Minggu, 17 Februari 2013

Mengakhiri Kemelut Komnas HAM


Mengakhiri Kemelut Komnas HAM
Mimin Dwi Hartono  Penyelidik Komnas HAM (atas nama pribadi),
Alumnus S-2 Universitas Brandeis, AS
MEDIA INDONESIA, 16 Februari 2013


KEMELUT yang terjadi di antara 13 komisioner Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) mendapatkan perhatian sangat luas dari publik. Kemelut yang terjadi sejak sekitar dua bulan lalu telah menjerumuskan Komnas HAM ke konflik internal yang tidak produktif, tidak perlu, dan bisa mengancam masa depan penegakan HAM.

Tidak hanya kalangan lembaga swadaya masyarakat yang gerah atas kemelut yang terjadi. Para mantan komisioner Komnas HAM dari berbagai generasi juga menyatakan keprihatinan dan kegalauan mereka karena kemelut semakin menjauhkan Komnas HAM dari mandat dan khitah yang di dan khitah yang di emban. Sebagai mantan komisioner yang telah berperan membangun Komnas HAM, kerisauan mereka sangat beralasan dan wajib dihormati. Hal itu disebabkan kemelut yang terjadi tidak menyangkut masalah substansial sesuai dengan tugas pokok dan fungsi Komnas HAM sebagai lembaga negara independen yang mempunyai misi untuk menciptakan suasana kondusif dalam penegakan HAM.

Akibat kemelut yang berkepanjangan dan tidak ada sikap kompromi di antara komisioner, ratusan staf Komnas HAM di kantor pusat Jakarta dan enam kantor perwakilan di Maluku, Papua, Aceh, Sumatra Barat, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Tengah memutuskan untuk menyatakan sikap dan keprihatinan mereka. Para staf menolak perubahan isi tata tertib, di antaranya tentang keputusan masa jabatan pimpinan Kom nas HAM yang hanya menjabat selama setahun. Hal itu akan mengganggu kinerja Kom nas HAM d a n mereka memutuskan mogok untuk melayani kepentingan komisioner.

Kemelut yang melibatkan banyak pihak mendorong Komisi III DPR--sebagai pihak yang memilih komisioner Komnas HAM--mengambil tanggung jawab dan prakarsa untuk menyelesaikannya. Beberapa anggota Komisi III dari berbagai partai politik menyatakan penyesalan dan permintaan maaf kepada publik karena telah salah memilih komisioner yang menurut bahasa mereka `haus akan kekuasaan'.

Untuk itu, Komisi III mem berikan waktu sampai engan sekitar 10 Maret menda tang agar Ko m n a s H A M bisa menyelesaikan kemelut secara internal. Jika tidak, Komisi III akan memfasilitasi proses pemilihan pimpinan sesuai dengan tata tertib yang lama. Hal itu tentu tidak diinginkan karena menyangkut independensi Komnas HAM.
Karena itu, komisioner harus mampu membuktikan bisa menyelesaikan kemelut secara elegan.

Pendapat saya, kemelut yang terjadi itu berkembang semakin kompleks dan akut karena dari awal ketika benih konflik muncul, tidak ada per hatian dan penanganan segera dan partisipatif. Malahan, konflik dibiarkan berkembang karena masukan dan aspirasi dari pihak internal dan eksternal Komnas HAM, yang meminta supaya keputusan untuk mempersingkat masa pimpinan dikaji kembali secara terbuka dan partisipatif, kurang diperhatikan. Situasi semakin meruncing ketika aktor-aktor lain mulai melibatkan diri dengan ke pentingan masingmasing.

Awal mu masih mismengapa lanya terius, k e p u tusan sidang paripurna Komnas HAM pada akhir November 2012 yang menetapkan jabatan pimpinan selama 2,5 tahun dianulir hanya dalam tempo sekitar satu bulan menjadi hanya setahun? Motivasi dan dasar atas perubahan putusan tersebut belum dijawab secara gamblang, logis, dan transparan oleh para komisioner yang promasa jabatan pimpinan selama setahun.

