutiara di dalam sampah politik. Jadi tak bersinar. Tapi mereka tokoh yang punya kompetensi. Kita diminta siap menguji mereka. Maka, jangan semua hal diserahkan ke orang partai dan partai tak boleh menjadi penentu utama yang hanya mengecoh kita. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar