Amang Rahman, almarhum, seorang pelukis yang hidupnya diwarnai
humor-humor segar, kadang satiris. Dia menceritakan kekonyolannya kepada
saya. Pada suatu hari, ketika merasa tidak enak badan, dia datang kepada
seorang dokter.
Dia diperiksa dengan teliti, sesuai standar pemeriksaan para dokter di mana
pun. “Tarik napas,” kata dokter, dan seniman ini melakukan yang
diperintahkan kepadanya. Dokter mendengarkan detak jantungnya dengan
seksama. “Saudara merokok?” “Sekarang tidak dok.” “Oh, bagus,” kata dokter
yang merasa agak lega. “Kapan Saudara mulai merokok?” “Sejak kecil dok.”
“Dan sudah berapa lama berhenti?” “Belum berhenti dok” “Lho, tadi Saudara
bilang sudah tidak merokok?” “Tadi saya bilang, sekarang tidak. Soalnya Anda sedang memeriksa
saya.”
Dokter kelihatan jengkel. Lalu dengan tegas diperintahkannya
seniman itu berhenti merokok. Benar-benar berhenti, bukan hanya karena
sedang diperiksa dokter. “Saudara harus berhenti merokok. Kalau tidak, cari
dokter lain. Mengerti?” “Mengerti dok.” “Apa?” “Mencari dokter lain.”
Geledek menyambar di ruang praktik dokter di suatu sudut di Kota Surabaya.
Amang menceritakan lebih lanjut— hal yang tak ada hubungannya dengan
perintah dokter tadi— bahwa dia merokok karena dia ingin merokok. Begitu
dulu, ketika masih kecil, dia mulai. Begitu juga sekarang. Merokok bukan
dianggap tindakan suci. Tapi, dia tak mau disuruh menghentikan tindakan
itu. Tidak, dia tidak kecanduan. Dia tidak tergantung pada rokok. Dia juga
tidak merokok secara serius atau berlebihan.
Dia bilang, dia itu hanya perokok biasa. Dibanding seorang yang dikenalnya,
orang yang sudah berusia di atas delapan puluh lima tahun, yang juga
merokok sejak kecil, dan tiap hari dia menghabiskan lebih sepuluh batang
rokok, dan sehat, dia—Amang pribadi— bukan kategori perokok hebat. Amang
pasti membuat para dokter tidak senang.
Tetapi, dilihat dari segi lain, apa yang dikatakan seniman itu, yang tidak
berpretensi apa pun, yang sekadar menjelaskan sebuah fakta, dan itu fakta
yang bisa terjadi pada banyak orang, di banyak tempat, kelihatannya memang
merupakan sebuah pertanyaan terbuka yang harus diberikan jawaban yang
jelas, tegas, dan serbaeksak oleh dunia kedokteran.
Apa sebab ada orang tidak merokok, tapi terkena penyakit jantung?
Rata-rata, jawabnya, dia menjadi perokok pasif, atau terkena akibat buruk
dari perokok keras kepala yang membuat orang lain menderita. Tapi mengapa,
orang yang disebut Amang tadi, yang sejak kecil merokok, dan pada usia di
atas delapan puluh lima tahun tetap merokok, tapi sehat walafiat? Dan di
mana-mana, jenis orang seperti itu banyak.
Jantungnya berdenyut normal, dan bersih, sehat, sedang orang yang lain,
bukan perokok, bahkan dia antirokok, tapi jantungnya parah, dan menjadi
“orang sakit” bertahun-tahun, dan apa ini harus disebut sakit karena rokok?
Demi kebenaran ilmiah, mengapa bangsa Indian, yang menggunakan tembakau sebagai
obat, tidak diteliti oleh dunia kedokteran, untuk mempertegas: obat apa?
Jika ada rasa penasaran akademik yang tinggi mengenai manfaat tembakau,
mengapa tak dilakukan penelitian secara terbuka dan serius.
Termasuk untuk kemudian menyimpulkan—jika memang benar secara ilmiah— bahwa
bangsa Indian itu omong kosong. Juga harus diteliti, banyak orang
tua—generasi dulu— yang masih hidup, yang saban hari makan sirih dan
menggunakan “susur”, tembakau, sebagai pasangan serasi, yang membuat gigi
mereka sangat kuat dan mata mereka sangat tajam, seperti—-dalam metafora—
mata rajawali? Harus dijelaskan, tembakau mengandung apa, dan memberi
kontribusi apa dalam kesehatan gigi dan mata—rajawali— tadi?
Dunia ilmu tidak boleh bohong. Ihwal penting yang harus diteliti demi
kemajuan ilmu pengetahuan ini hendaknya diteliti. Orang Dayak, orang Bali,
orang Jawa, orang Sunda, orang Sasak—dan masih banyak lagi—laki-laki maupun
perempuan, sehat-sehat karena sirih dan tembakau. Apa sebabnya? Atau, apa
tembakau dan sirih bukan penyebabnya? Jika bukan, katakanlah hal itu dengan
benar, dan jujur, berdasarkan suatu penelitian ilmiah.
Rokok disebut penyebab kanker, sakit jantung, impotensi, dan bermacam-macam
gangguan penyakit berbahaya. Ini diumumkan, dan dijadikan bagian dari
pembentukan sebuah peradaban. Maka, melihat pentingnya efek itu, hendaklah
yang dikatakan itu disertai bukti nyata, hasil riset mutakhir, oleh “the authorized hands”, dan bukan
omongannya orang mabuk, yang tak bisa dipertanggungjawabkan.
Seorang laki-laki tua, merokok, dan seorang laki-laki tua lainnya makan
sirih, memakai “susur” tembakau, dan seharusnya pasti terkena radiasi
tembakau, tapi mengapa para kakek tua itu masih bisa membuahi para istri
mereka yang jauh lebih muda, dan para istri itu melahirkan bayi-bayi yang
sehat dan cerdas? Mengapa kedua kakek itu tidak impoten? Mengapa para istri
mereka tidak terganggu? Jumlah kakek-kakek macam itu di seluruh Nusantara
tak terhitung banyaknya.
Mereka membuktikan, tembakau, tanaman yang benihnya semula diciptakan
Tuhan, dengan berkah, mengapa difitnah seperti itu, dan tanpa disertai
bukti empiris? Relakah kita melihat suatu rekayasa penciptaan peradaban,
yang didukung dunia ilmu, tapi tidak disertai bukti? Dan apa kata dunia
kedokteran ketika penelitian bertahun-tahun tentang tembakau, yang
menyembuhkan kanker getah bening? Pasiennya justru seorang ketua Ikatan
Dokter Indonesia di Kota Malang.
Apa penghargaan dunia ilmu, terutama kedokteran, atas kontribusi yang terus
menerus dikembangkan tanpa henti oleh Dr Gretha Zahar dan Prof Dr Sutiman B
Sumitro? Apa keduanya, yang memiliki bukti ilmiah itu, lebih rendah dari
peringatan bahaya rokok yang tak disertai bukti itu? Orang akan bilang
mustahil bahwa di dalam tembakau yang mengandung banyak unsur penyakit bisa
menjadi obat? Gadung yang gatal, dan beracun, bisa digoreng “kemripik”,
segar dan enak, karena ada kemampuan kita meluruhkan radikal bebas di
dalamnya.
Kenapa tak ada yang mengatakan mustahil gadung bisa dimakan? Tapi, mengapa
orang-orang yang fanatik dengan suatu sikap, tidak bisa belajar rendah
hati, untuk menghormati temuan ilmiah orang lain? Kalau gadung beracun,
tidak mustahil dimakan, mengapa tembakau dianggap mustahil untuk menjadi
obat? Demi kebenaran ilmiah, artinya demi menghormati pemilik agung
kebenaran final, diperlukan klarifikasi.
Harus ada keberanian untuk mengakui bahwa orang lain mungkin saja benar dan
kita mungkin saja salah, juga para dokter. Harus berani mengatakan apa
adanya, sebelum terlalu banyak pasien berkata: mencari dokter lain, seperti
pelukis Amang Rahman di atas. ●
|
Yang namanya pembela petani tembakau dan perokok, maka apa pun dicari dalih untuk mebelanya. Itulah kang Sobary.
BalasHapus