Dalam forum dialog dengan ratusan staf Komnas HAM pada 8 Februari yang lalu, hanya disebutkan alasan untuk membangun sistem dan melakukan reformasi birokrasi.
Pertanyaannya, sistem apa yang bisa dibangun dan dilaksanakan dalam periode hanya setahun, apa indikator, output, dan outcome yang hendak dicapai? Jangan sampai Komnas HAM dijadikan sebagai bahan percobaan sistem yang belum ada rujukan keberhasilannya.

Alasan lain ialah mengimplementasikan prinsip kolektif kolegial dalam bentuk pemberian kesempatan yang sama kepada semua anggota untuk menjadi pimpinan. Alasan itu tidak bisa diterima karena menjadi pimpinan harus mempunyai kapasitas dan kapabilitas, baik secara manajemen dan substansial. Lebih lanjut, kenapa perdebatan tentang prinsip kolektif kolegial baru muncul kemudian ketika pimpinan sudah terpilih melalui mekanisme yang demokratis?

Kolektif kolegial berarti bekerja bersama-sama dalam tujuan yang sejalan, yang dilakukan dalam bentuk proses pengambilan keputusan dan kebijakan harus melalui keputusan bersama. Semua anggota sama. Semua anggot Komnas HAM mempunyai posisi yang se tara dan tidak bisa mengintervensi satu sama lain (primus inter pares).

Kemudian, jika alasannya untuk mereformasi birokrasi, apa korelasi dan urgensi masa jabatan pimpinan selama setahun dengan reformasi birokrasi? Reformasi birokrasi membutuhkan kepemimpinan yang baik dan stabil untuk mendukung dan menjamin proses-proses perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan terhadap publik secara transparan, akuntabel, dan optimal. Dengan masa jabatan pimpinan setahun, itu dipastikan akan menimbulkan manajemen organisasi yang labil dan model kepemimpinan akan terpengaruh oleh style dan model yang melekat pada perorangan. 

Dalam tempo setahun, waktu akan habis untuk melakukan penyesuaian dan konsolidasi internal, daripada menjalankan core business Komnas HAM, di antaranya menangani sekitar 5.000 pengaduan pelanggaran HAM yang diterima setiap tahunnya.

Kemelut tersebut tidak bisa dibiarkan berlarut-larut tanpa ada solusi. Para pihak, khususnya komisioner yang berbeda pendapat dan pandangan, serta jajaran sekretariat jenderal yang sangat berperan dalam mendukung dan melaksanakan fungsi-fungsi Komnas HAM, harus mengadakan dialog secara terbuka dan berorientasi pada kepentingan publik. Sikap kaku dan posisi untuk tidak mau berkompromi akan menimbulkan masalah ikutan yang semakin ruwet, di antaranya kemungkinan muncul boikot dan gerakan delegitimasi dari berbagai lembaga negara, lembaga nonpemerintah, dan kelompokkelompok masyarakat. Pada akhirnya, yang bersorak-sorai ialah para pelanggar H A M d a n p a r a korban pelanggaran HAM akan menangis karena salah satu lembaga yang menjadi benteng keadilan berada di `ujung tanduk'.

Ke-13 komisioner Komnas HAM yang berlatar belakang berbeda-beda (plural) bukan menjadi alasan untuk dipermasalahkan. Keberagaman tersebut justru merupakan potensi yang menyimpan kekuatan jika dikelola dengan baik dan didukung model kepemimpinan yang partisipatif dan akuntabel. Prinsip kolektif kolegial bertujuan agar ada sinergi potensi dan kekuatan antarkomisioner dan bisa saling mengisi kekurangan dan kelemahan satu sama lain sehingga dihasilkan keputusan dan kebijakan yang mempunyai legitimasi kuat dan berkelanjutan.

Publik masih menaruh harapan agar terjadi rekonsiliasi antarkomisioner demi pulihnya kepercayaan publik terhadap Komnas HAM dan integritas komisioner sebagai pejabat publik yang direkomendasikan dan didukung publik (baik perorangan maupun lembaga). Apalagi, ajang pemilu dan pilpres pada 2014 semakin dekat. Peran Komnas HAM dalam masa itu amat dibutuhkan untuk mendorong proses transisi demokrasi yang berlandaskan pada HAM dan turut menjamin bahwa siapa pun yang terpilih sebagai pemimpin Republik mendatang harus bersih dari catatan pelanggaran HAM dan berkomitmen pada penegakan HAM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar