Rabu, 20 Februari 2013

Menangani Outsourcing


Menangani Outsourcing
Dinna Wisnu PhD Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
SINDO, 20 Februari 2013


Menjelang 1 Mei 2013 di mana Hari Buruh akan dirayakan lagi secara besar-besaran oleh kalangan serikat pekerja, kita sudah mulai melihat dan masih akan menyaksikan rangkaian demonstrasi pekerja di tempat-tempat strategis di Ibu Kota. 

Salah satunya dikabarkan akan dilakukan akhir bulan ini. Isu yang diusung adalah kebutuhan hidup layak,upah,jaminan sosial, serta penghapusan outsourcing. Secara khusus, saya ingin mengupas permasalahan outsourcing, terutama dari sudut komparatif yang lebih makro. Harapan saya, hal ini bisa membantu melihat isu tersebut secara lebih holistis dan jernih. 

Outsourcing adalah istilah teknis bagi perusahaan yang memutuskan untuk melakukan subkontrak bagi fungsifungsi tertentu dalam perusahaan itu. Outsourcing maksudnya adalah “outside resourcing”, jadi perusahaan mendapatkan sumber daya dari luar (Troaca & Bodislav 2012). Dalam banyak kasus, istilah ini dicampuradukkan dengan praktik offshoring, yakni pencarian penyedia fungsi yang disubkontrakkan tadi di luar negeri. 

Memang, karena negara kita sudah membuka diri seluasluasnya untuk masuknya investasi dan modal asing,belum lagi teknologi informasi dan komunikasi sudah demikian pesatnya, maka kegiatan offshoring tadi meluas juga di Indonesia. Contohnya PT Tae Kwang Industri Indonesia (PT TII) yang memegang merek sepatu Nike, sedang membangun pabrik berkapasitas 15.000 pegawai di tiga desa di Subang, Jawa Barat. 

Ada juga Foxconn yang merakit barang elektronik dan hardware penting untuk perusahaan besar seperti Apple, yang berencana membuka pabrik baru di Indonesia demi mengurangi biaya produk dan mendekat pada konsumen. Ini semua adalah offshoring yang merupakan bagian dari outsourcing bagi pemilik merek, baik untuk merakit maupun menembus pasar baru. Sesungguhnya outsourcing dan offshoring adalah komponen tak terpisahkan dari bisnis dan perekonomian modern abad ke-21.

Perusahaan raksasa yang telah berhasil membangun merek dan mesin-mesin yang memungkinkan economy of scale akan terus berupaya memperluas bisnisnya ke negara-negara baru. Karena perkembangan teknologi dan komunikasi berjalan pesat, konsumen latah ingin membeli produk-produk yang mencerminkan gaya hidup modern. Permintaan meningkat, harga cepat meroket. 

Alhasil, harga produk perlu ditekan serendah mungkin dengan pasokan yang cukup tapi berbiaya relatif murah, apalagi karena ada saja perusahaan lain yang sekadar ingin meniru teknologi yang ada. Kalau konsumen sedikit saja merasa bahwa merek tidak menentukan gengsi, habislah pangsa pasar produk tersebut, tergerus perusahaan peniru. Persaingan sangat ketat. 

Risiko yang kemudian perlu diambil adalah mendirikan pabrik di negara yang dekat dengan konsumen atau mengundang pabrik tertentu untuk menyuplai jasa tertentu bagi perusahaan tersebut. Studi yang ada tidak satu suara dalam hal prediksi tren outsourcing dan offshoring. The Economist (11/5/2012) menyatakan bahwa praktik ini akan melemah. Sejumlah merek besar di bidang software, elektronik, dan telekomunikasi, kini menemukan “tenaga kerja” di dalam negeri. 

Dengan harga yang lebih murah daripada harga tenaga kerja di negara berkembang, orang-orang ini bisa melayani konsumen dengan bahasa ibu masing-masing. Mereka menyebut fenomena ini sebagai unsourcing, di mana perusahaan membentuk komunitas-komunitas online untuk melayani kebutuhan konsumen. 

Kabarnya perusahaan bisa memotong biaya hingga 50% karena ini. The Economist juga menyebutkan kekhawatiran perusahaan terhadap ongkos tersembunyi dari outsourcing. Misalnya perusahaan media BSkyB yang terjebak tuntutan hukum dan harus menghadapi peradilan negara berkembang yang dianggap lamban dan tidak jelas,atau ketika Boeing, perusahaan pembuat pesawat terbesar di Amerika Serikat, harus menghadapi kasus keterlambatan pengantaran komponen pesawat karena perusahaan yang disubkontrakkan ternyata menyubkontrakkan lagi ke perusahaan lain. 

Namun, kita juga perlu ingat bahwa outsourcing dan offshoring adalah praktik yang terbukti menghasilkan laba besar bagi perusahaan, terutama ketika perekonomian di negara induk melemah. Lagi pula, sejumlah pekerjaan dari perusahaan di negara maju harus dilakukan oleh orang-orang yang berketerampilan tinggi, sehingga sebenarnya sulit untuk dioper ke perusahaan lain di negara berkembang. 

Selain itu, untuk mengurangi risiko outsourcing, perusahaan kemudian memilih cara untuk melakukan kontrak-kontrak kecil jangka pendek yang lebih rileks dalam hal hukum (The Economist 30/7/11). Data dari Gartner (2011) menyatakan bahwa pasar outsourcing masih akan berkembang 4% per tahun. 

Yang perlu dipahami adalah bahwa offshoring outsourcing terjadi karena perusahaan mencari tenaga-tenaga spesialis untuk menghasilkan barang setengah jadi (intermediate goods) atau barang jadi (final goods). Artinya, outsourcing sebenarnya tidak semata mencari tenaga kerja murah. 

Di negara berkembang, outsourcing bahkan sering kali terjadi karena perusahaan-perusahaan lokal cuma punya kemampuan memoles atau merakit barang setengah jadi dari negara lain. Teknologinya tetap pinjam dari negara lain. Akibatnya, ketika pemerintah menerapkan tarif impor bagi barang setengah jadi, yang akan ditekan bukanlah jumlah impornya, atau biaya urusan logistik, melainkan upah pekerja. 

Di negara mana pun, tenaga kerja tidak terampil punya nilai tawar yang lebih rendah dibandingkan pekerja yang terampil. Itu sebabnya Afrika Selatan, misalnya, kini fokus memperkuat tenaga aktuaris mereka untuk menjawab kebutuhan industri asuransi, atau Turki yang memperkuat jajaran tenaga kerja yang fasih berbicara bahasa Jerman. Itulah strategi mereka untuk mengikat modal yang masuk dari perusahaan asing di Eropa. 

Di Indonesia, kita bisa lihat bahwa problem outsourcing sebenarnya berputar pada pusaran yang sama. Perusahaan lokal tidak menambah kemampuan sebagai industri berbasis teknologi dengan paten industri karya anak bangsa.Tenaga kerja kita pun masih harus berswadaya penuh untuk meningkatkan kapasitas dan produktivitasnya. 

Rata-rata kantor tidak punya (atau kalaupun punya sangat kecil nominalnya) biaya pengembangan sumber daya manusia.Balai-balai latihan kerja yang dikembangkan pemerintah pun terbatas dengan pembekalan keterampilan yang biasa-biasa saja. Tidak ada grand strategy atau rencana jangka panjang tentang daya saing tenaga kerja kita. Padahal, kita tahu persaingan antarnegara berkembang adalah suatu keniscayaan. 

Bahkan kini pasar outsourcing yang biasanya dirajai oleh India dan Filipina, kini mulai direbut oleh tenaga kerja Thailand, yang selain berpendidikan tinggi juga serius memperkuat kemampuan bahasa Inggrisnya. Kalau kita bertopang pada kemampuan buruh, siklus outsourcing itu akan berkembang menjadi lingkaran setan. 

Di negeri ini ada UU Ketenagakerjaan yang mengharamkan sistem kontrak jangka pendek yang lebih dari 3 tahun. Tapi karena pekerja butuh pekerjaan, perusahaan lokal bergantung pada pemodal besar dari negara maju dan perusahaan pemodal ingin memperkecil risiko outsourcing, terjadilah pelanggaran terhadap UU Ketenagakerjaan secara terus menerus tetapi sulit ditindak. 

Pekerja pasrah saja dipekerjakan sebagai pekerja musiman (misalnya di sektor tekstil). Gerakan buruh juga sebenarnya melemah. Gerakan turun ke jalan semata upaya akhir mereka untuk membela diri, itu pun karena sudah terlanjur bernasib buruk. Negosiasi prakejadian lebih sulit dilakukan. Ayolah kita keluar dari lingkaran nasib buruk bagi pekerja di negeri ini. 

Selama tenaga kerja semata dianggap buruh dan bukannya mitra bagi bangsa untuk maju dan tangguh dalam persaingan global, maka selama itu pula kita akan berteriak-teriak di pusaran masalah yang sama. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar